Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Praktik rangkap jabatan wamen sebagai komisaris perusahaan milik negara menyebabkan pengawasan di perusahaan tidak optimal.

  • Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 23 UU 39 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak berlaku sepanjang dimaknai "Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan".

  • MK menegaskan larangan rangkap jabatan bagi wamen berlaku, meskipun pemohon yang mengajukan gugatan sebelumnya telah meninggal dunia.

Jakarta, IDN Times - Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara kembali digugat Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon dalam perkara ini ialah advokat bernama Viktor Santoso Tandiasa.

"Secara resmi akan mendaftarkan permohonan uji materi Pasal 23 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke MK pada hari Senin, 28 Juli 2025, pukul 13.00 WIB," kata dia dalam keterangannya, Senin (28/7/2025).

Permohonan ini diajukan karena hingga saat ini praktik rangkap jabatan wakil menteri (wamen) menjadi komisaris pada perusahaan milik negara masih terjadi.

"Faktanya 30 wamen merangkap sebagai Komisaris pada perusahaan milik negara. Oleh karenanya merasa perlu menguji dan menegaskan pasal 23 UU 39/2008 yang menyatakan 'menteri dilarang merangkap jabatan' dianggap bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai 'termasuk wakil menter'," katanya.

Menurut Viktor, Pasal 23 UU 39/2008, yang melarang Menteri merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN/APBD, belum secara eksplisit tertulis mencakup wakil menteri.

Viktor memaparkan, tujuannya agar MK tidak hanya memuat penjelasan pada bagian pertimbangan hukum saja sebagaimana termuat dalam Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019, namun harus memuat dalam amar putusan sehingga menghilangkan perdebatan atas keberlakuan mengikat larangan rangkap jabatan tersebut.

1. Perusahaan milik negara yang diisi wamen rangkap jabatan jadi tidak optimal

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Selain itu, Pemohon menganggap kerugian konstitusional yang dialami bersifat spesifik dan aktual, dengan adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian tersebut dan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian. Menurutnya, karena adanya rangkap jabatan komisaris oleh wamen, maka pengawasan di perusahaan-perusahaan milik negara menjadi tidak optimal sebagaimana tugas dan tanggung jawab dewan komisaris yang diatur dalam UU BUMN dan UU PT.

"Sehingga menyebabkan timbulnya kerugian-kerugian perusahaan dan terjadinya Praktik Korupsi, Suap, Kolusi di perusahaan milik negara tersebut. Hal itu tentunya berpengaruh kepada Pemohon sebagai konsumen seperti contoh harus mendapatkan BBM oplosan saat mengisi BBM di SPBU milik Pertamina. Oleh karenanya Viktor merasa memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon untuk menguji Pasal 23 UU 39/2008," ujar dia.

Pemohon juga menyoroti penjelasan MK pada bagian pertimbangan hukum Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 terhadap Pasal 23 UU 39/2008 berlaku juga untuk Wakil Menteri dinilai tidak mengikat, karena Objek Pasal yang diuji dalam putusan itu bukan Pasal 23, melainkan Pasal 10 tentang kedudukan Wakil Menteri.

"Sehingga penjelasan MK pada bagian pertimbangan hukum dinilai bukanlah merupakan Ratio Decidendi namun sejenis Obitur Dicta yang tidak mengikat. Hal ini yang mendasarkan pemerintah melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan bahkan Ketua MPR RI berpendapat bahwa penjelasan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2025 tidak mengikat. Sementara dalam Putusan Nomor 76/PUU-XVIII/2020 dan 21/PUU-XXIII/2025, MK tidak mempertimbangkan Pokok Perkara sama sekali karena pada pokoknya MK menilai Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum," ungkap Viktor.

Padahal, kata Pemohon, rangkap jabatan wamen sebagai komisaris di perusahaan milik negara bertentangan dengan prinsip negara hukum, tata pemerintahan yang baik, dan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Adapun, Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 telah menjelaskan bahwa larangan rangkap jabatan bagi menteri seharusnya berlaku pula bagi wakil menteri. Mengingat pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri juga merupakan hak prerogatif Presiden. Namun, pemohon memahami alasan pemerintah menganggap rangkap jabatan wakil menteri menjadi Komisaris perusahaan milik negara tidak melanggar putusan tersebut.

2. Petitum Pemohon

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Oleh sebab itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk menyatakan Pasal 23 UU 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap frasa "Menteri dilarang merangkap jabatan" bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai "Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan".

Sehingga Bunyi Frasa Selengkapnya: “Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:

a.Pejabat negara lainnya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan

b.Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau

c.Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

3. MK tegaskan wamen tak boleh rangkap jabatan

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Santi Dewi)

Sebelumnya, MK juga sempat menegaskan, wamen tidak boleh rangkap jabatan. Penegasan itu disampaikan MK saat memutuskan tidak dapat menerima gugatan perkara Nomor 21/PUU-XXIII/2025 mengenai uji materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara). Pemohon dalam gugatan ini mempermasalahkan tidak diaturnya larangan rangkap jabatan bagi wamen.

MK menyatakan, gugatan uji materi itu tidak diterima karena pemohon tak bisa memenuhi persyaratan. MK mendapatkan bukti bahwa pemohon telah meninggal dunia.

Meski tidak menerima gugatan Pemohon, MK dalam pertimbangannya kembali menegaskan adanya Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menyatakan wamen dilarang rangkap jabatan.

Disebutkan, berkenaan dengan isu konstitusionalitas rangkap jabatan, MK memberikan penilaian yang pada pokoknya menyatakan bahwa larangan yang berlaku bagi menteri juga berlaku terhadap wakil menteri.

"Berdasarkan Pasal 23 UU 3/2008, seorang menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, komisaris, atau direksi pada perusahaan negara, atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD. Dengan adanya penegasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, maka terang bahwa wakil menteri juga dilarang merangkap jabatan lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU 39/2008," bunyi berkas putusan resmi MK dalam pertimbangan hukum perkara nomor 21/PUU-XXIII/2025.

MK juga menyoroti, dalam pelaksanaannya, masih terdapat wakil Menteri yang rangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan milik negara. Padahal, Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 sudah jelas menyampaikan bahwa wakil menteri dilarang rangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan negara maupun swasta.

"Pengabaian terhadap putusan tersebut salah satunya didasarkan pada alasan bahwa amar putusan dari perkara tersebut tidak dapat diterima dan tidak menyatakan ketentuan terkait larangan rangkap jabatan tersebut inskonstitusional. Meskipun dalam amar putusan a quo permohonannya tidak dapat diterima, tetapi dalam membaca putusan juga sudah seharusnya membaca dan melihat ratio decidendi-nya," lanjut MK dalam pertimbangan putusan tersebut.

Dalam pertimbangan lainnya, MK tak dapat menerima gugatan karena pemohon sebagai pihak yang mengalami kerugian konstitusional meninggal dunia.

"Perkara nomor 21 tahun 2025, berkenaan dengan kedudukan hukum para pemohon Mahkamah mendapatkan bukti bahwa pemohon Juhaidy Rizaldy Roringkon telah meninggal dunia berdasarkan surat keterangan dari rumah sakit Dr Suyoto Jakarta pada tanggal 22 Juni 2025 pukul 12.55 WIB," ujar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (17/7).

Saldi menuturkan, berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon yang telah meninggal dunia tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Sebab, syarat anggapan kerugian hak konstitusional yang dimiliki oleh pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang di MK harus relevan dan berkesinambungan dengan keberadaan pemohon.

"Mengingat syarat lain yang juga harus dipenuhi untuk dapat diberikan kedudukan hukum bagi pemohon adalah apabila permohonan dikabulkan maka anggapan kerugian hak konstitusional yang dialami oleh pemohon tidak lagi terjadi atau tidak akan terjadi," tutur dia.

Oleh karena itu, seluruh syarat anggapan kerugian yang didalilkan pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum yang bersifat kumulatif tidak terpenuhi.

Editorial Team