TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Brexit atau Tidak Brexit: 5 Hal Penting soal Pemilu Inggris

Pemilu ini diyakini menentukan nasib Inggris di Eropa

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara dalam konferensi pers di London, Inggris, pada 29 November 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Peter Nicholls

London, IDN Times - Di tengah ketidakpastian masa depan menghadapi Uni Eropa, pemerintah Inggris kembali mengadakan pemilu yang berlangsung pada Kamis (12/12). Sejak pagi, media sosial sudah diramaikan dengan foto dan video yang memperlihatkan antrean mengular di depan tempat-tempat pemungutan suara di seluruh negeri Britania Raya itu.

Pemilu kali ini diwarnai suhu udara yang mencapai tujuh derajat Celcius dengan kondisi gerimis. Menurut prediksi Political Studies Association pada minggu ini, jumlah partisipasi pemilih ada di kisaran 66 persen. Ini lebih rendah dibandingkan pemilu pada Juni 2017 (69 persen) dan Referendum Uni Eropa atau Brexit pada Juni 2016 (72 persen).

Lalu, apa saja yang menjadi poin-poin penting dari pemilu di Inggris kali ini? Berikut rangkumannya:

1. Partai Buruh bertempur dengan Partai Konservatif yang sedang menguasai pemerintahan

Ketua partai Buruh Jeremy Corbyn berpose bersama pendukung saat kampanye pemilihan umum di Upper Gornal Pensioners Club di Dudley, Inggris, pada 21 November 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Phil Noble

Ada dua partai besar di Inggris yang kembali bertaruh sekarang ini, yaitu Partai Konservatif yang dipimpin Perdana Menteri Boris Johnson dan Partai Buruh yang diketuai Jeremy Corbyn. Kedua partai saling bersaing dalam ideologi politik.

Selain itu, ada juga Partai Liberal Demokrat, Partai Hijau, Partai Brexit, Partai Persatuan Demokratik, dan Partai Nasional Skotlandia yang menjadi peserta pemilu. Setiap warga Inggris berusia 18 tahun ke atas berhak menentukan pilihan mereka di tempat pemungutan suara yang buka sejak pukul 07.00 hingga 22.00.

Jika ada satu partai yang memenangkan lebih dari separuh kursi parlemen, partai tersebut bisa membentuk pemerintahan. Siapa pun ketuanya akan dinobatkan sebagai perdana menteri. Meski terdengar sederhana, tapi dalam dua pemilu terakhir ini sulit terjadi.

Artinya, tidak ada satu partai yang cukup kuat menguasai parlemen, sehingga perlu berkoalisi dengan partai lainnya. Pada 2010, Partai Konservatif memenangkan pemilu setelah menggandeng Partai Liberal Demokratik agar bisa membentuk pemerintahan.

Baca Juga: Boris Johnson: Dipecat 2 Kali sebagai Jurnalis Sampai Jadi PM Inggris

2. Brexit menjadi agenda penting, karena dua partai terbesar saling bertentangan

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara dalam konferensi pers di London, Inggris, pada 29 November 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Peter Nicholls

Topik panas dalam pemilu sekarang adalah, apakah Inggris akan keluar dari Uni Eropa sesuai hasil referendum pada 2016. Sebab, Inggris telah melewati tenggat waktu awal yang ditentukan dengan mundurnya Theresa May pada pertengahan 2019 dan digantikan Johnson.

Corbyn mengatakan jika partainya menang, ia akan menggelar referendum kedua. Namun, seandainya ia harus berkoalisi, misalnya dengan Partai Nasional Skotlandia yang keras menolak Brexit, pengamat menilai sulit memprediksi hasilnya.

Sementara, Johnson sudah lama diketahui mendukung Brexit dan berjanji akan mewujudkan Brexit pada akhir 2020. Hanya saja, banyak tantangan yang dihadapi seperti soal perbatasan dengan Irlandia. Ini mengingat negara itu masih menjadi bagian Uni Eropa, sehingga pengetatan bea cukai dan imigrasi jadi konsekuensi alamiah yang akan terjadi.

Apabila Johnson gagal memenangkan mayoritas, maka partainya perlu berkoalisi dengan Partai Brexit atau Partai Persatuan Demokratik yang menolak renegosiasi dengan Uni Eropa. Pengamat menilai, Johnson berpotensi malu jika ini terjadi, karena artinya posisinya tidak kuat.

3. Partai Konservatif unggul di berbagai survei

Ketua partai Brexit Nigel Farage memakai sarung tinju saat kampanye pemilihan umum di Klub Tinju Bolsover di Chesterfield, Inggris, pada ANTARA FOTO/REUTERS/Phil Noble

Menurut survei yang dirilis YouGov pada Rabu (11/11), Partai Konservatif diprediksi menang tipis (43 persen), sementara Partai Buruh ada di nomor dua (34 persen), berikutnya Partai Liberal Demokrat (12 persen), Partai Brexit (tiga persen) dan Partai Nasional Skotlandia (3 persen).

Survei tersebut juga melihat Partai Konservatif punya performa baik di kawasan utara yang mayoritas mendukung Brexit. Sebaliknya, di selatan seperti kawasan London, Partai Buruh yang menunjukkan keunggulan. Di Skotlandia, Partai Konservatif juga tidak berjaya.

4. Isu lainnya adalah soal layanan kesehatan

Sejumlah pendukung membawa spanduk saat mendengarkan pemimpin Demokrat Liberal Jo Swinson saat kunjungannya ke Parkview Community Playgroup, di Hiltingbury Community Centre dalam kampanye Pemilihan Umum di Hampshire, Inggris, pada 6 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Aaron Chown

Selain Brexit, Partai Buruh menyodorkan isu layanan kesehatan dalam pemilu kali ini. Corbyn mengklaim dirinya sebagai pembela Layanan Kesehatan Nasional (NHS), sebuah penyedia jasa kesehatan publik. Ia berjanji akan meningkatkan anggaran, dan pada saat bersamaan, menuding Johnson akan memprivatisasi layanan itu.

Bahkan, jika Brexit terjadi, Corbyn menuduhnya akan menerima perjanjian dagang dengan Amerika Serikat, yang berakibat melonjaknya harga obat-obatan. Tudingan itu membuat Johnson berusaha menunjukkan sebaliknya, dengan berjanji meningkatkan anggaran kesehatan.

Baca Juga: Kontroversi Susu Kocok Burger King di Tengah Brexit

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya