TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

19 Bulan Tanpa Internet, Warga Rakhine Myanmar Kini Bisa Online Lagi

Pemblokiran internet terlama di dunia telah berakhir

(Ilustrasi warga di Rakhine) www.icrc.org

Jakarta, IDN Times - Pemblokiran internet (internet shutdown) terlama di dunia, yang mempengaruhi lebih dari satu juta orang selama 19 bulan terakhir di negara bagian Rakhine dan Chin, Myanmar, telah berakhir.

Sejak Juni 2019, pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi melalui Departemen Komunikasi menutup akses internet di wilayah konflik. Respons apatis Suu Kyi atas diskriminasi militer terhadap etnis Rohingnya menuai kecaman dari masyarakat dunia, mengingat dirinya merupakan simbol demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang bahkan memperoleh nobel perdamaian.

Pembukaan internet di delapan kota kecil di Rakhine dan Chin menjadi kabar baik di tengah instabilitas politik domestik imbas kudeta militer yang terjadi pada Senin (1/2/2021) pagi.
 
"Telenor Group dan Telenor Myanmar telah mengadvokasi pemulihan layanan dan menekankan bahwa kebebasan berekspresi melalui akses ke layanan telekomunikasi harus dipertahankan untuk tujuan kemanusiaan," kata perusahaan itu dalam sebuah pernyataan, dilansir dari Channel News Asia, Kamis (4/2/2021).

Baca Juga: Profil Min Aung Hlaing, Dalang Kudeta dan Pemimpin Sementara Myanmar

1. Internet sudah bisa diakses tapi lambat

Pexels.com/Porapak Apichodilok

Pada Rabu (3/2/2021), penduduk yang tidak bisa mengakses internet sejak 21 Juni 2019 merayakan dibukanya kembali akses terhadap dunia yang lebih luas. Khin Maung dari kotapraja Mrauk-U di Rakhine Utara, mengatakan koneksi internet sudah kembali meski lambat.

"Sekarang kami mendapatkan internet kembali. Jadi kami tahu tentang kudeta juga," tambah Shouban di Maungdaw.

Baca Juga: Bank Dunia: Kudeta oleh Militer Myanmar Bahayakan Pembangunan Negara

2. Human Rights Watch desak pemerintah untuk membuka akses internet

(Ilustrasi koneksi internet) Unsplash.com/Stephen Phillips

Dilaporkan dalam laman resminya, Human Rights Watch (HRW) mengecam pemblokiran internet yang menyebabkan masyarakat tidak memiliki informasi dan akses yang memadai seputar pandemik COVID-19. Hal itu menyebabkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap upaya menghindari penyakit yang telah menewaskan lebih dari 2,2 juta orang.

Penutupan internet juga mempersulit koordinasi pendistribusian bantuan kepada masyarakat yang terkenda dampak konflik, serta untuk berkomunikasi dengan tim lapangan demi memastikan keamanan mereka. Di sisi lain, masyarakat dunia dan Myanmar di luar Rakhine serta Chin juga kesulitan untuk memperoleh kabar teraktual seputar konflik yang terjadi.

Sejak Juni 2019, pemerintah telah menegaskan bahwa akses internet akan dibuka kembali begitu sudah tidak ada lagi pertikaian antara militer dengan pemberontak.

Baca Juga: Pengungsi Rohingnya: Kami Takut Disiksa jika Kembali ke Myanmar

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya