Ya, ini kan sama yang seperti saya bicarakan tadi. Kemarin dalam seminar di KPK, saya kan diminta pendapat mengenai persoalan ini. Saya katakan dengan berlakunya KUHP, pendekatan kita itu lebih kepada restoratif justice, bukan lagi pada pemenjaraan.
Jadi penegakkan hukum juga mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, faktor-faktor sosial, tenaga kerja, dan lain-lain. Nah sementara pasal dua, pasal tiga itu kan pendekatannya pada kerugian negara.
Sedangkan kita sudah meratifikasi UN Convention Against Corruption. Nah ini kan banyak hal yang kita nggak kerjakan sekian lama.
Anda bisa bayangkan pada waktu saya jadi Menteri Hukum dan Pemenang Undangan tahun 1999. Itu kan yang pertama dilakukan adalah amendement terhadap Undang-Undang Tipikor, Undang-Undang 31 99. Di situlah saya memasukkan pasal-pasal tentang gratifikasi, suap yang semula delik umum, suap yang dilakukan penyelidikan negara menjadi delik khusus korupsi, dan lain-lain sepertinya.
Lalu kemudian kita membentuk Undang-Undang KPK. Itu tahun 2003. Diberikan kewenangan-kewenangan luar biasa. Saya mewakili pemerintah membahas RUU KPK sampai jadi. Kemudian kita membentuk tim menyeleksi pimpinan KPK yang pertama, yang Pak Taufik Ruki itu.
Sesudah itu Undang-Undang Tipikornya diperbaiki, KPK-nya dibentuk. Desember tahun 2003 kan saya pergi ke New York menetangani UN Convention Against Corruption. Nah itu 18 Desember, ingat saya tahun 2003.
Tahun 2006 ketika saya Mesesneg saya tagih ini kok nggak diratifikasi? Pada waktu itu Pak Hasan Wirayuda jadi Menlu, kita ratifikasi UN Convention Against Corruption.
Dan kita setelah meratifikasi itu, dalam waktu satu tahun, nah itu bunyi UN Convention itu, harus menyesuaikan perundang-undangan nasional kita dengan UN Convention Against Corruption itu.
Kita sudah ratifikasi tahun 2006. Sampai hari ini. Hampir 20 tahun. Kita tidak melakukan perubahan apapun terhadap perundang-undang korupsi kita.
Nah, kalau kita membaca UN Convention Against Corruption itu, rumusannya itu bukan lagi rumusan kerugian negara seperti kita. Lebih banyak kepada bribery. Bribery itu penyuapan, delik penyuapan.
Nah, kalaulah kita misalnya menyesuaikan Undang-Undang Tipikor itu dengan UN Convention Against Corruption, maka definisi tentang korupsi akan berubah. Bukan lagi memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara, tetapi adalah delik bribery, delik penyuapan dan pemindahan aset misalnya terhadap, juga termasuk penyuapan yang dilakukan di luar negeri.
Nah, lalu tekanannya pada penyuapan dan penekanannya bukan lagi pada penghukuman badan, tapi penekanannya lebih pada memulihkan kerugian negara. Dan ketika kita bicara memulihkan kerugian negara, bahasa yang dipakai oleh UN Convention Against Corruption itu, ialah asset recovery.
Pemulihan aset yang rugi akibat korupsi. Sebenarnya, bukan kata-katanya itu bukan perampasan. Itu asset recovery bahasa Inggrisnya.
Nah, penemuan kembali aset, bukan merampas. Merampas ini kan memang ada pembatasan-pembatasan tertentu. Kita selama ini hanya mengenal penyitaan. Penyitaan itu dilakukan oleh penyidik terhadap hasil kejahatan.
Misalnya saya beli mobil hasilnya uang mencuri, atau saya beli mobil uangnya dagang narkoba misalnya kan, itu mobil bisa disita, karena diduga saya manfaatkan mobil itu dari hasil kejahatan. Disita.
Nah, jadi mobil itu disita oleh polisi atau oleh jaksa, saya diadili. Nah, kalau putusan mengatakan, kalau saya terbukti melakukan, bahkan barang bukti mobil tadi dirampas untuk negara. Jadi kan setelah ada putusan.
Nah, kalau sekarang ini udah dirampas, misalnya Anda, tiba-tiba Anda punya rumah bagus, orang mengatakan bahwa ini Anda hasil mencuri, langsung dirampas. Atau Anda diadili, ternyata nggak terbukti Anda melakukan pencurian. Terus gimana rumah yang sudah dirampas itu? Itu jadi problem juga. Ini bisa jadi persoalan HAM, dan persoalan kepastian hukum.
Tentu tidak seperti itu. Ada batas-batasnya. Dia bisa dirampas kalau pelakunya melarikan diri. Nah, itu ya. Orang ini dituduh, misalnya dagang narkoba, terus beli hotel, misalnya.
Nah, lantas orangnya waktu dicari kabur ke luar negeri. Itu bisa dirampas. Tapi pun tetap jadi masalah juga. Iya dirampas, iya melarikan diri. Tapi kalau suatu saat dia tertangkap, terus dia adili di sini, ternyata dia tidak terbukti. Gimana juga persoalannya kalau sudah dirampas? Nah, itu persoalan.
Jadi saya kira, boleh-boleh aja kita membahas perampasan aset itu, karena memang sudah disampaikan ke DPR, dan sampai hari ini DPR kan belum mengagendakan pembahasan. Tapi mungkin, segala ekses-ekses yang bisa terjadi ketidakpastian hukum, bisa terjadi kesewenang-wenangan, penyidik nanti. Bisa aja polisi jadi sewenang-wenang, bisa penyidik jadi sewenang-wenang, main hantem kromo aja, main rampas-rampas ini. Kelabakan ke rakyat sendiri. Belum tentu orang itu melakukan kejahatan.
Kadang-kadang, orang yang nggak salah pun bisa dibikin image-nya salah karena pemberitaan media. Nah, itu kan pelanggaran HAM juga. Orang itu orang baik-baik sebenarnya, tapi tiap hari berita dia bilang dia orang jahat, kan dia juga orang jahat juga.
Sama saja kalau ada pohon besar di kampung, orang bilang ini pohon ini ada hantunya. Kalaunya dua malam ada hantu. Seribu orang bilang itu, bener-bener ada hantunya di situ. Kan disitu-situ. Jadi, orang jahat itu belum tentu jahat. Kan harus dibuktikan terlebih dahulu.
Jadi, kita sih mau aja membahas itu, tapi saya lebih cenderung bagaimana kalau kita memperbaiki undang-undang korupsi ini lebih dulu, sesuai, menyesuaikan dengan UN Convention Against Corruption.
Kemudian, metode penghukumannya menyesuaikan juga dengan apa namanya, KUHP baru kita, sehingga tidak semata-mata pada penghukuman badan.
Jadi, ambil contoh kasusnya Emirsyah Satar, kan Anda ingat? Yang Dirut Garuda. Kan dipidana karena disuap. Yang disuap sudah diadili dan dihukum di sini, yang nyuapnya siapa? Yang nyuapnya kan di Amerika. Perusahaan penerbangan yang membuat pesawat Geruda yang dibeli itu. Setelah orangnya diadili di sini, kan kita tanya pemerintah Amerika.
Ini yang menyuap, yang disuap sudah diadili dan sudah dihukum. Kita minta tolong pemerintah Amerika juga mengambil tindakan terhadap orang yang melakukan penyuapan. Itu perusahaan penerbangan, pembuat pesawat terbang, saya nggak usah sebut namanya lah. Jadi, apa jawab pemerintah Amerika? Kami sudah melakukan tindakan. Loh, apa tindakannya? Kami sudah panggil perusahaan itu, dia mengakui perbuatannya, melakukan penyuapan, dia dikasih denda, direksi yang menyuap dipecat, diberhentikan, dan perusahaan itu mengumumkan kepada publik, mereka mengaku salah, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi kejahatan seperti itu. Perusahaannya jalan terus.
Coba di sini. Pertama orang bilang, lo kok nggak dipenjarain? Satu. Ya kan? Kita kan seneng banget menjerain orang gitu.
Yang kedua, orang bilang, lo kok perusahaannya masih jalan? Nah, kalau kita di sini. Si A misalnya, punya perusahaan, plywood jaman dulu, pekebunan sawit kalau sekarang ini, ribuan tenaga kerjanya, dia dituduh melakukan kejahatan. Belum apa-apa sudah diblokir rekening banknya. Ya kan? Disita perusahaannya. Begitu disita, diadili sampai 4 tahun baru putus. Perusahaannya kocar-kacir. Ya kan? Gimana mau gaji? Rekeningnya diblokir. Gimana mau melakukan transaksi? Sudah itu diajukan lagi. Kejahatan korporasi. Disita lagi semua. Lalu, perusahaannya oleng. Lama-lama bangkrut. Negara nggak dapat pajak, nggak dapat retribusi ribuan tenaga kerja jadi pengangguran.
Yang kita dapat apa? Si pemiliknya itu yang kita tuduh penjahat, dimasukin penjara 20 tahun. Lalu apa yang kita dapat dari menindak kejahatan seperti ini? Kita mau memiskinkan orang atau memiskinkan negara? Coba dipikir baik-baik begitu. Amerika Serikat nggak mau.
Kalau misalnya dia menyita perusahaan pembuat perusahaan terbang di Amerika itu gara-gara kasusnya Emirsyah Satar, barangkali perusahaan perusahaan terbang Amerika itu sudah tutup. Amerika bilang ngapain kita tutup perusahaan ini? Kita jaga dong. Perusahaannya pembuat perusahaan terbang, terkenal di dunia. Masa mau hancur gara-gara nyuap sama Emirsyah Satar? Nah, ngomong seperti ini, ya bisa pepesan kosong. Bisa dianggap nggak heroik. Nggak populer. Nggak jagoan.
Nah, tapi saya pikir saya harus berpikir untuk menyelamatkan negara. Bukan karena nafsu kemarahan dan kebencian kepada seseorang atau kelompok seseorang. Jadi, nggak berani orang mengambil langkah-langkah seperti itu, karena langkah-langkah seperti itu nggak populer.
Tapi saya belajar dari Muhammad Natsir. Dia bilang, ya, pemimpin itu harus berani mengambil keputusan yang tidak heroik dan tidak populer. Karena manusia itu seringkali menyendari kebenaran, tapi ketika sudah terlambat. Kalau negara ini sudah hancur lebur, gara-gara semua tambangnya di Bredelin, semua kebun kelapa sawitnya ini dibangkrut, semua negara itu nggak punya apa-apa lagi. Hanya karena dendam dan kebencian.
Kita tidak boleh menegakkan hukum itu ke atas dasar kebencian kepada seseorang. Kalau saya belajar Al-Quran berkatakan, Allah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada kalian agar kalian dalam mengadili manusia memutuskannya dengan adil. Jangan sekali-kali kebencian kalian kepada segolongan orang menyebabkan kalian berlaku tidak adil terhadap mereka. Berlaku adillah, karena sesungguhnya adil itu lebih dekat kepada taqwa.
Itu ayat Al-Quran yang ada di Fakultas Hukum Universitas Harvard. Katanya kok sudah 1.500 tahun yang lalu ada orang kok bisa ngomong kayak gini? Ya, dipikir itu Nabi Muhammad yang bikin. Kalau orang Islam kan itu dibilang itu wahyu kan dari Tuhan.
Jadi, saya percaya betul bahwa kita nggak boleh menegakkan hukum itu karena kebencian. Hukum itu harus ditegakkan dengan adil. Dan sebelum kita bertindak adil pada orang lain, kita harus bertindak adil pada diri kita sendiri.
Karena Nabi itu mengatakan ketika ditanya, apa yang dimaksud dengan adil? Dia bilang, adil itu ialah berikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya dan cabut dari seseorang itu apa yang bukan menjadi haknya. Itu secara fair. Nggak bisa, karena kita menegakkan hukum itu dasarnya benci.
Itu dulu saya agak kecewa waktu saya mengusulkan Artidjo menjadi Hakim Agung. Karena dia ngomong di koran majalah, dia bilang, saya ini paling benci sama koruptor. Saya bilang, orang yang benci dengan sesuatu kelompok itu nggak bisa jadi Hakim. Saya juga nggak bisa jadi Hakim. Bukan karena saya benci, penyakit saya, saya mudah kasihan sama orang.
Orang mudah kasihan sama orang nggak bisa jadi Hakim. Saya jadi Hakim, ada ibu-ibu diadili nangis-nangis, ibu-ibunya, ah udahlah ibu ini dibebasin aja. Padahal dia bunuh orang. Kan celaka. Jadi saya juga nggak bisa jadi Hakim.
Mestinya Artidjo juga jangan mau jadi Hakim kalau dia mengandung dendam kepada sesuatu kelompok.
Nah akhirnya orang diadili dikira koruptor semua dihukum kan belum tentu orangnya dihukum sih. Nah, masa 100 orang didakwa pengadilan, seratusnya itu dihukum. Adalah 2 orang, 1 orang yang nggak salah. Salah semua. Nah, iya menurut saya bisa nggak benar juga penegakan hukum seperti itu.