TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Konflik Ethiopia: 600 Orang Tewas di May Cadera 

Ethiopia tolak intervensi internasional 

PM Abiy Ahmed menolak semua upaya campur tangan internasional. Ilustrasi (twitter.com/Abiy Ahmed Ali)

Addis Ababa, IDN Times – Konflik di Ethiopia yang memiliki kemungkinan akan terjadi perang secara berkelanjutan, mengungkapka banyak ketidak-pastian seperti misalnya korban akibat dari konflik tersebut. Pemutusan jaringan internet dan blokade jalan membuat wilayah Tigray terkunci sehingga sulit bagi media melakukan verifikasi secara independen.

Kabar terbaru dari pihak Ethiopian Human Rights Commission (EHRC) mengungkap sebuah peristiwa pembantaian di kota Mai Kadra yang terletak di wilayah Tigray. Laman berita CNN menulis bahwa setelah operasi militer Perdana Menteri Abiy Ahmed dilakukan pada 4 November, para milisi dan polisi yang memiliki afiliasi dengan TPLF (Tigrayan People’s Liberation Front ) memberikan respon perlawanan pada 9 November 2020 (24/11).

600 orang tewas di kota Mai Kadra. Para korban diidentifikasi sebagai etnis Amhara dan Wolkait. Etnis Amhara sering kali terlibat konflik mematikan dengan etnis Tigrayan. EHRC yang mengklaim sebagai lembaga independen, Daniele Bekele yang mengepalai lembaga tersebut mengeluarkan pernyataan “kejahatan mengerikan yang tak terbayangkan yang dilakukan terhadap warga sipil tanpa alasan selain etnis adalah memilukan”.

1. Pembantaian warga sipil dan desakan menghidupkan kembali jalur komunikasi

Lebih dari 40 ribu penduduk Ethiopia mengungsi ke Sudan. Ilustrasi (twitter.com/Ahmed Abdullahi)

Sebelum EHRC mengungkap peristiwa pembantaian sekitar 600 orang atau bahkan angkanya lebih tinggi, Amnesti Internasional sebenarnya sudah merilis tentang pembantaian di May Cadera pada 12 November 2020. Namun saat itu tidak ada angka pasti yang diberikan. Amnesti Internasional mengulik info dari para saksi bahwa korban bergelimpangan dengan luka menganga seperti terkena pisau atau parang dan bukan karena luka tembak.

Deprose Muchena, Direktur Amnesti Internasional untuk Afrika Timur dan Selatan mengatakan “Kami telah memastikan pembantaian sejumlah besar warga sipil, yang tampaknya adalah buruh harian yang sama sekali tidak terlibat dalam serangan militer yang sedang berlangsung” jelasnya (12/11).

Dalam rilis informasi yang disampaikan oleh Amnesti Internasional, tiga hari usai pembantaian di May Cadera dilakukan, Muchena juga mendesak pemerintahan Abiy Ahmed untuk kembali membuka jaringan komunikasi. Hal itu bertujuan sebagai tindakan akuntabilitas dan transparansi untuk operasi militernya. Namun, hal itu tak pernah ditanggapi Abiy Ahmed sampai saat ini.

Baca Juga: Pasukan Tigray Tolak Menyerah, Militer Ethiopia Mendekati Mekelle 

2. Persaingan etnis di dalam ambisi persatuan nasional PM Abiy Ahmed

Konflik Ethiopia disinyalir berkembang dalam dendam etnis. Ilustrasi (twitter.com/Human Rights Watch)

Sebelum menjadi Perdana Menteri, Abiy Ahmed berada di dalam salah satu empat partai penguasa yang berkoalisi. Empat pertai itu yakni Partai Demokrat Oromo (ODP) dimana Abiy menjadi ketua, Partai Demokrat Amhara (ADP), Gerakan Demokratik Rakyat Ethiopia Selatan (SEPDM) dan Front Pembebasan Rakyat Tigrayan (TPLF).

Saat PM Hailemariam Desalegn mengundurkan diri, koalisi empat partai tersebut memilih pemimpin dan Abiy Ahmed dari ODP yang berbasis etnis Oromo, dengan dukungan etnis Amhara di ADP, akhirnya menjadi Perdana Menteri. Koalisi ini hancur pada November 2019 ketika Abiy Ahmed membuat partai baru dengan tiga partai utama (ODP, ADP, SEPDM) ditambah lima partai lain. TPLF menganggap ini merger ilegal dan akhirnya memilih untuk keluar dari koalisi.

Ketika Abiy Ahmed naik ke tampuk kekuasaan dengan semboyan Make Ethiopia Great Again (MEGA), sentimen anti-Tigrayan semakin menjadi-jadi karena TPLF telah menguasai negeri ini selama sekitar seperempat abad. TPLF kemudian jarang sekali diikutsertakan dalam membahas isu-isu nasional sebagaoi efek “reformasi politik dan ekonomi” Abiy. Banyak pemimpin Tigrayan yang berada dalam jabatan juga disingkirkan oleh Abiy Ahmed. 

TPLF keluar dari koalisi, menjadi kekuatan oposisi etnis yang menguasai wilayah Tigray dan pada 9 September 2020 melakukan pemilihan kepala regional sendiri tanpa persetujuan pemerintah pusat. Tindakan ini yang kemudian dituding oleh Abiy Ahmed sebagai pelanggaran konstitusional. Selain itu, milisi TPLF juga dituduh menyerang personel militer federal dan berusaha mengambil beberapa senjata di pangkalan militer. Karena inilah kemudian operasi militer sebagai kebermulaan konflik berdarah di Ethiopia dikumandangkan Abiy pada tanggal 4 November 2020.

Baca Juga: Ethiopia Ultimatum Tigrayan untuk Menyerah dalam 72 Jam 

Verified Writer

Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya