IHRP: Polisi di Banyak Negara Kecanduan Gas Air Mata, Harus Dibatasi!
Gas air mata dilarang digunakan dalam perang
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – International Human Rights Program (IHRP) University of Toronto, menyoroti soal penggunaan gas air mata yang semakin sering digunakan oleh polisi untuk meredam kerusuhaan. Dalam laporannya, IHRP menyebut penggunaan gas air mata harus dilarang sepenuhnya dalam hukum internasional.
IHRP kemudian menyarankan supaya parlemen di berbagai negara menggodok undang-undang yang melarang penggunaan gas air mata, karena tergolong sebagai senjata kimia. Larangan itu termasuk memusnahkan stok yang ada, melarang ekspor-impor, hingga menutup manufakturnya.
“Gas air mata bukanlah metode pengendalian massa yang relatif jinak, penyebarannya secara efektif menghancurkan hak atas kebebasan protes dan berkumpul,” kata Vincent Wong, salah satu penulis laporan IHRP, dikutip dari laman law.utoronto.ca pada Rabu (12/10/2022).
Baca Juga: Komnas HAM: Penyebab Utama Tragedi Kanjuruhan Tembakan Gas Air Mata
1. Permintaan gas air mata makin tinggi, tapi tidak ada aturan yang membatasinya
Penggunaan gas air mata telah meningkat di seluruh dunia. Lihat saja bagaimana kepolisian di Iran, Hong Kong, Amerika Serikat, dan Indonesia menggunakan gas air mata sebagai senjata untuk membubarkan demonstran, yang dinilai sudah mengganggu ketertiban umum.
Alhasil, permintaan gas air mata semakin tinggi di pasar global, namun belum ada regulasi yang mengatur soal perdagangan dan penjualan alat itu. Sehingga, permintaannya diprediksi bakal terus tumbuh.
Gas air mata tergolong sebagai senjata daerah, yang tidak pandang bulu. Ia tidak bisa membedakan antara yang muda dan tua, yang sehat dan sakit, yang damai dan kejam. Ketika ditembakkan, mereka yang menghirupnya bisa terancam kesehatannya, baik karena cedera, gangguan pernapasan, kepanikan, bahkan kematian.
Lebih buruk lagi, gas air mata sering disalahgunakan karena dipakai di ruang tertutup dan jumlahnya berlebihan.
Contoh nyata terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Seusai laga Arema kontra Persebaya, terjadi kerusuhan di dalam lapangan. Polisi kemudian membubarkan massa dengan gas air mata, yang justru memicu kepanikan dan kerusuhan makin tak terkendali, sehingga menewaskan 131 orang dan menyebabkan 583 orang terluka.
“Studi menunjukkan bahwa paparan jangka panjang membuat mereka yang terkena (gas air mata) berisiko lebih tinggi untuk sejumlah penyakit, termasuk tertular penyakit pernapasan seperti COVID-19,” tambah Wong.
Baca Juga: Waduh! Polri Akui Gas Air Mata di Kanjuruhan Kedaluwarsa Sejak 2021
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.