Dalam pernyataan tersebut juga dijelaskan di Afghanistan, dampak kekeringan yang dibarengi konflik serta COVID-19 telah melumpuhkan produksi pangan pertanian dan merusak hasil peternakan. Hal-hal tersebut berujung terjadinya kelaparan serta malnutrisi bagi jutaan warga negara itu.
“Bulan Sabit Merah Afghanistan turut memberikan bantuan di antaranya dalam bentuk bahan pangan serta bantuan tunai untuk pembelian makanan, menanam tanaman tahan-kekeringan, dan perlindungan ternak,” kata lembaga itu.
Di sisi lain di Honduras, ribuan manusia kehilangan tempat tinggal dan mengungsi akibat badai Eta dan Itoa di tengah pandemik, sehingga mengungsi ke tempat pengungsian dengan mengimplementasikan berbagai pembatasan fisik, sebagai upaya perlindungan dari penyebaran COVID-19.
Kenya juga dilaporkan merasakan dampak dari COVID-19 bersamaan dengan bencana banjir dan kekeringan. Lebih 2,1 juta individu mengalami kerawanan pangan, baik di pedesaan maupun perkotaan. Di wilayah Afrika Timur, pembatasan karena COVID-19 memperlambat proses respons banjir dan upaya untuk menjangkau populasi terdampak, sehingga kian meningkatkan kerentanan mereka.
Namun, Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di seluruh dunia telah merespons terhadap krisis yang berlapis itu, dan juga membantu masyarakat untuk bersiaga serta mengantisipasi risiko perubahan iklim.
Bulan Sabit Merah Bangladesh memanfaatkan pendanaan IFRC untuk aksi antisipatif (anticiparory action) untuk melakukan diseminasi pesan peringatan dini banjir melalui pengeras suara di wilayah rentan, sehingga masyarakat dapat melakukan langkah mitigasi.
“Ancaman tidak perlu jadi bencana. Kita dapat menangkal peningkatan risiko dan melakukan langkah penyelamatan jika kita mengubah cara untuk melakukan antisipasi krisis, pendanaan aksi dini, dan pengurangan risiko di semua tingkatan. Pada akhirnya, kita perlu membantu masyarakat untuk menjadi lebih tangguh, terlebih dalam konteks paling rentan,” ujar Julie Arrighi, Associate Director dari Red Cross Red Crescent Climate Center.
Lembaga itu juga menyebut pandemik COVID-19 telah membawa dampak berkepanjangan dalam risiko perubahan iklim. Karena itu, pemerintah perlu berkomitmen untuk berinvestasi pada upaya adaptasi di masyarakat, sistem antisipasi, dan penguatan aktor lokal.
“Pembiayaan besar untuk pemulihan COVID-19 membuktikan bahwa pemerintah dapat bertindak cepat dalam menghadapi ancaman global. Kini adalah waktunya untuk mengubah kata menjadi aksi, dan memberikan energi yang sama besarnya dalam menangani krisis perubahan iklim. Setiap hari, kita saksikan dampak perubahan iklim akibat ulah manusia. Krisis iklim terjadi di sini saat ini, dan kita harus melakukan aksi,” kata Rocca.