Virus Corona, Kala Cuci Tangan Jadi Kemewahan bagi Warga Miskin

Catatan Uni Lubis

Jakarta, IDN Times – Pagi ini saya melakukan ritual #momandson #saturdate bersama anak saya, Darrel. Kebiasaan rutin yang kami lakukan sejak Darrel berusia tiga tahun, sudah bisa diajak nonton film bareng, dan selalu didahului makan siang kesukaan dia.

Sejak pandemik virus corona menyerang, dan kami menjalankan work from home dan school from home, maka kebersamaan hari Sabtu kami lakukan dengan jalan pagi bareng, sambil jaga jarak aman. Tidak jauh, di sekitar kompleks rumah, sekitar 1 jam dan
kembali ke rumah dengan menenteng kudapan buat menikmati akhir pekan.

Pada hari kedua pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta, jalan pagi kami lakukan ke arah wilayah Jatibening, Bekasi. Kompleks kami persis berada di perbatasan antara Jakarta Timur dan Bekasi.

Pukul 07.00 WIB, jalanan sepi, tak banyak yang lalu-lalang. Padahal biasanya Sabtu tak kalah macetnya dibandingkan dengan hari biasa. Cuaca cerah, jalanan kompleks tampak resik. Pandemik COVID-19 membawa kesadaran untuk hidup lebih sehat dan bersih. 

Saya mampir ke pasar bersih tak jauh dari rumah dalam perjalanan pulang. Di dalam pasar masih ramai, pembeli berdesak-desakan.

“Kapan di Bekasi ada PSBB ya, Bu,” tanya penjual sayur langganan.

Penjual dan pembeli pakai masker. Di depan pasar ada yang jualan masker. Ada yang terbuat dari kain maupun semacam masker medis itu. Harganya Rp4.000-8.000 per lembar.

Persis di depan pasar ada apotek langganan saya. Sejak pertengahan Maret 2020, apotek kehabisan masker. Belum ada stok. Setidaknya warga sekitar punya pilihan sekarang, dengan membeli masker dari penjual di pinggir jalan.

Pilih masker kain, karena bisa dicuci dulu dengan air sabun dan disetrika sebelum digunakan, juga bisa dipakai ulang. Ekonomis. Biar masker medis untuk para tenaga medis dan pasien COVID-19.

Virus Corona, Kala Cuci Tangan Jadi Kemewahan bagi Warga MiskinTangki air dan sabun untuk cuci tangan bagi warga (IDN Times/Uni Lubis)

Di hampir semua kompleks dan gang, warga memasang portal, menyediakan tangki berisi air dengan keran untuk cuci tangan, lengkap dengan sabun cairnya. Begitu juga di pintu masuk depan pasar. Gotong-royong melindungi diri sendiri. Saya teringat percakapan lewat sambungan telepon dengan Kepala Gugus Tugas COVID-19 Letnan Jenderal TNI Doni Monardo, Senin malam tanggal 6 April 2020.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu menyebutnya sebagai, ”upaya membangun disiplin kolektif. Ini yang lebih efektif. Peran komunitas, lurah, RT, dan RW sangat penting untuk memutus rantai penularan virus corona.”

Masalahnya, apakah semua warga Jakarta memiliki akses yang sama baiknya terhadap air bersih untuk cuci tangan dan melakukan jaga jarak fisik alias physical distancing, yang dipercayai bisa mengurangi risiko terpapar infeksi COVID-19?

Baca Juga: Virus Corona, Kosong Melompong Jakarta di Hari Pertama PSBB 

Virus Corona, Kala Cuci Tangan Jadi Kemewahan bagi Warga MiskinGugus Tugas pencegahan covid-19 PPU menempatkan tangki air cuci tangan buat masyarakat di sejumlah fasum (IDN Times/Ervan Masbanjar)

Teman saya, Doktor Sudirman Nasir, pengajar di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan mengingatkan kita semua lewat artikelnya yang dimuat di koran The Jakarta Post, Sabtu 11 April 2020. Judul artikelnya, “Indonesia’s Poor Can’t Even Afford to Wash Hands”.

Sudirman, yang juga alumni Eisenhower Fellowships, mengingatkan pentingnya bagi kita semua, apalagi pemerintah, memperhatikan kelompok masyarakat miskin, di desa maupun di kota, yang sangat rentan terpapar penyakit, apalagi di saat pandemik seperti ini.

Mengutip data dari Badan Pusat Statistik 2019, hanya 76,07 persen populasi Indonesia memiliki akses kepada fasilitas publik untuk cuci tangan yang dilengkapi sabun. Papua, provinsi yang paling miskin, memiliki angka akses 35,55 persen, diikuti Nusa Tenggara Timur dengan 51,92 persen.

“Bahkan di separuh bagian barat pedesaan di Provinsi Aceh, hanya 64 persen yang dapat mengakses air bersih,” tulis Sudirman.

Saat pemerintah, ilmuwan, dokter dan tenaga kesehatan, media massa termasuk IDN Times mengampanyekan gerakan cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir selama 20 detik, masyarakat miskin banyak yang tak punya kemewahan itu.

“Isu kesenjangan harus diperhitungkan secara serius, karena sering kali menghalangi mereka untuk menjalankan upaya pencegahan itu,” tulis Sudirman. Padahal, cuci tangan sesuai protokol Badan Kesehatan Dunia (WHO) ini dipercayai dapat menurunkan risiko terpapar infeksi COVID-19 sampai 40 persen.

Belum lagi soal physical distancing. Di Jakarta, yang sudah menerapkan PSBB, kampanye dan aturan ini berhadapan dengan tingkat kepadatan penduduk di sejumlah lokasi. Jumlah penduduk Jakarta menurut survei penduduk antar sensus (SUPAS) 2020 adalah 10, 57 juta. Data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, jumlahnya lebih dari 11 juta.

Menurut laman World Population Review, Jakarta, kota terbesar di Asia Tenggara, adalah salah satu kota metropolitan terpadat di dunia. Kota ini memiliki kepadatan 14.464 penduduk yang tinggal dalam 1 kilometer persegi.

Tahun 2018, Camat Tambora, Jakarta Barat menyampaikan kepada media, bahwa di kelurahan Kalianyar, Tambora, rata-rata dalam satu meter persegi dihuni oleh empat orang. Terpadat di Asia Tenggara. Bagaimana penduduk di area seperti ini menerapkan physical distancing?

Kondisi ini yang seharusnya diwaspadai Pemerintah Indonesia sejak awal, setidaknya ketika wabah COVID-19 merebak di kawasan ini pada Januari 2020.

Tapi, sebagaimana kita sama-sama ingat, pada saat itu pemerintah sibuk membahas Rancangan Undang-Undangan Omnibus Law yang dimaksudkan antara lain menarik investasi, memberikan stimulus untuk menggaet wisatawan, termasuk rencana menggaet influencer dengan anggaran Rp72 miliar, dan menganggap enteng bahaya virus corona yang oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto disebutkan sebagai, “penyakit self limited disease, penyakit yang bisa sembuh sendiri.”

Sembuh sendiri jika daya tahan tubuhnya baik. Bagi mereka yang tidak punya akses mendapatkan vitamin, kerja dan tidur teratur, tidak cemas dengan bagaimana harus makan besok, boro-boro memikirkan nutrisi dan gizi, menjaga imunitas tubuh adalah masalah besar. Meskipun sejauh ini data menunjukkan kelas menengah yang banyak bepergian yang terpapar COVID-19, Indonesia dianggap salah satu negara yang diduga kuat kasus yang tidak terdeteksinya tinggi, karena kemampuan dan implementasi tes yang sangat minim sejauh ini.

Virus Corona, Kala Cuci Tangan Jadi Kemewahan bagi Warga Miskin(IDN Times/Sukma Shakti)

Hari ini, Sabtu (11/4), juru bicara pemerintah untuk COVID-19 mengumumkan, jumlah kasus positif virus corona di Indonesia bertambah 330 kasus menjadi 3.842 kasus.

“Ini berdasarkan pemeriksaan konfirmasi positif dari real time PCR, data ini adalah data yang kita gunakan bukan hanya dalam konteks untuk merawat pasien, tetapi
juga dalam konteks melakukan penelusuran kontak,” kata Yuri dalam keterangan pers yang disiarkan langsung lewat akun YouTube BNPB Indonesia.

Dari jumlah terbukti positif itu, ada 327 meninggal dunia, naik 21 orang dibandingkan hari sebelumnya. Pasien sembuh ada tambahan empat orang, menjadi 286 orang. Yuri mengklaim, Indonesia sudah melakukan pemeriksaan 20 ribu sampel di 40 laboratorium di Indonesia. Masih sangat rendah dibandingkan dengan populasi 270 juta penduduk.

Jakarta masih menjadi episentrum di Indonesia. Laman corona.jakarta.go.id Sabtu siang menyebutkan ada 1.903 kasus, 168 meninggal dunia, 142 dinyatakan sembuh, 1.152 menjalani perawatan, dan 441 orang menjalani perawatan mandiri. Sebanyak 856 kasus masih menunggu hasil tes, 1.078 kasus sudah diketahui penyebarannya berdasarkan lokasi kelurahan, sementara 825 kasus belum diketahui.

Karena akhir pekan, dan petugas gencar melakukan sosialisasi, jalanan Jakarta di hari kedua pemberlakuan PSBB masih sepi. Teman saya, Iwan, pagi ini bersepeda menelusuri jalan-jalan di Jakarta, dari Jakarta Timur sampai ke Stasiun Kota di Jakarta Utara, kemudian ke kawasan Bundaran Hotel Indonesia, ke arah Jalan Rasuna Said, Pancoran dan kembali ke rumah, menyaksikan Jakarta yang nyaris kosong.

“Petugas Satpol PP diperkuat polisi aktif mengingatkan warga agar diam di rumah, pakai masker jika keluar rumah, jaga jarak aman, cuci tangan dengan sabun, olahraga atau berjemur,” kata Iwan.

Dalam paket bantuan sosial yang dibagikan kepada warga Jakarta sejak 10-23 April itu, ada beras 5 kilogram, dua kaleng sarden, dua biskuit, satu bungkus minyak goreng ukuran 0,9 liter, dua batang sabun mandi, dua masker kain serta surat dari Gubernur Anies Baswedan.

Setiap hari disalurkan 22 ribu paket, dengan total 1,2 juta paket. Apakah itu cukup bagi warga miskin? Insyaallah besok saya akan membagikan ceritanya kepada
pembaca. Stay tuned.

Baca Juga: Bahaya Mengancam di Balik Simpang Siur Data Virus Corona

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya