TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Myanmar dan Laut China Selatan Bakal Disorot di Pertemuan Menlu ASEAN

Pertemuan Menlu ASEAN digelar di Phnom Penh, Kamboja.

Pertemuan menteri luar negeri ASEAN (Special ASEAN-India Foreign Ministers’ Meeting/SAIFMM) di New Delhi, India pada Kamis (16/6/2022). (twitter.com/VivianBala)

Jakarta, IDN Times - Para menteri luar negeri negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN, bakal duduk bersama dalam pertemuan rutin ASEAN Foreign Ministers Meeting, di Phnom Penh, Kamboja.

Rangkaian kegiatan ini sudah dimulai sejak 30 Juli 2022 kemarin, hingga 6 Agustus 2022 mendatang. Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi juga dijadwalkan hadir dalam pertemuan ini.

Sejumlah isu akan disorot di pertemuan tahun ini, terutama isu Myanmar dan Laut China Selatan. Selain itu masih ada isu Timor Leste yang masih menunggu untuk masuk ke blok tersebut.

Baca Juga: Menlu Retno dan Menlu China Bahas Penguatan Kerja Sama ASEAN

Baca Juga: [WANSUS] Upaya Komisi HAM ASEAN Perjuangkan Hak Rakyat Myanmar

1. Filipina akan mengangkat isu Laut China Selatan

potret kondisi di Laut China Selatan (pixabay.com/user1488365914)

Penasihat Senior Institut Kerja Sama dan Perdamaian Kamboja, Bradley Murg, mengatakan kemungkinan Filipina akan mengangkat isu Laut China Selatan yang masih menjadi sengketa hingga saat ini.

“Di bawah kepemimpinan baru, Ferdinand Marcos Jr, Filipina mungkin akan menegaskan kembali putusan arbitrase 2016 lalu di Den Haag. Putusan tersebut membatalkan klaim China atas Laut China Selatan,” kata Murg, dikutip dari VOA, Selasa (2/8/2022).

10 tahun lalu, ketika Kamboja memegang keketuaan, para menlu ASEAN gagal mengeluarkan kesepakatan bersama untuk pertama kalinya dalam sejarah ASEAN, karena Kamboja keberatan menyebutkan konfrontasi China dan Filipina serta Vietnam di Laut China Selatan.

“Hal ini dianggap sebagai kesalahan diplomatik besar bagi negara tuan rumah dan perpecahan muncul saat itu,” lanjutnya.

2. Kamboja ingin menormalkan kondisi Myanmar

Pihak oposisi Myanmar merasa kehilangan kepercayaan kepada ASEAN dalam mengatasi masalah krisis di Myanmar. (Twitter.com/kzy_linn)

Kamboja, tahun ini memegang keketuaan ASEAN dan juga memegang status utusan khusus atau special envoy ASEAN untuk Myanmar. Poin utusan khusus ini ada di dalam Lima Poin Konsensus ASEAN dan hanya satu-satunya poin yang benar-benar terlaksana sejak konsensus itu disepakati pada April 2021.

Murg mengatakan, Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen megupayakan untuk menormalkan hubungan antara ASEAN dan junta militer Myanmar, sekaligus mengembalikan kondisi Myanmar seperti sediakala.

Namun, situasi makin tak terkendali ketika Myanmar mengeksekusi empat aktivisnya dan juga memutuskan untuk memperpanjang status darurat hingga Februari 2023 mendatang.

“Isu Myanmar akan terus dibahas, terlepas dari upaya terbaik Kamboja. Tampaknya pendekatan ASEAN saja tidak akan cukup,” sambung Murg.

Sementara itu, ASEAN Parliamentarians for Human Rights atau APHR menuduh Thailand, Kamboja dan Laos mendukung junta militer Myanmar. Namun, APHR mendesak semua negara ASEAN untuk mengakui pemerintah bayangan yang dibentuk paska kudeta yaitu National Unity Government atau NUG. Pemerintahan ini didirikan oleh para pendukung Aung San Suu Kyi yang digulingkan saat kudeta.

Baca Juga: Myanmar Gunakan Pesawat Buatan Rusia untuk Serang Warga Sipil

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya