TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

25 Juta Warga Myanmar Diprediksi Jatuh Miskin Pada 2022  

Akibat krisis kesehatan karena COVID-19 dan politik kudeta

Pendemo memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, Rabu (17/2/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer

Jakarta, IDN Times - United Nations Development Programme (UNDP) mewanti-wanti setengah dari populasi atau sekitar 25 juta warga Myanmar, akan jatuh miskin pada 2022 akibat pandemik COVID-19 dan krisis politik usai kudeta.
 
Melalui laporan yang dirilis pada Jumat (30/4/2021), UNDP juga menyayangkan sederet pencapaian pembangunan yang telah diraih Myanmar selama satu dekade terakhir telah runtuh hanya dalam waktu beberapa bulan.
 
“COVID-19 dan krisis politik yang berlangsung menambah guncangan dan mendorong mereka yang paling rentan semakin (terperangkap) dalam kemiskinan. Pencapaian satu dekade transisi demokrasi, betapa pun tidak sempurnanya, akan terhapus dalam hitungan bulan,” kata Asisten Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Direktur Regional UNDP untuk Asia dan Pasifik, Kanni Wignaraja, kepada Reuters.  

Baca Juga: Kudeta Myanmar: ASEAN Problem Solver atau Hanya Event Organizer?

1. Separuh populasi terjebak dalam kemiskinan

Ilustrasi kemiskinan (IDN Times/Arief Rahmat)

Lebih lanjut, laporan UNDP menunjukkan, akhir tahun lalu sekitar 83 persen rumah tangga melaporkan pendapatannya telah dipotong karena krisis ekonomi imbas pandemik corona.
 
Jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan meningkat 11 persen karena efek sosio-ekonomi pandemik. Situasi keamanan yang memburuk serta ancaman terhadap hak asasi manusia dan pembangunan, dapat meningkatkan tingkat kemiskinan hingga 12 persen pada awal 2022.
 
Wignaraja khawatir situasi ekonomi-sosial-politik Myanmar akan kembali seperti 2005, ketika hampir separuh penduduk jatuh miskin karena rezim dikuasai militer.
 
"Separuh dari semua anak di Myanmar bisa hidup dalam kemiskinan dalam satu tahun," ujar Wignaraja. Dia menambahkan bahwa pengungsi internal yang sudah rentan juga menghadapi lebih banyak tekanan.

2. Perempuan dan anak-anak menanggung beban paling berat

Pengunjuk rasa menggelar aksi protes terhadap kudeta militer di Kota Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021). Mereka menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.

Kaum urban diprediksi akan menyumbang angka kemiskinan terbesar dengan peningkatan hingga tiga kali lipat. Hal itu disebabkan ketidakstabilan domestik mengganggu rantai pasokan dan menghambat pergerakan orang, jasa, serta komoditas, termasuk barang-barang pertanian.
 
Secara lebih spesifik, UNDP menyebut perempuan dan anak-anak sebagai kelompok yang akan menanggung beban terberat dari krisis.
 
Tekanan pada mata uang Myanmar, Kyat, juga telah meningkatkan harga impor dan energi. Kondisinya diperburuk karena sistem perbankan yang lumpuh.
 
Untuk mencegah skenario terburuk, Wignaraja meminta komunitas internasional untuk melakukan intervensi yang terpadu. “Seperti pernyataan Sekjen PBB, skala krisis (di Myanmar) membutuhkan tanggapan internasional yang mendesak,” tutup dia.

Baca Juga: Deretan Bukti Kejahatan Junta Myanmar Bak Sindikat Penjahat Bersenjata

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya