TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menelisik Seberapa Bestie Rusia dan Afrika Selatan

Kebijakan nonblok Afrika Selatan mulai diragukan Barat

Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada KTT BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan 26 Juli 2018. (dok. Kremlin/President of Russia)

Jakarta, IDN Times – Selama bertahun-tahun, hubungan antara Afrika Selatan dan Rusia membingungkan para pakar dan pemerintah negara Barat. Kedua negara ini sama sekali tidak memiliki hubungan dari segi ikatan budaya ataupun bahasa dari kedua negara.

Secara ekonomi, Rusia juga bukan mitra dagang terbesar bagi Afrika Selatan. Justru Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris menyumbang sepertiga dari total impor Afrika Selatan, sementara Rusia hanya menyumbang sekitar 0,4 persen.

Dari segi politik, terutama dalam konstelasi perang Rusia dan Ukraina, Afrika Selatan terus menggaungkan negaranya sebagai negara Nonblok. Pada Oktober lalu, Afrika Selatan abstain dalam pemungutan suara Majelis Umum PBB yang mengutuk invasi Rusia ke Ukraina.

“Negara harus berdiri dalam mencari perdamaian,” ungkap duta besar Afrika Selatan saat itu, dilansir Al Jazeera.

Namun akhir-akhir ini, di tengah eskalasi konflik Ukraina, pejabat tinggi dari kedua negara terlihat aktif mengadakan pertemuan satu sama lain. Pada April, delegasi Kongres Nasional Afrika (ANC) berkunjung ke Rusia.

Pada Mei, Panglima Angkatan Darat Lawrence Mbatha juga berada di Moskow atas undangan Oleg Salyukov, Panglima Angkatan Darat Rusia. Kunjungan itu digambarkan sebagai "kunjungan niat baik". Menteri keamanan Afrika Selatan Khumbudzo Ntshavheni juga akan mengunjungi Rusia beberapa waktu ke depan.

Pertemuan-pertemuan ini kemudian ramai disoroti oleh berbagai media karena seolah memperlihatkan ada hubungan yang “spesial” di antara kedua negara. Bersamaan dengan itu, para pakar mulai meragukan posisi Afrika Selatan sebagai negara nonblok.

Lantas, bagaimana hubungan kedua negara ini bisa eksis dan dinamikanya hingga kini? Berikut penjelasannya.

Baca Juga: Iran dan Saudi Minat Gabung, Negara BRICS Bahas di Pertemuan Afsel

Baca Juga: Afsel Izinkan Kapal Mewah Miliarder Rusia Temannya Putin Berlabuh

1. Hubungan sejak Perang Dingin 

Delegasi Rusia bertemu delegasi Afrika Selatan selama KTT BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan 26 Juli 2018. (dok.Kremlin/President of Russia)

Dilansir Al Jazeera, hubungan antara Afrika Selatan dan Rusia dapat dilacak kembali pada terbentuknya pembebasan Kongres Nasional Afrika (ANC) pada 1912. ANC merupakan gerakan pembebasan tertua di Afrika yang berjuang melawan kekuasaan kulit putih di Afrika Selatan.

Pada masa perang dingin, gerakan ini sangat bergantung pada dukungan Uni Soviet. Berbanding terbalik dengan dukungan Barat saat itu.

“ANC tidak menerima kehangatan dari Barat, dan Uni Soviet adalah satu-satunya sekutu yang akan memberikan dukungan,” ungkap Ebrahim Rasool, mantan Dubes Afrika Selatan untuk AS.

Uni Soviet memberi ANC dukungan finansial dan lainnya yang sangat dibutuhkan dan substansial ketika tidak ada pihak lain yang mau melakukannya.

Menurut sejarawan Rusia, Irina Filatov, Soviet mendukung sayap bersenjata ANC, Umkhonto we Sizwe, pada 1960-an dengan menyuplai senjata, amunisi, dan peralatan serta memberikan pelatihan militer kepada kader dan pimpinannya.

“Tidak ada negara lain yang memberikan dukungan seperti itu kepada ANC,” tulisnya.

Hal itu jugalah yang kemungkinan membuat delegasi ANC berkunjung ke Rusia pada April lalu dan mendapat sambutan hangat. Seorang profesor kepemimpinan publik di Stellenbosch University bernama Zwelinzima Ndevu mengamini hal tersebut.

“Uni Soviet mendukung ANC selama hari-hari gelap Apartheid dalam hal bantuan dan keuangan. Sekarang, di 2023, hubungan itu masih ada, dan inilah mengapa negara berdiri di pagar konflik Ukraina-Rusia,” katanya.

Baca Juga: Pimpinan Militer Afrika Selatan ke Rusia, Bahas Apa?

2. Bersatu dalam BRICS 

Logo BRICS 2023 (brics2023.gov.za/)

BRICS atau akronim dari Brasil, Rusia, India, China, South Africa dibentuk sejak 2009. Di awal-awal pembentukan, organisasi ini hanya terdiri dari 4 negara yakni BRIC, tanpa Afrika Selatan.

Afrika Selatan baru tergabung dalam blok ekonomi berkembang ini pada 2011 usai mendapat dorongan dari China untuk bergabung. Dengan keanggotaan ini, maka hubungan antara Rusia dan Afrika Selatan semakin terbuka.

Pada 2013 Afrika Selatan menandatangani kesepakatan Kemitraan Strategis Komprehensif dengan Rusia. Ditandatangani oleh presiden Jacob Zuma dan Vladimir Putin, deklarasi ini menjabarkan kerangka kerja sama antara kedua negara. Kerja sama ini mencakup berbagai bidang, termasuk kolaborasi politik, ekonomi, teknologi dan budaya.

BRICS telah memberikan dampak yang luar biasa bagi kedua negara, terkhusus Afrika Selatan.

“Negara-negara telah mengadopsi Strategi Kemitraan Ekonomi BRICS untuk meningkatkan akses ke pasar masing-masing, mempromosikan perdagangan dan investasi bersama, dan menciptakan lingkungan yang ramah bisnis bagi investor di semua negara BRICS,” ungkap presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, dalam sebuah opini yang ditulis Juni 2022 lalu, dilansir Eyewitness News.

BRICS akan kembali mengadakan KTT di Cape Town pada 22-24 Agustus mendatang. Pada Kamis, Mentri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, bertemu dengan para diplomat negara anggota BRICS lainnya di Cape Town. Mereka membahas aksesi beberapa negara yang siap bergabung dalam organisasi tersebut, sebagaimana dilaporkan AP News.

Pertemuan itu merupakan rangkaian persiapan untuk KTT Agustus mendatang. Presiden Rusia telah diundang untuk hadir dalam KTT secara langsung, meski dibayang-bayangi oleh penangkapan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Sebagai informasi, Afrika Selatan merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani ICC, sehingga harus menangkap Putin apabila menginjakkan kaki di negara tersebut.

Mantan Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki telah mengatakan, kecil kemungkinan Putin akan ditangkap. Ia menggemakan sentimen di dalam partai yang berkuasa.

Pada bulan April, Ramaphosa sempat mengatakan bahwa negara sedang mempertimbangkan untuk menarik diri dari ICC. Namun beberapa jam kemudian, kantornya membantah pernyataan itu dengan mengatakan bahwa sikap tersebut muncul akibat miskomunikasi.

Verified Writer

Zidan Patrio

patrio.zidan@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya