TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Sejarah Armenia vs Azerbaijan, Konflik Alot Lampaui Abad

Berebut jawara di Kaukasus Selatan

Pasukan bersenjata Azeri menembakan artileri saat bentrok antara Armenia dan Azerbaijan atas wilayah Nagorno-Karabakh di sebuah lokasi yang tidak teridentifikasi. (ANTARA FOTO/Defence Ministry of Azerbaijan/Handout via REUTERS)

Jakarta, IDN Times - Dalam beberapa minggu terakhir, konflik antara Armenia dan Azerbaijan kembali muncul ke permukaan setelah kemenangan gemilang pasukan Azerbaijan di wilayah Nagorno-Karabakh pada November 2020 lalu.

Pasukan Armenia berkedok Republik Artsakh yang menduduki wilayah Nagorno-Karabakh sejak gencatan senjata 1994, akhirnya berhasil dipukul mundur oleh serangan gabungan Angkatan Bersenjata Azerbaijan selama kurang lebih enam minggu pertempuran di seluruh wilayah sengketa. 

Meskipun kedua negara sudah menandatangani gencatan senjata berkat desakan Rusia pada 9 November 2020, permusuhan terus berlanjut. Hal itu dibuktikan dengan semakin aktifnya pergerakan militer masing-masing negara di perbatasan.

Pada Kamis, (27/5/2021), Reuters melaporkan, enam prajurit Armenia ditangkap oleh militer Azerbaijan di daerah perbatasan Gegharkunik bagian timur, atas dugaan infiltrasi dan sabotase. 

Tanpa adanya bukti konkret yang menunjukkan komitmen perdamaian, hubungan Armenia dan Azerbaijan dapat dipastikan akan selalu berada di ujung tanduk. Berikut adalah pengenalan singkat mengenai perihnya sejarah relasi Armenia-Azerbaijan di kawasan Kaukasus Selatan. 

Baca Juga: Mengenal Pasukan Penjaga Perdamaian PBB

1. Genosida etnis dan sengketa tanah

Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, bersama Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. twitter.com/MevlutCavusoglu

Jauh sebelum kemerdekaan penuh Republik Armenia dan Republik Azerbaijan dikumandangkan pada 28 Mei 1918, wilayah Kaukasus berada di bawah kontrol Kekaisaran Rusia. Setelah berusaha menaklukkan daerah tersebut sejak 1823, Kekaisaran Rusia akhirnya menyaksikan kedua etnis di Kaukakus itu menjadi republik.

Niall M Fraser dalam The Journal of Conflict Resolution menulis bahwa kedatangan Rusia ke Kaukasus mewarisi banyak konflik etnis, salah satunya antara Armenia dan Azerbaijan. Perbedaan yang mencolok antara kelompok etnis Armenia dan Azerbaijan terlihat dari budaya, bahasa, tulisan, hingga agama yang mereka anut.

Dalam artikel yang berjudul “A Conflict Analysis of the Armenian-Azerbaijani Dispute” di jurnal tersebut, Fraser menyebut masalah di kawasan itu menjadi tambah besar dengan adanya pembagian wilayah Kaukasus Selatan. Kekaisaran Rusia melakukan pembagian tanpa mempertimbangkan kompleksitas etnis yang dimiliki Armenia serta Azerbaijan.

Percobaan asimilasi yang digaungkan terbukti gagal karena perbedaan etnis yang begitu besar. Perseteruan yang terjadi antar Armenia dan Azerbaijan terus berlangsung akibat perebutan tanah leluhur berdasarkan alasan historis, seperti ditulis PL Dash di artikel “Nationalities Problem in USSR: Discord over Nagorno-Karabakh” dalam sebuah jurnal.

Sampai saat ini, kedua masyarakat dari masing-masing etnis terus beranggapan bahwa mereka sedang terancam aksi genosida. Mereka menilai satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan terus mempertahankan setiap tanah yang mereka miliki, salah satunya adalah Nagorno-Karabakh. 

Jika dilihat dari lensa sejarah, sebagian besar etnis Armenia terus mengingat tragedi Genosida Armenia yang dilakukan Turki selama Perang Dunia Pertama. Mereka beranggapan suatu saat nanti Azerbaijan dapat melakukan hal yang sama terhadap Armenia dikarenakan persaudaraan sesama etnis Turki yang dimiliki Republik Azerbaijan dan Republik Turki.

Sementara itu, Azerbaijan memegang teguh memori mereka terhadap tragedi Pembantaian Khojaly pada 1992 ketika pasukan Armenia mencoba melakukan "pembersihan" etnis Azerbaijan. Peristiwa di sebuah desa di Nagorno-Karabakh itu, membuat ratusan hingga ribuan orang dibantai. Kedua alasan ini dari masing-masing kelompok etnis, menjadi indikator terkuatnya untuk terus mengedepankan konfrontasi ketimbang perdamaian.

Baca Juga: Rusia dan Turki Resmikan Pusat Monitor Nagorno-Karabakh

2. Partisi Nagorno-Karabakh 1923 yang menimbun konflik besar

history.com

Runtuhnya Kekaisaran Rusia pada 1918 memberi kesempatan bagi Republik Armenia dan Azerbaijan untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Tetapi, kemerdekaan yang mereka raih hanya membuat permusuhan menjadi semakin panas.

The National Geographic menulis, intervensi Uni Soviet pada 1920 yang secara paksa menyerap Armenia dan Azerbaijan ke dalam daerah kedaulatan Soviet berhasil mengantisipasi perang etnis. Berbeda dari Kekaisaran Rusia, pemerintah Uni Soviet sangat memahami ancaman konflik perang antara dua republik barunya, yaitu Armenia dan Azerbaijan, sebagai akibat dari permusuhan etnis dan sengketa wilayah. 

Menanggapi masalah ini, Uni Soviet di bawah perintah Joseph Stalin membentuk sebuah komite khusus, demi menyelesaikan sengketa wilayah Nagorno-Karabakh yang diperebutkan Armenia dan Azerbaijan. Komite khusus yang dikenal sebagai Komite Kebangsaan itu akhirnya mengeluarkan pernyataan yang resmi pada 1923. Isinya, menyerahkan kedaulatan Wilayah Nagorno-Karabakh kepada Republik Sosialis Soviet Azerbaijan.

Penyerahan ini ternyata bertolak belakang dengan keputusan pemerintah Uni Soviet yang dua tahun sebelumnya mengakui Nagorno-Karabakh sebagai wilayah kedaulatan Republik Sosialis Soviet Armenia. Meskipun begitu, pemerintah Uni Soviet akhirnya menyetujui keputusan Komite Kebangsaan atas desakan Stalin.

Tanpa ada pengaruh yang kuat dan tekanan dari Kremlin, Armenia secara terpaksa mengakui penyerahan Nagorno-Karabakh kepada Azerbaijan untuk saat itu. Setelah penyerahan, kedua republik terlihat akur dalam beberapa dekade berkat kontrol kuat dari Kremlin. Namun, kebencian ternyata terus menyebar di kalangan Masyarakat Armenia maupun Azerbaijan.

3. Perang Nagorno-Karabakh 1988

Prajurit Armenia tengah berbaris dalam Perang Nagorno-Karabakh tahun 1988. twitter.com/WikiAsianMonth

Perdamaian yang berlangsung selama enam dekade berkat naungan Uni Soviet akhirnya pecah menjadi perang besar antara Armenia dan Azerbaijan pada 1988. Runtuhnya kekuatan ekonomi Soviet di masa-masa akhir Perang Dingin membuat kontrolnya terhadap wilayah yang rawan--seperti Kaukausus Selatan--semakin longgar setiap saat.

Kelonggaran ini kemudian digunakan Armenia untuk melancarkan serangan militer besar-besaran pada 1988 terhadap "saudara" setanah air Uni Soviet-nya, yaitu Azerbaijan, guna merebut Wilayah Nagorno-Karabakh. 

Tanpa ada keterlibatan yang cukup dari Kremlin untuk menghindari pertumpahan darah, seluruh pasukan Uni Soviet beretnis Armenia maupun Azerbaijan membelot ke republiknya masing-masing.

Genderang perang yang dibunyikan Armenia ternyata berhasil memukul mundur pasukan Azerbaijan dari wilayah Nagorno-Karabakh. Ketidaksiapan militer Azerbaijan menghadapi gerak cepat militer Armenia, membuat mereka harus kehilangan wilayah yang mereka anggap sakral. 

Perang tersebut berlangsung selama enam tahun hingga 1994. Perang itu diakhiri sebuah sebuah gencatan senjata yang disepakati melalui penandatanganan Protokol Bishkek, atas mediasi Federasi Rusia yang baru saja pulih dari kekacauan internal akibat keruntuhan Uni Soviet tahun 1991.

Untuk sementara, wilayah Nagorno-Karabakh berada di bawah okupasi militer Armenia. Mereka kemudian mendirikan negara boneka bernama Republik Artsakh dengan harapan dapat memberikan legitimasi atas "pendudukan" ilegal Armenia di wilayah Azerbaijan. 

Baca Juga: Erdogan Minta Biden Tarik Sebutan Genosida untuk Pembantaian Armenia

4. Perang Nagorno-Karabakh 2020

Roket beramunisi Cluster jatuh di Wilayah Armenia di Nagorno-Karabakh yang diduga digunakan Militer Azerbaijan. twitter.com/ArmenianUnified

Gencatan senjata pada 1994 ternyata hanya dapat bertahan hingga 2016. Di tahun ini, Azerbaijan mencoba melancarkan serangan militer terbatas ke Nagorno-Karabakh yang menyebabkan terjadinya pertempuran sengit selama empat hari.

Tanpa adanya keberhasilan yang signifikan bagi pihak Azerbaijan dan Armenia, kedua negara kembali menandatangani gencatan senjata dengan bantuan mediasi Rusia serta Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE). Tetapi banyak ahli yang mulai percaya bahwa perang besar yang akan menentukan nasib Nagorno-Karabakh siap menyambut.

Benar saja, pada 27 September 2020, wilayah Nagorno-Karabakh tersulut perang besar yang baru antara Armenia dan Azerbaijan. Seluruh pasukan Azerbaijan di garis gencatan senjata 1994 (garis yang membatasi Nagorno-Karabakh atas wilayah kekuasaan Armenia dan wilayah Azerbaijan) mulai bergerak masuk ke Karabakh.

Selama kurang lebih enam minggu pertempuran, pasukan Armenia kalah jumlah. Secara taktis, mereka terus dipukul mundur hingga ke kota terbesarnya di Nagorno-Karabakh, Kota Stepanakert, seperti dilansir Al Jazeera

Mengetahui tidak adanya kesempatan bagi pasukan Armenia untuk memukul balik pasukan Azerbaijan dari Nagorno-Karabakh, Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan menyetujui gencatan senjata dan penyerahan tujuh distrik di Nagorno-Karabakh kepada Republik Azerbaijan.

Sebagai gantinya, Azerbaijan membiarkan Armenia menguasai satu sektor distrik, yaitu Kota Stepanakert. Azerbaijan juga mengizinkan pengerahan pasukan perdamaian di bawah komando Militer Rusia untuk menjaga perdamaian di Nagorno-Karabakh selama kurang lebih lima tahun.

Kesepakatan yang dilakukan Pashinyan ini ternyata dicap sebagai pengkhianatan oleh sebagian besar masyarakat Armenia dan petinggi militer Armenia. Hal ini membawa Republik Armenia ke dalam gejolak politik yang mendesak Nikol Pashinyan untuk mundur dari posisinya sebagai perdana menteri.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya