Tembus Rekor Buruk Corona, Begini Beda Sikap Boris Johnson dan Jokowi
Inggris tembus 100 ribu kematian, RI 1 juta kasus positif
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - United Kingdom atau Inggris Raya, yang meliputi Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara, menjadi wilayah pertama di Eropa yang mencatatkan lebih dari 100 ribu kematian akibat virus corona. Angka kematian resmi yang dilaporkan pemerintah hingga Rabu (27/1/2021) adalah 103.602 kasus.
Secara global, Inggris Raya menempati peringkat kelima sebagai negara dengan kasus COVID-19 terbanyak mencapai 3,6 juta kasus, sekaligus peringkat kelima sebagai negara dengan kasus kematian terbanyak. Saat ini, Inggris Raya menghadapi ancaman dari varian baru corona B117 yang dinilai memiliki daya penularan lebih tinggi.
Kematian akibat virus Sars-CoV-2 yang lebih tinggi daripada kematian warga sipil Inggris Raya akibat Perang Dunia II, sekitar 100.162 orang, mengantarkan pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Boris Johnson dalam tekanan.
Melalui video singkat yang dirilis pada Selasa (26/1/2021), Johnson mengungkapan penyesalan yang sangat mendalam karena gagal menekan angka kematian.
“Saya sangat menyesal atas setiap nyawa yang telah hilang dan, tentu saja, sebagai perdana menteri, saya bertanggung jawab penuh atas semua yang telah dilakukan pemerintah,” kata Johnson.
“Apa yang dapat saya katakan kepada Anda adalah bahwa kami benar-benar melakukan semua yang kami bisa, dan terus melakukan segala yang kami bisa untuk meminimalisasi hilangnya nyawa dan meminimalkan penderitaan,” tambah dia.
Baca Juga: Inggris Hentikan Terapi Plasma Konvalesen, Bagaimana dengan Indonesia?
Baca Juga: COVID-19 Varian Baru, Inggris Lockdown Hingga Pertengahan Februari
1. Upaya Johnson menangani pandemik corona dinilai lambat
Dilansir dari Al Jazeera, Richard Horton selaku pemimpin redaksi The Lancet, salah satu jurnal media tertua dan paling bergengsi di dunia, mengatakan bahwa langkah Johnson dalam menangani corona sangat lambat. Sekalipun pemerintah menyadari ancaman corona, tetapi mereka enggan mengambil langkah tegas.
“Dengan tegas (pemerintah) menolak untuk mengikuti sains, terlepas dari klaim bahwa mereka melakukannya. Pelajaran dari sains adalah ketika terjadi peningkatan infeksi, Anda harus menekan penularan. Tapi di setiap tahap, pemerintah menunda dan terus menunda penguncian (lockdown), hingga virus sudah tidak terkendali,” kata Horton.
Pakar kesehatan Inggris, Anne Johnson, juga mengkritik politikus dari Partai Konservatif itu karena tidak belajar dari kejadian-kejadian yang memperlihatkan peningkatan infeksi. Salah satunya adalah penerapan restriksi yang kurang tegas pada perayaan Natal tahun lalu.
“Varian baru (corona) penting (untuk diperhatikan) dan menular lebih cepat, tapi itu bukan satu-satunya penyebab (Inggris menghadapi) gelombang ketiga,” kata Anne dikutip dari CNN.
Alhasil, sebagaimana kritik pemimpin oposisi dari Partai Buruh Keir Starmer, langkah Johnson justru meningkatkan kematian dan semakin meruntuhkan infrastruktur kesehatan nasional. “Ini (kematian dan rumah sakit yang penuh) sepenuhnya dapat dicegah jika pemerintah bertindak dengan lebih tegas dan lebih cepat."
Baca Juga: [KALEIDOSKOP] Mengapa Indonesia Memilih Vaksin COVID-19 dari Sinovac?
Baca Juga: Vaksinasi COVID-19 Gratis Masih Rendah, Ini Kata Jokowi