Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
berita_1750244164_bb467203fd6fa2086cf5.jpg
Mahkamah Konstitusi gelar sidang pendahuluan Pengujian UU Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), Rabu, (18/06/2025), dengan agenda memeriksa permohonan Pemohon (Dok. Humas MK)

Intinya sih...

  • Pasal 18 (1) UU Polri rawan disalahgunakan oleh oknum Kepolisian

  • Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 18 ayat 1 UU Polri bertentangan dengan UUD 1945

  • Petitum kontradiktif, Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani menggelar sidang pendahuluan pengujian Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).

Permohonan Perkara Nomor 93/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Arista Hidayatul Rahmansyah. Menurutnya, norma tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 UUD NRI Tahun 1945.

1. Rawan terjadi penyalahgunaan

Ilustrasi Gedung MK (mkri.id)

Arista sebagai Pemohon mengungkapkan, dirinya berprofesi sebagai seorang advokat yang sering melakukan pendampingan terhadap klien, baik di pengadilan maupun di luar pengadilan.

Pasal 18 (1) UU Polri dinilai sangat rawan disalahgunakan oleh oknum Kepolisian, bahkan dapat dijadikan alat bagi oknum Kepolisian dalam melakukan tugas secara sewenang-wenang dengan dalil telah sesuai prosedur dan bersesuaian dengan ketentuan pada Pasal 18 ayat (1) UU Polri, yakni “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.

“Frasa ‘menurut penilaiannya sendiri’ yang ada pada norma a quo membuat polisi memiliki legal standing menjalankan tugas dan kewenangan sesukanya. Di samping itu, Pasal ini bisa saja digunakan sebagai bentuk pembungkaman terhadap pihak-pihak yang dianggap mengganggu citra kepolisian atau bisa digunakan oleh elite penguasa untuk membungkam pesaing-pesaing politik/oposisi,” jelas Arista dari Ruang Sidang Panel MK.

2. Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 18 ayat 1 UU Polri bertentangan dengan UUD 1945

Kapolri Listyo Sigit (Dok. Humas Polri)

Di samping itu, dalam Pasal 18 ayat (1) UU Polri ini tidak terdapat penjelasan dalam batang tubuh maupun penjelasan undang-undang mengenai apa yang dimaksud dengan “kepentingan umum”, sehingga membuka ruang interpretasi subjektif oleh aparat di lapangan. Hal ini melanggar prinsip lex certa, yaitu hukum harus ditulis dan dirumuskan secara jelas, yang merupakan bagian dari asas negara hukum sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Pemohon menilai, tanpa pembatasan normatif, aparat dapat menyatakan suatu situasi sebagai “kepentingan umum” hanya berdasar pada ketakutan, kekhawatiran, atau praduga subjektif, bukan pada parameter hukum yang dapat diuji secara objektif. Ini menimbulkan ketimpangan kekuasaan antara aparat dan warga, di mana tindakan pembatasan hak-hak warga tidak dapat dilawan secara hukum karena tidak ada standar yang jelas.

Untuk itu, Pemohon dalam petitumnya meminta agar MK menyatakan Pasal 18 ayat (1) UU Polri bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: ayat (1) “Yang dimaksud dengan bertindak menurut penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.”

3. Petitum kontradiktif

Hakim MK Ridwan Mansyur (dok. Humas MK)

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi, Ridwan Mansyur menasihati agar Pemohon memperhatikan lima parameter kerugian konstitusional Pemohon dalam perkara pengujian UU di MK.

“Pada permohonan ini, kerugian Pemohon masih kurang, jadi masih bisa dielaborasi lagi. Pada petitum ada empat, antara petitum kedua dan ketiga ini dapat dimaknai sama atau bisa saja kontradiktif, jadi perlu disempurnakan lagi,” kata Ridwan.

Hakim Konstitusi, Arsul Sani dalam nasihatnya memberikan catatan tentang pasal yang dimohonkan pengujian itu pernah diputuskan oleh MK.

“Untuk itu, perlu memperhatikan Putusan Nomor 42/PUU-XI/2013 dan Putusan Nomor 104/PUU-XXII/2022 dalam mempedomani perbaikan permohonan ini,” jelas Hakim Konstitusi Arsul.

Pada akhir persidangan, Wakil Ketua MK Saldi menyebutkan, Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Selasa, 1 Juli 2025 pukul 12.00 WIB. Selanjutnya Pemohon akan diinformasikan untuk sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon.

Editorial Team