Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sidang Perdana Gugatan UU Kementerian Negara di MK Digelar Hari Ini

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • Sidang gugatan pengujian materiil UU Nomor 39 tahun 2008 digelar perdana pada Senin (28/4/2025) pukul 16.00 WIB.
  • Empat mahasiswa UI menggugat agar menteri dilarang rangkap jabatan pengurus partai politik, menurut kuasa hukum Rizal.

Jakarta, IDN Times - Sidang gugatan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara bakal digelar perdana pada Senin (28/4/2025). Berdasarkan jadwal yang tertulis di situs resmi MK, sidang digelar pukul 16.00 WIB. Hal itu juga dikonfirmasi oleh salah satu kuasa hukum dari empat penggugat, Abu Rizal Biladina. 

"Iya betul, sidang hari ini diadakan pukul 16.00 WIB," ujar Rizal ketika dikonfirmasi IDN Times

Di dalam gugatannya setebal 64 halaman, empat penggugat yang notabene merupakan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) itu menginginkan agar menteri dilarang rangkap jabatan pengurus partai politik. Keempat penggugat, yaitu Stanley Vira Winata, Kaka Effelyn Melati Sukma, Keanu Leandro Pandya Rasyah, dan Vito Jordan Ompusunggu dari FIA UI. Lalu, tim kuasa hukum mereka berasal dari Fakultas Hukum UI. 

Gugatan tersebut sudah diregistrasi pada 18 Maret 2025 dengan nomor perkara 35/PUU-XXIII/2025. Permohonan tersebut secara spesifik ingin menguji pasal 23 huruf C di UU Nomor 39 tahun 2008 mengenai Kementerian Negara. 

Kuasa hukum penggugat, Rizal mengatakan, pasal itu diuji lantaran dianggap telah melanggar hak konstitusional pemohon. Selain itu, di lapangan, banyak menteri yang juga merangkap pengurus partai politik. 

1. Menteri jelas dilarang rangkap jabatan dengan organisasi lain yang dibiayai APBN

Pelantikan menteri di kabinet Merah Putih. (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Rizal menjelaskan, alasan mahasiswa menggugat pasal 23 huruf C di UU Nomor 39 tahun 2008 lantaran saat ini kondisinya sudah status quo.

"Sehingga, sudah tidak ada checks and balances, sehingga perlu diperbaiki dari struktur hukum tata negara kita, dimulai dari menteri tak boleh merangkap jabatan sebagai pengurus parpol," ujar Rizal. 

Hal itu juga tertuang di dalam gugatan mereka. "Bahwa para pemohon sebagai voters yang telah menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dan pilkada serentak 2024 tidak mendapatkan presiden yang dapat melaksanakan tugas serta amanahnya dari rakyat untuk meningkatkan sistem presidensial di Indonesia, sebagaimana hal tersebut merupakan cerminan semangat dari amandemen UUD NRI 1945. Pelemahan tersebut dapat dilihat dari pengangkatan menteri yang sekaligus rangkap jabatan sebagai pengurus partai politik oleh presiden sendiri," demikian cuplikan isi gugatan tersebut. 

Selain itu, Pasal 23 huruf C beleid tersebut menegaskan menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Rizal mengatakan, pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena ada tumpang tindih dengan norma Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Pasal ini menyebutkan keuangan partai politik bersumber dari iuran anggota; sumbangan yang sah menurut hukum; dan bantuan keuangan dari APBN atau APBD.

2. Pasal 23 huruf C dianggap melemahkan fungsi pengawasan DPR

Ilustrasi gedung DPR di Senayan. (IDN Times/Kevin Handoko)

Pertimbangan lain dari para pemohon hingga menggugat pasal 23 huruf C UU nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yaitu beleid tersebut melemahkan fungsi pengawasan DPR dan mengacaukan checks and balances. Checks and balances adalah prinsip menyetarakan kedudukan antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Pemohon mengatakan, dominasi eksekutif terhadap legislatif dipengaruhi pula oleh koalisi besar yang dibentuk presiden selaku pimpinan eksekutif. Indonesia adalah penganut sistem multipartai sehingga untuk menghindari presiden minoritas, pilihan presiden adalah mendistribusikan jabatan menteri bagi parpol untuk mengumpulkan dukungan dari legislatif.

Dengan demikian situasi gridlock akan dapat diatasi dengan adanya koalisi yang meningkatkan posisi tawar presiden di legislatif. Alhasil, Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto memiliki koalisi gemuk dengan 36 menteri yang merangkap jabatan menjadi pengurus parpol. Hanya 12 menteri yang berasal dari kalangan profesional. 

Di sisi lain, dalam pandangan penggugat, menteri asal parpol cenderung memiliki peran ganda, yaitu tidak hanya bertugas menjalankan tugas pokok dan fungsinya pembantu presiden. Mereka juga bertanggung jawab terhadap partai politik dan seluruh agenda parpol tersebut. 

3. Penggugat yakin kali ini gugatan bisa diterima hakim konstitusi

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Rizal mengatakan, gugatan ini tidak ne bis in idem atau tidak boleh diadili lebih dari satu kali karena sudah pernah diajukan. Gugatan terhadap Undang-Undang Kementerian pernah diajukan anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Lily Wahid pada 2009 dengan Nomor Perkara 151/PUU-VII/2009. 

Namun Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Lily. Lily dinilai tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat 2 UU MK, di mana ia dinilai kurang menguraikan secara jelas kerugian konstitusional akibat berlakunya UU tersebut.

Sementara, dalam pandangan Rizal, legal standing pemohon berbeda dengan Lily yang berstatus sebagai anggota DPR RI. Sedangkan pemohon adalah mahasiswa aktif dan voters pemilu 2024, sehingga permohonan ini tidak ne bis in idem

"Kewenangan konstitusional ditolak karena pada saat itu beliau menjabat sebagai anggota DPR RI dari PKB," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Jujuk Ernawati
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us