Tolak Pasal Penghinaan Lembaga Negara, Ini 3 Alasan Anggota DPD 

Timbul banyak pertanyaan dibenaknya dalam pasal tersebut

Jakarta, IDN Times - Anggota Komite I DPD, Abdul Rachman Thaha, menolak pasal penghinaan lembaga negara yang dimuat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Pasal penghinaan lembaga negara tertulis pada Pasal 353 dalam Bab IX tentang Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara Bagian Kesatu terkait Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.

Pasal tersebut berbunyi:

"Setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.". 

Menurut Rachman, pasal tersebut patut ditolak. Ia menyebutkan tiga argumentasi mengapa pasal penghinaan lembaga negara patut ditolak.  

1. Hukum tidak boleh memukul rata

Tolak Pasal Penghinaan Lembaga Negara, Ini 3 Alasan Anggota DPD Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Pertamanya, Rachman memberikan contoh dengan memakai istilah niat jahat (mens rea) yang dipilah lagi menjadi intent dan motive. Ia menggambarkan dua orang si A dan si B yang sama-sama sengaja menghina presiden. Rachman menjelaskan terdapat intent dalam perbuatan mereka.

Oleh karena itu, menurutnya, polisi dan jaksa harus membuktikan keberadaan intent tersebut. Namun tak cukup sampai disitu. Kedua lembaga harus membuktikan sebuah motive.

Kemudian, setelah didalami ternyata A menghina presiden sebagai ekspresi kekesalannya atas kegagalan bertubi-tubi presiden dalam memimpin negara. Penghinaan dianggap A sebagai kecaman keras agar kondisi negara bisa berlangsung lebih baik.

Sebaliknya, B menghina presiden sebagai pelampiasan karena ia diceraikan oleh suaminya yang merupakan pendukung presiden. Penginaan dilakukannya semata-mata untuk melegakan hati.

"Dari contoh itu bisa dilihat bahwa dalam perbuatan yang disengaja, intent bisa sama. Namun, motive antarmanusia bisa berbeda. Hukum, sekali lagi tidak boleh memukul rata," ujar Rachman dalam keterangan resminya pada Kamis (9/6/2021).

Ia menjelaskan bahwa si A dapat dipahami karena beritikad baik dan peduli terhadap kondisi bangsanya dan penghinaannya bukan sesuatu yang ada dalam konteks relasi personal.

Sedangkan, si B tidak punya itikad positif di balik penghinaannya karena merupakan ekspresi pribadinya terhadap pribadi orang lain.

"Jika pasal dimaksud jadi disahkan, hanya patut dikenakan pada si B," ujar Rachman.

Baca Juga: Jokowi ke Mahfud: Ada Pasal Hina Presiden atau Tidak, Saya Dihina

2. Kedudukan semua pihak dihadapan hukum adalah sama

Tolak Pasal Penghinaan Lembaga Negara, Ini 3 Alasan Anggota DPD Ilustrasi sidang (IDN Times/Aryodamar)

Rachman menjelaskan bahwa kedudukan semua pihak di hadapan hukum adalah sama. Dalam argumentasi keduanya, ia bertanya, apakah dengan azas tersebut ketika warga bisa dipidana karena menghina lembaga negara, pejabat negara juga bisa dipidana? ketika misalnya melakukan penghinaan terhadap warganya.

"Bayangkan pejabat yang saking emosionalnya sampai mengeluarkan hinaan terhadap warga. Jika tidak berlaku dua arah, maka azas kesamaan di hadapan hukum sudah dinihilkan. Pasti, ini bukan kontruksi hukum yang benar," kata Rachman.

3. Dikhawatirkan instrumen hukum sebagai alat pengaman diri pemegang kekuasaan

Tolak Pasal Penghinaan Lembaga Negara, Ini 3 Alasan Anggota DPD Ilustrasi anggota DPR (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Ketika sesama anggota masyarakat bertikai dan menghina satu sama lain, otoritas penegakan hukum kerap melakukan mediasi antakeduanya. Tetapi Rachman bertanya-tanya jika penghinaan tersebut dilakukan masyarakat terhadap lembaga negara, akankah otoritas penegakan hukum memediasi keduanya?

"Adakah kesanggupan dari otoritas terkait untuk menjadi mediator ketika pihak pelapor adalah mitranya sendiri sebagai lembaga negara?" tanya Rachman.

Menurutnya, perlu dikhawatirkan apabila mediasi hanya dikenakan pada konflik antar anggota masyarakat namun otoritas penegakan hukum mengalami kecanggungan bahkan meniadakan untuk memediasi lembaga negara dan masyarakat. 

"Pantaslah dikhawatirkan bahwa instrumen hukum itu memang diadakan sebagai alat pengaman diri oleh pemegang kekuasaan," kata Rachman dalam argumentasi ketiganya. 

Baca Juga: Benny Sindir Mahfud: Berubah Sikap soal Pasal Penghinaan Presiden

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya