Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bendera Amerika Serikat (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi bendera Amerika Serikat (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Intinya sih...

  • Evolusi kebijakan shutdown sejak 1980-an, mulai dari asumsi Kongres hingga penggunaan sebagai alat tawar-menawar politik.

  • Daftar shutdown utama dan durasinya, termasuk yang terpanjang selama 35 hari pada masa pemerintahan Donald Trump.

  • Penyebab dan dampak shutdown terkini di bawah pemerintahan Trump, memaksa 750 ribu pekerja federal masuk status furlough dengan kerugian ekonomi miliaran dolar AS.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pemerintah Amerika Serikat (AS) resmi memasuki masa shutdown pada Rabu (1/10/2025), setelah Kongres gagal mencapai kesepakatan pendanaan, menghentikan sebagian besar layanan federal. Dampaknya langsung terasa pada jutaan warga dan pekerja, mulai dari laporan ketenagakerjaan yang tertunda, perjalanan udara yang melambat, hingga riset ilmiah yang harus berhenti.

Shutdown kali ini bukanlah yang pertama. Dalam 50 tahun terakhir, AS telah 22 kali mengalami kondisi serupa, dengan durasi yang beragam, dari hanya beberapa jam hingga lebih dari sebulan. Untuk memahami krisis terbaru, mari menengok kembali evolusi, daftar shutdown besar, serta penyebab dan dampak situasi terkini.

1. Evolusi kebijakan shutdown sejak 1980-an

ilustrasi undang-undang AS (pexels.com/Tara Winstead)

Dilansir dari CBS News, sebelum 1980, lembaga federal biasanya tetap beroperasi meski dana belum disetujui, dengan asumsi Kongres akan segera bertindak. Namun, perubahan terjadi saat Jaksa Agung Benjamin Civiletti pada 1980 dan 1981 mengeluarkan opini hukum bahwa lembaga tidak berwenang melanjutkan operasi tanpa dana. Pandangan hukum ini menandai lahirnya konsep shutdown modern yang pertama kali diterapkan di era Presiden Ronald Reagan.

Reagan menghadapi delapan kali shutdown dalam masa pemerintahannya, sebagian besar berlangsung singkat, rata-rata hanya satu hingga tiga hari. Perselisihan kala itu biasanya terkait pemotongan anggaran atau program tertentu. Meskipun singkat, pola ini membuka jalan bagi penggunaan shutdown sebagai alat tawar-menawar dalam politik anggaran.

Memasuki dekade 1990-an, Kongres semakin bergantung pada paket pendanaan besar untuk menyelesaikan kebuntuan anggaran. Hal ini mencerminkan pergeseran dari model operasi berkelanjutan menuju penghentian sementara, yang digunakan untuk mendorong kompromi politik. Jadi, bisa dibilang sejak 1980-an, shutdown mulai diperlakukan sebagai senjata politik yang sah.

2. Daftar shutdown utama dan durasinya

Bendera Amerika Serikat (pexels.com/Brett Sayles)

Dilansir dari USA Today, catatan pertama terjadi pada 1976 di bawah Presiden Gerald Ford, berlangsung 11 hari. Setelah itu, era Presiden Jimmy Carter menyumbang lima kali shutdown sepanjang 1977–1979 dengan durasi 8-17 hari. Era Reagan pun mencatat delapan kali shutdown, termasuk pada 1981 yang hanya berlangsung dua hari akibat veto rencana pengeluaran.

Selanjutnya, pada 1990 di era Presiden George H.W. Bush, shutdown terjadi selama empat hari akibat perselisihan soal defisit anggaran. Kemudian, Presiden Bill Clinton mengalami dua shutdown pada 1995–1996, salah satunya mencapai 21 hari karena debat tentang pajak dan keseimbangan anggaran. Sementara itu, Presiden Barack Obama menghadapi shutdown selama 16 hari pada 2013 yang dipicu sengketa seputar Undang-Undang Perawatan Kesehatan Terjangkau.

Presiden Donald Trump mencatat sejarah dengan tiga shutdown, termasuk yang terpanjang pada 2018–2019. Saat itu, shutdown berlangsung 35 hari karena konflik dana tembok perbatasan, yang menimbulkan kerugian ekonomi sekitar 3 miliar dolar AS (setara Rp49,9 triliun).

3. Penyebab dan dampak shutdown terkini

Gedung Putih (pexels.com/Chris)

Shutdown terbaru yang dimulai pada 1 Oktober 2025 kembali terjadi di bawah pemerintahan Trump. Pemicunya adalah perdebatan sengit soal perpanjangan kredit pajak kesehatan dalam Affordable Care Act. Partai Republik menolak tuntutan Demokrat, dan meski sudah ada pertemuan di Gedung Putih, kesepakatan tetap buntu.

Situasi ini memaksa sekitar 750 ribu pekerja federal masuk status furlough, dengan biaya sekitar 400 juta dolar AS (setara Rp6,6 triliun) per hari. Layanan penting seperti militer memang masih berjalan, tetapi tanpa gaji. Laporan ketenagakerjaan September tertunda, perjalanan udara melambat, hingga penelitian ilmiah ikut terhenti.

Dilansir dari CNN, kondisi ini juga menunjukkan bagaimana mayoritas tipis di DPR dan aturan 60 suara di Senat membuat kompromi semakin sulit. Jika berlarut, kerugian ekonomi diperkirakan bisa menembus miliaran dolar AS, mirip dengan krisis sebelumnya.

Shutdown AS dalam perjalanan sejarahnya memperlihatkan betapa rapuhnya keseimbangan antara kebutuhan pendanaan negara dan tarik-menarik kepentingan politik. Dari awal kemunculan konsep modern di 1980-an hingga krisis tahun 2025, setiap peristiwa meninggalkan jejak berbeda pada masyarakat dan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa selama kompromi sulit tercapai, risiko shutdown tetap akan menghantui jalannya pemerintahan AS.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team