TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Inggris Larang Ekspor Gas Air Mata ke Hong Kong

Polisi bubarkan demonstran Hong Kong dengan gas air mata

ANTARA FOTO/REUTERS/Athit Perawongmetha

London, IDN Times - Pemerintah Inggris melarang penjualan gas air mata ke Hong Kong menyusul kerusuhan yang terjadi antara polisi dengan para demonstran yang memprotes Rancangan Undang-undang (RUU) Ekstradisi pada Rabu (12/6). Di hari itu, polisi Hong Kong membubarkan aksi unjuk rasa dengan menggunakan gas air mata.

Hong Kong Free Press mengutip pernyataan polisi yang menyebut ada sekitar 70-an warga sipil terluka akibat insiden itu. Para peserta unjuk rasa juga memprotes aparat keamanan yang mereka nilai telah menunjukkan sikap berlebihan dalam upaya pembubaran protes. Bila RUU Ekstradisi disahkan, maka pemerintah Hong Kong bisa mengirim pelaku tindak pidana ke Cina yang rekam jejak penegakan hukumnya tidak transparan.

Baca Juga: Alasan Ratusan Ribu Warga Hong Kong Protes RUU Ekstradisi ke Tiongkok

1. Inggris meminta adanya penyelidikan terlebih dulu

ANTARA FOTO/REUTERS/Hannah McKay

Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt, mengatakan larangan pemberian izin ekspor gas air mata dan sejumlah perlengkapan pengontrol unjuk rasa akan berlaku sampai ada hasil penyelidikan yang meyakinkan. Penyelidikan yang ia maksud adalah terhadap insiden 12 Juni lalu.

Menurutnya, ini adalah "litmus test" atau ujian yang akan menentukan sejauh mana Cina terlibat dalam urusan Hong Kong. "Saya hari ini meminta pemerintah Hong Kong untuk menetapkan adanya investigasi yang tegas, independen terhadap kejadian-kejadian yang diwarnai kekerasan seperti kita telah saksikan," ucapnya, seperti dilansir dari Reuters.

2. Hasil penyelidikan akan menentukan keputusan Inggris

ANTARA FOTO/REUTERS/Tyrone Siu

Hunt menegaskan pihaknya akan berhenti mengekspor gas air mata ke Hong Kong sampai hasil penyelidikan itu memberikan kepuasan terkait penegakan hak asasi manusia dan kebebasan masyarakat untuk berpendapat di sana. "Hasil investigasi tersebut akan memperjelas asesmen kami tentang pendaftaran izin ekspor di masa depan kepada kepolisian Hong Kong," kata Hunt.

Hong Kong sendiri secara de jure merupakan bagian dari Cina sejak diserahkan oleh Inggris pada 1997. Dalam perjanjian kedua negara, Beijing meyakinkan warga Hong Kong tetap bisa menjalankan gaya hidup mereka seperti ketika di bawah kontrol Inggris.

Secara ekonomi, Hong Kong diizinkan tetap mengadopsi kapitalisme. Secara politik, Cina menjanjikan Hong Kong bisa menikmati kebebasan berpendapat dan memilih pemimpin mereka sendiri.

"Kami akan berpegang teguh kepada perjanjian itu dan kami berharap Cina melakukan yang sama," tambah Hunt. "Kebebasan fundamental warga Hong Kong adalah apa yang membuatnya jadi suatu keberhasilan sejak 1997 dan tentu sebelum 1997. Apa pun yang berlawanan dengan semangat hukum dasar untuk menjamin itu seharusnya tidak terjadi."

3. Warga Hong Kong khawatir dengan intervensi Cina

ANTARA FOTO/Sputnik/Alexei Druzhinin/Kremlin via REUTERS

Protes besar-besaran selama lebih dari dua minggu itu memperlihatkan kuatnya resistensi masyarakat terhadap upaya Cina untuk mengontrol mereka. Hong Kong terbilang lebih pro-demokrasi dibandingkan mereka yang berada di Cina daratan.

Secara tak langsung, warga Hong Kong pun tidak percaya dengan sistem hukum yang diterapkan dan dikontrol oleh Beijing. Selebriti Hong Kong Denise Ho yang menolak RUU ekstradisi menilai "ini adalah momen yang sangat mengerikan bagi Hong Kong".

"Ini merupakan isu global sebab ini adalah hukum yang berdampak kepada aktivis HAM maupun anggota lembaga nonpemerintahan mana pun yang datang ke Hong Kong dan melakukan sesuatu yang tak disukai oleh pemerintah Cina," ujarnya, seperti dilansir dari South China Morning Post menjelang demonstrasi.

4. Tak sedikit warga Hong Kong berniat pindah ke luar negeri

ANTARA FOTO/REUTERS/Athit Perawongmetha

Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan oleh Universitas Cina di Hong Kong pada 2018, sebanyak 34 persen warga Hong Kong mengaku ingin hijrah ke luar negeri jika memiliki kesempatan. Dilansir dari Asian Nikkei, jumlah ini meningkat sebanyak 5,5 persen dibandingkan setahun sebelumnya.

Kemudian, 16,2 persen berkata tak hanya sekadar niat, melainkan sudah membuat rencana untuk pindah. Sebanyak 51 persen di antaranya berusia produktif yaitu mulai dari 18 hingga 30 tahun. Dari angka itu, 47,9 persen sudah mengantongi gelar sarjana.

Baca Juga: Situasi Tak Menentu, Warga Hong Kong Berniat Hijrah ke Luar Negeri

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya