Oposisi Melemah, Usman Hamid Khawatir Demokrasi Indonesia Hancur
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyoroti bahaya melemahnya peran oposisi politik dan pemerintahan Indonesia saat ini.
Dia menjelaskan, melemahnya keberadaan oposisi terlihat dalam berbagai diterbitkannya kebijakan yang diakomodir dalam undang-undang.
"Melemahnya oposisi, kita lihat seluruh proses perundang-undangan yang disahkan dalam beberapa tahun terakhir nyaris tanpa kontrol politik, baik UU hukum pidana, UU omnibus law, UU sebelumnya perppu ormas, seluruhnya tidak ada partisipasi yang berarti dari masyarakat," kata dia dalam acara diskusi bertajuk Demokrasi di Bawah Ancaman: Disinformasi Jelang Pemilu yang digelar Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) di kawasan Jakarta Pusat, Jumat (10/2/2023).
Baca Juga: Ahmad Muzani: Gerindra Tak Masalah Koalisi dengan Oposisi
1. Kultur oposisi kian melemah
Bersamaan dengan melemahnya oposisi, Usman Hamid menyoroti penebalan kekuasaan eksekutif yang tumbuh subur. Bahkan saat ini lembaga penegak hukum dijadikan senjata untuk mengendalikan oposisi.
"Artinya memang pilar yang sangat penting adanya kultur oposisi yang kuat itu melemah. Penebalan kekuasaan eksekutif terjadi. Jadi kepolisian, kejaksaan itu dijadikan senjata, untuk kendalikan oposisi politik baik oposisi berbasis partai maupun non partai," tutur dia.
Baca Juga: Projo Tegaskan Tolak Penundaan Pemilu: Bahaya dan Merusak Demokrasi!
2. Indonesia dikhawatirkan tak lagi anut sistem demokrasi
Lebih lanjut, Usman Hamid, mengaku khawatir jika Indonesia tidak punya oposisi politik maka pemerintah akan berjalan tanpa kontrol. Hal itu terbukti dari beberapa dinamika jelang Pemilu 2024, di mana dia menilai lembaga pemilu dan parpol sudah diintervensi.
Menurut dia, jika kebebasan masyarakat semakin dipinggirkan hingga oposisi politik melemah, makan bukan tidak mungkin Indonesia tak lagi menganut sistem demokrasi di masa mendatang.
Editor’s picks
"Jadi kalau ruang sipil kita menyempit, kalau oposisi politik kita melemah, integritas politik elektoral hancur, sebenarnya kita sebentar lagi bukan negara demokrasi," imbuh dia.
Baca Juga: Sudirman Said: IPK Anjlok akibat Demokrasi Cacat, 2024 Momen Perbaikan
3. Indonesia alami kemunduran demokrasi di era kepemimpinan Jokowi
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Politik Australia, Edward Aspinall menilai kemunduran demokrasi terjadi sejak kepemimpinan awal Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Namun kemunduran demokrasi tersebut tidak terjadi secara signifikan.
Awalnya, Edward menjelaskan sebenarnya Indonesia mengalami kemajuan demokrasi sejak jatuhnya rezim orde baru (orba). Memasuik era reformasi, demokrasi di Indonesia mengalami peningkatan.
"Menurut saya, kurang lebih sama dengan mayoritas pengamat bahwa Indonesia mengalami sebuah terobosan yang luar biasa dengan jatuhnya rezim orde baru pada akhir dekade 90an," kata dia.
Edward menilai, demokrasi mulai mengalami kemunduran setelah masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kondisi itu terjadi bertepatan dengan awal jabatan Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang memenangkan Pemilu 2014 lalu.
"Kurang lebih kemajuan demokrasi berlanjut, sampai dengan awal periode SBY. Dari waktu itu, kurang lebih mulai alami stagnasi, sejak katakanlah delapan tahun atau kurang lebih mulai naiknya Presiden Jokowi mulai mengalami regresi walaupun itu belum terlalu dahsyat," tutur dia.
Akademisi dari Universitas Nasional Australia ini menjelaskan, sejumlah institusi atau lembaga negara masih memiliki kualitas demokrasi yang baik. Namun di sisi lain, sejumlah aspek menunjukkan adanya kemunduran, di antaranya kebebasan masyakarat dalam berpendapat dan berorganisasi.
"Saat ini banyak institusi fundamental dari sistem demokrasi masih lumayan kuat. Tapi dalam beberapa hal sudah terlihat kemunduran, terutama dalaam beberapa aspek, kebebasan masyakarat, kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi dan sebagainya," ucap dia.
Edward lantas menilai, demokrasi pada intinya harus meliputi dua pilar. Pertama, di mana pemimpin dipilih oleh masyarakat bukan sekelompok, misalnya elite parpol atau perwira tinggi. Kedua, bahwa pilihan politik dilakukan dalam kondisi kebebasan sipil. Menurut analisanya, kebebasan sipil beberapa tahun belakangan ini sudah mulai digerogoti.
"Karena pilihan kalau kebebasan sipil itu terbatasi berarti akan menjadi pemilihan semu. Kebebasan sipil sudah mulai terlihat digerogoti mulai delapan sampai sepuluh tahun lalu," tutur dia.
Baca Juga: Peneliti Australia Nilai Demokrasi Mundur sejak Dipimpin Jokowi