TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Taiwan Siap Bekerja Sama Berantas Sindikat Kriminal Internasional

Perdagangan manusia makin marak pascapandemik COVID-19

Ilustrasi Perdagangan Perempuan (IDN Times/Mardya Shakti)

Jakarta, IDN Times – Tidak bisa dimungkiri bahwa internet telah menawarkan berbagai kemudahan. Namun, layanan keuangan digital yang kian berkembang ternyata menjadi sasaran bagi banyak organisasi kriminal untuk melakukan penipuan.

Pada 2021, Taiwan melaporkan kerugian terkait penipuan sebesar 186 juta dolar AS (sekitar Rp2,8 triliun). Dampak dari aksi kriminal ini tidak saja mengganggu pembangunan nasional, terutama pascapandemik COVID-19 yang ekonominya harus dipulihkan, tapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah

“Baru-baru ini, jenis penipuan menjadi lebih beragam dan kompleks, metode penipuan telah berinovasi. Penipuan cryptocurrency telah menghebohkan publik karena para korban menderita kerugian besar,” Kata Komisaris Badan Investigasi Kriminal Taiwan, Li Hsi-ho, dalam keterangan pers yang diterima IDN Times, Senin (17/10/2022).

“Saat menangani kasus penipuan, polisi Taiwan kerap menghadapi dilema bahwa server, akun pembayaran, atau platform perdagangan cryptocurrency yang digunakan oleh para pelaku berada di luar negeri. Sehingga, tidak mungkin untuk memblokir uang yang ditipu secara tepat waktu, dan juga sulit untuk melacak tersangka,” tambahnya.

Baca Juga: Demi Reunifikasi Taiwan, Xi Jinping Bersumpah Akan Gunakan Kekuatan 

1. Berikut modus penipuan yang marak terjadi di Taiwan baru-baru ini               

Komisaris Badan Investigasi Kriminal Taiwan, Li Hsi-ho (Dok. IDN Times/Istimewa)

Salah satu karakteristik investasi mata uang virtual adalah high risk high return. Sekalinya untung kalian bisa cuan besar, sehingga banyak orang yang tertarik. Tapi, literasi keuangan yang rendah justru menjadikan investasi mata uang virtual sebagai sasaran sindikat kriminal untuk melakukan penipuan.

Belakangan ini, polisi di Taiwan menemukan bahwa banyak sindikat kriminal yang menjalankan investasi bodong memanfaatkan mata uang virtual. Para korban dibujuk untuk mendaftar sebagai anggota platform investasi palsu. Ketika korban hendak menarik dana, mereka akan dihadapkan dengan sejumlah alasan.  

“Korban membayar pajak tambahan 10- 20 persen sebelum penarikan. Bahkan, jika korban mengisi ulang dana, sindikat kriminal akan berusaha untuk mencari berbagai alasan agar korban dapat seterusnya mengisi ulang dana tersebut, misalnya, biaya transaksi harus dibayar sebelum penarikan dapat disetujui, dan lain sebagainya,” papar Li.

Sindikat kriminal mengubah metode kriminal mereka, dari metode memperoleh rekening utama menjadi metode menggunakan wallet mata uang virtual, yang dapat mengurangi risiko tertangkap oleh polisi saat penarikan dana. 

Kelompok kriminal menggunakan sistem nama asli untuk memverifikasi manajemen pertukaran mata uang virtual dan membuka rekening utama. Begitu korban menerima uang dari rekening yang ditunjuk oleh sindikat kriminal, mereka segera mentransfer uang dalam jumlah besar, dan mentransfer uang tersebut ke cold wallet lalu ditukar dengan mata uang flat di bursa lain.

Karena crypto wallets tidak memiliki ukuran otentikasi pengguna, dan tidak ada batasan jumlah transaksi untuk mentransfer, maka fasilitas ini mudah digunakan sebagai alat pencucian uang.

2. Berawal dari penipuan kerja, berujung perdagangan manusia 

Ilustrasi Perdagangan Perempuan (IDN Times/Mardya Shakti)

Di saat jumlah pengangguran meningkat imbas pandemik, sindikat kriminal mendirikan ruang digital di seluruh dunia dan merekrut anggota dalam skala besar melalui iklan online.

Sindikat penipuan ini menggunakan slogan-slogan menarik seperti "pekerjaan mudah" dan "kekayaan yang cepat”. Mereka menjanjikan pekerjaan yang stabil sesuai hukum di negara tujuan. Namun, saat para korban tiba di sana, ternyata pekerjaan itu melibatkan penipuan, bahkan paspor mereka disita serta kebebasan pribadi dibatasi.

Lebih buruk lagi, mereka dipukuli atau dijual kembali ke perusahaan ilegal lainnya, bahkan diancam akan diambil organ tubuhnya sebagai kompensasi.

Perdagangan manusia adalah salah satu masalah hak asasi manusia yang serius. Sindikat kriminal menggunakan kemudahan internet untuk merekrut orang-orang dari berbagai negara, agar terlibat dalam kegiatan ilegal di ruang digital yang tersebar di seluruh dunia.

Pada 2021, polisi Taiwan dan Vietnam bersama-sama menangkap sindikat penipuan. Didapati bahwa orang Vietnam yang tinggal melebihi batas waktu di Taiwan dipaksa melakukan kejahatan penipuan, korban penipuan adalah orang Vietnam, dan pendapatan ilegalnya mencapai 140 ribu dolar AS (sekitar Rp2,6 miliar). 

Bekerja sama dengan lembaga penegak hukum asing, polisi Taiwan juga telah berhasil memecahkan sejumlah penipuan lintas negara dan sindikat perdagangan manusia, seperti pada 2020 dengan Montenegro dan pada 2021 dengan Turki.

“Kerja sama dengan Montenegro berhasil menangkap 92 tersangka dan menyelamatkan lebih dari 2 ribu korban, dengan kerugian mencapai lebih dari 21 juta dolar AS (sekitar Rp324 miliar),” kata Li.

Baca Juga: Hari Nasional Taiwan, Presiden Tsai: Perang dengan China Bukan Opsi!

Verified Writer

Andi IR

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya