Pengungsi Rohingya: Kami Takut Disiksa jika Kembali ke Myanmar
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pengungsi Rohingya dari Myanmar yang tinggal di kamp-kamp penampungan Bangladesh, mengutuk keras kudeta militer terhadap kepemimpinan Aung Sang Suu Kyi dan Presiden Win Myint. Situasi terkini di Negeri Seribu Pagoda itu menyebabkan mereka semakin takut untuk menjalani program repatriasi.
“Militer membunuh kami, memperkosa saudara perempuan dan ibu kami, membakar desa kami. Bagaimana mungkin kami tetap aman di bawah kendali mereka?" kata Khin Maun selaku kepala Asosiasi Pemuda Rohingya di kamp yang terletak di distrik Cox’s Bazar, dikutip dari South China Morning Post, Rabu (3/2/2021).
Sebagai gambaran, pada 2017 lalu militer Myanmar menggelar operasi kontra-pemberontakan yang menyebabkan sedikitnya 700 ribu muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Baca Juga: Bangladesh Harap Kudeta Myanmar Tidak Ganggu Repatriasi Rohingya
1. Pengungsi Rohingya berharap masyarakat internasional terlibat aktif
Mewakili komunitasnya, Maun menyampaikan Rohingya mendukung penegakan demokrasi yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan. “Kami mengutuk keras kudeta. Kami mencintai demokrasi dan hak asasi manusia, jadi kami khawatir kehilangannya di negara kami,” ujar dia.
Maun menambahkan, “kami adalah bagian dari Myanmar, jadi kami merasakan hal yang sama seperti rakyat Myanmar pada umumnya. Kami mendesak masyarakat internasional untuk bersuara menentang kudeta.”
Baca Juga: Dikritik, Bangladesh Tetap Relokasi Pengungsi Rohingya
2. Program reptariasi terhambat
Editor’s picks
Sejak gelombang pengungsian terjadi, Bangladesh atas asistensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengupayakan program repatriasi pengungsi Rohingya. Namun, mereka enggan kembali ke Myanmar karena tidak ada jaminan atas hak asasi manusia dan hak kewarganegaraan.
“Pemulangan secara damai akan sangat berdampak. Ini akan memakan waktu lama karena situasi politik di Myanmar lebih buruk,” ulas Maun.
Sementara, Mohammad Jaffar yang juga pengungsi Rohingya hanya dapat membayangkan penyiksaan jika mereka hidup di bawah rezim junta militer.
“Jika kami kembali ke tangan orang-orang yang bertanggung jawab atas penyiksaan, kami mungkin harus menanggung rasa sakit dua kali lebih banyak dari sebelumnya. Harapan untuk kembali telah terputus oleh perubahan rezim ini,” kata lelaki berusia 70 tahun itu.
Nurul Amin, pengungsi lainnya, menambahkan “bahkan jika mereka mencoba memulangkan kami, kami tidak akan setuju.”
3. Bangladesh berharap kudeta militer tidak mengganggu upaya repatriasi
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Bangladesh pada Senin (1/2/2021) berharap dinamika politik yang terjadi di Myanmar tidak akan menghambat upaya pemulangan para pengungsi.
"Sebagai tetangga, kami ingin melihat perdamaian dan stabilitas di Myanmar. Kami gigih mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan Myanmar dan telah bekerja dengan Myanmar untuk pemulangan Rohingya yang secara sukarela, aman dan berkelanjutan yang berlindung di Bangladesh,” tulis Kemlu Bangladesh.
Fraksi militer yang dipimpin oleh Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Min Aung Hlaing mengkudeta pemerintahan sipil pada Senin pagi. Mereka berdalih bahwa kudeta adalah tindakan yang harus dilakukan demi melindungi Myanmar dari rezim yang berlaku curang untuk meraih kemenangan pemilu pada November 2020 silam.
Setelah menangkap sejumlah elit dari Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) sebagai partai penguasa, militer mendeklarasikan darurat pemerintahan selama satu tahun ke depan, yang berarti kekuasaan Myanmar kini berada di tangan militer.
Baca Juga: Selain Suu Kyi, Ini Daftar Pejabat Myanmar yang Ditangkap Militer