Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Anggota DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera sarankan Anies Baswedan tak bentuk partai politik. (IDN Times/Amir Faisol)
Anggota DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera (IDN Times/Amir Faisol)

Intinya sih...

  • UU Pemilu tidak mendetailkan perkara penting.

  • Revisi UU Pemilu perlu perencanaan matang dan pengerjaan cepat

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera, menilai, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) perlu segera direvisi. Ia menyebut, aturan tersebut terlalu ketinggalan zaman.

Akibat aturan yang kurang efektif itu, kata dia, gelaran tahapan pemilu harus melibatkan banyak orang. Ditambah perencanaan yang kurang matang, bisa membuat proses pesta demokrasi justru berbahaya.

Contohnya seperti Pemilu 2019 lalu, ketika ratusan petugas penyelenggara meninggal akibat kelelahan.

"Pemilu kita itu kolosal sekali, hampir 10 juta orang, ya, KPPS kita berapa, yang hari H itu. Belum di kelurahan, kecamatan, belum teman-teman TNI-Polri, binmas segala macam. Itu ketika kolosal seperti itu kalau tidak ada perencanaan yang matang berbahaya. Saya cukup sedih tahun 2019 lebih dari 900 pejuang demokrasi kita gugur," kata Mardani dalam acara diskusi di Kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jakarta Pusat, Rabu (13/8/2025).

1. UU Pemilu tidak mendetailkan perkara penting

Ilustrasi pemilu (IDN Times/Agung Sedana)

Politisi PKS itu menilai, buruknya penyelenggaraan pemilu seperti pada 2019 lalu dikarenakan aturan UU Pemilu yang tidak mendetailkan perkara penting.

"Dan salah satu sebabnya pandangan saya karena desain pemiliknya tidak mendetailkan perkara-perkara penting," kata Mardani.

Mardani memberikan contoh saat tahapan pemilu ada satu dokumen yang perlu dikoreksi, maka perlu melibatkan banyak pihak. Karena tidak efektif dan efisiennya struktur dalam UU Pemilu.

"Misalnya tiba-tiba ada satu dokumen, satu dokumen itu kelihatannya satu tapi itu harus dikasih ke partainya banyak, calegnya banyak, pusat, provinsi, kabupaten/kota. (Bisa) tewas orang itu kalau ngerjain satu tambah dokumen," ucap dia.

2. Revisi UU Pemilu perlu perencanaan matang dan pengerjaan cepat

Ilustrasi pemilu (IDN Times/Esti Suryani)

Mardani menilai, revisi UU Pemilu perlu perencanaan matang dan pengerjaan cepat. Oleh sebab itu, ia berharap pembahasan ini dilakukan oleh Komisi II DPR RI.

"Rumus yang benar itu, (revisi UU Pemilu) lama dalam perencanaan dan cepat dalam pengerjaan," kata dia.

"Kaitannya UU Pemilu, kalau UU Pemilu kelambatan, dibahasnya cuma 2 sampai 3 hari. Gak lah, gak 2 sampai 3 hari, kalau Baleg itu 2 sampai 3 hari. Kalau saya pendukung UU Pemilu kasih ke Komisi II," sambung Mardani.

3. Wamendagri sebut revisi UU Pemilu harus dihitung matang

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto (dok. Kemendagri)

Sebelumnya, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto, menegaskan, revisi Undang-Undang Pemilu harus dilakukan secara hati-hati dan inklusif.

Dia menyampaikan hal itu dalam Workshop Publik Nasional Menuju Pemilu yang Adil dan Representatif di Hotel Unhas, Selasa (29/7/2025).

Menurut Bima Arya, proses revisi harus membuka ruang bagi berbagai pandangan. Hal ini agar keputusan yang diambil tidak keliru di tengah fase krusial demokrasi nasional.

"Proses revisi Undang-undang Pemilu, ini sangat baik sekali apabila berproses secara inklusif dengan menyerap semua masukan," ucap dia.

Bima Arya menilai, revisi Undang-Undang Pemilu merupakan proses krusial yang membutuhkan keterlibatan berbagai pihak. Dia menggarisbawahi pentingnya membuka ruang partisipasi yang luas untuk menjaring berbagai masukan dari akademisi, komunitas, hingga mahasiswa.

"Kita perlu perspektif yang kaya, karena jangan sampai kita salah ambil keputusan di fase yang sangat krusial bangsa ini," kata dia.

Bima Arya menilai, sistem kepemiluan Indonesia memerlukan kepastian arah dan konsistensi jangka panjang. Bima menyoroti isu tentang format pemilu serentak atau terpisah yang kerap berubah-ubah dalam wacana politik nasional.

"Sistem harus ajek (tetap). Gak masalah juga kita sepakatnya ada perubahan. Tapi jangan sampai nanti 4 tahun lagi berubah lagi," ucap dia.

Editorial Team