AS Mundur dari UNESCO, Sebut Tak Sejalan dengan Kebijakan

- AS sering keluar-masuk keanggotaan UNESCO sejak 1980-an.
- Penarikan AS dari UNESCO disebut bagian dari strategi Trump di masa jabatan kedua.
- UNESCO dikritik karena kebijakan ideologis dan pengaruh China.
Jakarta, IDN Times – Amerika Serikat (AS) mengumumkan pada Selasa (22/7/2025) bahwa mereka akan menarik diri dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Langkah itu diambil karena organisasi dinilai terlalu menonjolkan isu sosial dan budaya yang dianggap memecah belah.
Keputusan ini akan berlaku pada akhir Desember 2026 dan menandai kali ketiga AS keluar dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut.
“UNESCO bekerja untuk memajukan isu-isu sosial dan budaya yang memecah belah dan mempertahankan fokus berlebihan pada tujuan pembangunan berkelanjutan PBB, sebuah agenda ideologis globalis yang bertentangan dengan kebijakan luar negeri America First kami,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Tammy Bruce, dikutip dari The Guardian, Selasa (22/7/2025).
1. AS beberapa kali keluar-masuk keanggotaan UNESCO sejak 1980-an

AS adalah anggota pendiri UNESCO sejak 1945, namun keanggotaannya sering terputus. Presiden Ronald Reagan menarik keanggotaan AS pada 1983 karena menilai UNESCO terlalu bias terhadap negara Barat dan terlalu politis. Pada 2003, AS kembali bergabung di bawah Presiden George W. Bush yang menyambut reformasi organisasi tersebut.
Dilansir dari Economic Times, Langkah serupa diambil Donald Trump pada 2017, dengan alasan adanya bias terhadap Israel dan beban tunggakan yang membengkak. AS baru kembali menjadi anggota pada 2023 di bawah Presiden Joe Biden, yang menganggap keanggotaan penting untuk menyeimbangkan pengaruh China di UNESCO. Namun, AS diwajibkan melunasi utang sekitar 619 juta dolar AS (sekitar Rp10 triliun) serta mendukung program edukasi, perlindungan jurnalis, dan peringatan Holocaust.
Hubungan AS dan UNESCO juga renggang sejak tahun 2011. Saat itu, organisasi tersebut menerima Palestina sebagai anggota negara, membuat AS dan Israel langsung menghentikan pendanaan. Situasi ini menyebabkan akumulasi utang dari AS yang tak kunjung diselesaikan.
2. Penarikan jadi bagian strategi global Trump di masa jabatan kedua

Keputusan meninggalkan UNESCO merupakan bagian dari strategi kebijakan luar negeri Trump di periode keduanya sebagai presiden. AS juga keluar dari beberapa badan internasional lain seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), serta Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB. Keluar dari UNESCO dinilai akan berdampak pada berbagai program pendidikan dan budaya global.
Namun secara finansial, dampaknya terhadap UNESCO tidak dianggap terlalu besar. AS hanya menyumbang sekitar 8 persen dari total anggaran organisasi, berbeda dengan WHO yang lebih bergantung pada dana Washington. Pemerintah AS sebelumnya juga telah melakukan peninjauan 90 hari terhadap keanggotaan UNESCO sejak Februari 2025, dengan sorotan pada kegagalan reformasi, bias terhadap Israel, serta beban utang yang menumpuk.
3. UNESCO dikritik karena kebijakan ideologis dan pengaruh China

Dilansir dari New York Post, Pemerintah AS menilai arah kebijakan keberagaman dan kesetaraan yang dikembangkan UNESCO terlalu sarat ideologi dan tidak sejalan dengan prinsip nasional mereka. Kritik ditujukan pada rilis toolkit anti-rasisme tahun 2023 dan program Transforming MEN’talities pada 2024 yang bertujuan membentuk norma gender baru. AS juga mempermasalahkan laporan UNESCO tentang industri video game yang dirilis pada 2023, karena dianggap terlalu menonjolkan agenda gender global.
Penetapan situs suci Yahudi sebagai bagian dari Warisan Dunia Palestina turut memicu respons dari AS. Bahasa resmi UNESCO dianggap terlalu berpihak pada Palestina dan tidak mengkritik pengaruh Hamas di Gaza. Di sisi lain, pengaruh China di dalam struktur organisasi juga dipermasalahkan, terutama karena China kini menjadi donor terbesar kedua setelah AS.
Jabatan penting seperti Wakil Direktur Jenderal yang dijabat oleh Xing Qu dinilai digunakan untuk menyebarkan standar global yang menguntungkan kepentingan China, termasuk dalam isu sejarah Uighur.