TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pembelaan Militer Myanmar ke PBB Usai Tewaskan 70 Orang

Sebanyak 2.000 orang ditetapkan sebagai tahanan politik

Kendaraan bersenjata Tentara Myanmar berkendara melewati sebuah jalan setelah mereka mengambil kekuasaan dalam sebuah kup di Mandalay, Myanmar, Selasa (2/2/2021). (ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer)

Jakarta, IDN Times - Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Thomas Andrews, melaporkan sedikitnya 70 orang tewas sejak protes yang menolak kudeta berlangsung di Myanmar mulai 1 Februari 2021. Andrews menyebut aksi represif yang digunakan aparat untuk membubarkan massa sebagai pelanggaran kemanusiaan, termasuk pembunuhan dan penyiksaan.
 
Aparat berjanji untuk memburu siapa saja yang terus menggelar demonstrasi atas dalih stabilitas negara, bahkan jika itu berarti mencari mereka dari pintu ke pintu. Andrews mengatakan, Burma saat ini dipimpin oleh rezim pembunuh dan ilegal.
 
"Ada banyak bukti video tentang pasukan keamanan yang dengan kejam memukuli pengunjuk rasa, petugas medis, dan pengamat. Ada video tentara dan polisi yang secara sistematis bergerak melalui lingkungan, menghancurkan properti, menjarah toko, menangkap pengunjuk rasa, dan pejalan kaki secara sewenang-wenang, hingga menembak tanpa pandang bulu ke rumah-rumah orang," kata dia kepada Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Kamis (11/3/2021), dilansir dari Al Jazeera.
 

Baca Juga: Militer Myanmar Sewa Pelobi Israel-Kanada Bertarif Rp28,8 Miliar

1. Militer meminta komunitas internasional mengerti kondisinya

Pengunjuk rasa menggelar aksi protes terhadap kudeta militer di Kota Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021). Mereka menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.

Beberapa jam kemudian, Sekretaris Tetap Kementerian Luar Negeri Myanmar, Chan Aye, menolak tuduhan tersebut. Dia kembali menegaskan klaim aparat telah menahan diri untuk menghadapi para demonstran.
 
Melalui video singkat, dia juga meminta komunitas internasional untuk memahami kompleksitas dan instabilitas domestik yang terjadi di Burma. Pada kesempatan yang sama, Aye juga mengatakan sebenarnya kepemimpinan militer tidak ingin menghentikan transisi demokrasi yang mulai berkembang.
 
"Dalam hal ini, Myanmar ingin meminta pengertian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komunitas internasional tentang upayanya untuk menjaga kedaulatan, kemerdekaan politik, integritas teritorial, persatuan nasional, dan stabilitas sosial, di seluruh negeri," ujar dia.
 
James Bays dari Al Jazeera menanggapi, apa yang disampaikan oleh Aye bisa jadi tidak tulus, mengingat dirinya merupakan mantan tangan kanan pemimpin Aung San Suu Kyi. Pernyataannya juga sangat kontras dengan ungkapan Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun yang mengecam kudeta militer dan meminta komunitas internasional untuk mengembalikan demokrasi.  
 
"Ada pertanyaan, mengingat bahwa hatinya tidak ada dalam pidatonya, apakah dia berbicara di bawah tekanan, atau takut akan pembalasan," kata James, merujuk intonasi gumam yang dituturkan oleh Aye.

2. Aksi damai direspons dengan tindakan represif

Warga menginjak poster yang memperlihatkan foto yang diduga sebagai penembak jitu Tentara Myanmar saat protes terhadap kup militer di Yangon, Myanmar, Senin (22/2/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer

Dilaporkan Channel News Asia, delapan pengunjuk rasa meninggal pada Kamis (11/3/2021). Seorang demonstran geram karena tidak ada momen yang memaksa aparat menembaki para pengunjuk rasa
 
"Kami memprotes dengan damai. Aku tidak percaya mereka melakukannya," ujar lelaki berusia 31 tahun itu.
 
Kelompok advokasi untuk tahanan politik melaporkan, sedikitnya 2.000 orang ditahan oleh pasukan keamanan, termasuk para jurnalis. Hanya sebagian dari mereka yang sudah dibebaskan.
 
Sementara itu, Amnesty International menuduh tentara menggunakan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa. Alih-alih melakukan penegakan hukum, Amnesty menyebut apa yang dilakukan oleh militer adalah eksekusi publik.
 
"Ini bukanlah tindakan kewalahan, petugas individu membuat keputusan yang buruk. Para komandan tidak menyesal telah terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, mengarahkan pasukan, dan metode pembunuhan di tempat terbuka," kata Joanne Mariner selaku Direktur Respons Krisis di Amnesty International.
 

Baca Juga: AS Jatuhkan Sanksi ke 2 Anak Pemimpin Militer Myanmar

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya