TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Adanya Propaganda Berlebihan di Konflik Tigray di Ethiopia

Ketegangan etnis jadi ancaman

PM Ethiopia kirim militer ke wilayah oposisi. Ilustrasi (unsplash.com/Chuanchai Pundej)

Addis Ababa, IDN Times – Selama hampir satu bulan lamanya, negara Ethiopia yang berada di wilayah strategis Tanduk Afrika diguncang oleh konflik berdarah. Instruksi operasi militer Perdana Menteri Abiy Ahmed pada 4 November berlanjut dengan peperangan sengit antara tentara federal dengan tentara Tigrayan People’s Liberation Front (TPLF) wilayah regional Tigrayan.

Peperangan yang terjadi, tidak pernah ditemukan angka pasti korban jiwa. Kemungkinan ribuan nyawa dari kedua belah pihak. Ketika operasi militer pertama dilakukan, jaringan telepon dan internet di wilayah Tigray dimatikan sehingga media internasional tidak bisa melakukan verifikasi independen atas pernyataan dari kedua belah pihak.

Pada tanggal 28 November 2020, pasukan federal Ethiopia melakukan serangan paripurna ke jantung pertahanan pasukan TPLF di ibukota Tigray, Mekelle. Serangan tersebut membuat ibukota Mekelle dilumpuhkan sehingga membuat Abiy Ahmed mendeklarasikan kemenangannya. Selama konflik, beberapa kali kelompok internasional menyerukan perundingan damai tapi tidak digubris oleh Abiy Ahmed.

1. Pengakuan seorang dokter dari rumah sakit Mekelle

Salah satu dokter memberikan pengakuan selama konflik di Tigray. Ilustrasi (unsplash.com/National Cancer Institute)

Konflik di Ethiopia antara pemerintah federal dengan pemerintah regional Tigray telah membuat kekhawatiran akan guncangan stabilitas di kawasan strategis Tanduk Afrika. Namun, konflik tersebut kini mereda dengan ditaklukkannya ibukota Mekelle oleh tentara federal. Selama konflik, wilayah Tigray telah diblokade oleh pasukan federal sehingga media dan bantuan kemanusiaan tidak bisa memasuki wilayah itu.

Desakan untuk membuka blokade tidak diizinkan oleh militer federal. Bantuan kemanusiaan baru mulai dikirim awal Desember memasuki wilayah Tigray setelah konflik mulai mereda. Beberapa orang yang tadinya terkurung di Mekelle, sudah bisa membebaskan diri. Salah satunya adalah seorang dokter yang bekerja di rumah sakit di Mekelle. Dia selamat dan akhirnya bisa ke Addis Ababa, ibukota Ethiopia.

Kepada Al Jazeera, dokter yang tidak mau disebutkan identitasnya karena takut ancaman itu, menceritakan kisahnya selama konflik bermula hingga berakhir. Pada awal peperangan dimulai, rumah sakit tempatnya bekerja dibanjiri korban dari militer kedua sisi. Setidaknya ada 60 prajurit. Dia menyaksikan lima kematian saat itu.

Namun setelah operasi militer dilakukan, saluran listrik, telepon dan internet padam. Bank juga tutup. Rumah sakit mengandalkan generator dengan bahan bakar solar. Dua minggu pertempuran berlangsung, kelangkaan mulai terjadi. Bank-bank mulai buka untuk sementara namun “harga pangan melonjak mengkhawatirkan. Persediaan bahan makanan pokok mulai habis” kata dokter itu (14/12).

Baca Juga: Ethiopia akan Kembalikan Pengungsi Eritrea ke Kamp Tigray 

2. Propaganda berlebihan dari kedua belah pihak

Konflik Ethiopia disinyalir berkembang dalam dendam etnis. Ilustrasi (twitter.com/Human Rights Watch)

Perang di wilayah Tigray telah menyebabkan pengungsian secara besar-besaran penduduk wilayah tersebut. Sekitar 45.000 warga Tigray melarikan diri ke Sudan untuk mengungsi. Ditambah kabar dengan pembantaian brutal di Mai Cadera, para pengungsi yang melarikan diri penuh dengan trauma. Abu Obeida El Siddig Mohamed, kepala petugas lapangan untuk Dana Darurat Anak Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kassala, Sudan, mengatakan para pengungsi Tigrayan sebagian besar perempuan dan anak-anak mengalami “kelelahan, trauma dan sangat membutuhkan bantuan” jelasnya seperti dikutip dari ABC News (5/12).

Ketika peperangan semakin memuncak selama dua minggu pertama, rumah sakit di Mekelle mulai kekurangan persediaan medis. Tempat tidur rumah sakit diprioritaskan untuk personel militer yang terluka. Ambulan, listrik dan telepon tidak ada. Wanita hamil mulai melahirkan di rumah dan banyak pasien yang meninggal karena persediaan medis mulai langka sehingga operasi tidak dapat dilakukan.

Namun didalam ketakutan dan ketidakpastian, dokter saksi mata itu, seorang etnis Amhara, menceritakan tidak ada brutalitas yang dilakukan oleh militer federal ketika mereka sudah memasuki Mekelle. Dokter yang memberikan pengakuan itu menceritakan “saya tidak melihat adanya tindakan kriminal, protes, kekerasan atau pelanggaran HAM lainnya. Orang-orang sangat ingin kembali ke kehidupan normal mereka. Saya tidak mengalami kebencian etnis dari sisi mana pun”.

Dalam penilaiannya ketika sudah berhasil kembali ke Addis Ababa pada 9 Desember, adanya informasi yang berlebihan dan “propaganda dari kedua belah pihak telah beperan dalam pertikaian. Kebohongan diucapkan dari kedua sisi” katanya kepada Al Jazeera (14/12).

Baca Juga: Serangan 'Terakhir dan Penting' Bakal Dilakukan Ethiopia ke Tigray 

Verified Writer

Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya