Kosta Rika Umumkan Keadaan Darurat Imbas Peretasan Siber Ransomware

Serangan siber di Kosta Rika berlangsung selama satu bulan

Jakarta, IDN Times - Presiden Kosta Rika, Rodrigo Chaves, pada Rabu (11/5/2022) telah mengumumkan keadaan darurat di negaranya menyusul kasus serangan siber yang tak kunjung berhenti. Bahkan, kejadian ini berlangsung hanya beberapa hari setelah pelantikannya pada Minggu kemarin. 

Serangan siber di Kosta Rika diketahui sudah berlangsung sejak pertengahan April lalu dan telah menargetkan sistem komputer pemerintah. Atas hal itu, mantan Presiden Carlos Alvarado menyebut geng ransomeware tengah berupaya merusak kestabilan negara di tengah transisi pemerintahan. 

"Serangan siber kali ini tidak bertujuan untuk mencari uang, tapi berupaya untuk mengancam kestabilan negara di tengah transisi pemerintahan. Mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka mau," tutur Alvarado, dikutip Reuters

1. Kebijakan pertama Chaves setelah dilantik

Deklarasi keadaan darurat dari Presiden Chaves ini menanggapi kasus serangan ransomware di Kosta Rika yang sudah berlangsung selama satu bulan lamanya. Kebijakan ini menjadi tindakan pertama yang dilakukan oleh Chaves setelah resmi menjabat sebagai orang nomor satu di Kosta Rika. 

Kebijakan semacam ini umumnya diterapkan untuk penanganan bencana alam dan pandemik COVID-19. Kebijakan ini digulirkan demi meningkatkan tindakan pemerintah dalam krisis akibat kriminal siber.

Kendati demikian, Chaves tidak secara langsung menyebutkan anggota dari Comisión Nacional de Emergencias yang umumnya ikut dalam penanganan masalah kebencanaan dan keadaan darurat lain di Kosta Rika.

"Deklarasi ini mereferensikan serangan di Kosta Rika yang sudah membuat seluruh pihak menderita akibat ulah geng kriminal siber dan teroris siber," tutur Chaves, dikutip dari Associated Press

Di samping pemberlakuan keadaan darurat, Chaves juga mengumumkan kewajiban menggunakan masker di tempat umum dan melarang institusi publik memberikan sanksi bagi petugas yang belum divaksin COVID-19. 

Baca Juga: Profil Rodrigo Chaves, Presiden Kosta Rika yang Sempat Tinggal di RI

2. Eks Presiden Alvarado tolak untuk berikan tebusan kepada Conti

Kosta Rika Umumkan Keadaan Darurat Imbas Peretasan Siber RansomwarePresiden Kosta Rika, Carlos Alvarado Quesada saat menghadiri konferensi pers. (instagram.com/carlosalvq)

Serangan ini diduga dilancarkan oleh geng kriminal siber asal Rusia yang dikenal dengan nama Conti. Kasus telah mengakibatkan kerusakan pada sistem untuk mengumpulkan pajak, pembayaran pensiun, memantau ekspor impor, dan pembayaran gaji pekerja negara. 

Peretas mengunci komputer dari berbagai lembaga pemerintahan, termasuk Kementerian Keuangan, Kementerian Tenaga Kerja, dan lainnya. Bahkan, sampai saat ini beberapa sistem komputer di badan pemerintahan itu masih belum dapat diakses. 

Geng itu juga memperluas seranganya dan sudah merusak sistem administratif penyedia layanan listrik di kota kecil Cartago. Selain itu, peretasan ini membuat khawatir perusahaan dan individu, terkait kemungkinan informasi pribadinya yang ada dalam sistem badan pemerintahan akan disebarkan atau digunakan, dilaporkan The Washington Post.

Hal ini berdasarkan keputusan dari mantan Presiden Carlos Alvarado Quesada, yang menolak membayar tebusan yang diminta Conti. Setelah itu, Conti langsung membalas dan menghukum dengan menyebarkan informasi yang dicuri dari sistem pemerintahan. 

3. Conti sudah melakukan berbagai serangan di Irlandia dan Amerika Serikat

Serangan geng kriminal siber di Kosta Rika ini semakin meningkatkan kecemasan di sejumlah negara lain. Pasalnya, Conti menyebut bahwa Kosta Rika hanyalah sebagai percobaan dan serangan lebih berbahaya masih akan berlangsung. 

Peretasan yang terjadi di Kosta Rika ini juga membuktikan bahwa serangan ransomware, yang umumnya mencari keuntungan, sering kali lebih berbahaya dan mengancam dibandingkan peretas yang didukung pemerintah. 

Serangan Conti sudah terjadi beberapa kali, termasuk merusak sistem pelayanan kesehatan di Irlandia dalam beberapa minggu pada tahun lalu. Kasus itu mengakibatkan kerusakan besar dan menelan biaya sebesar 100 juta dolar (Rp1,4 trilun) untuk pemulihan sistem. 

Selain itu, serangan ransonware sudah menargetkan bisnis di Amerika Serikat (AS), termasuk peretasan di Colonial Pipeline yang mengganggu suplai gas dan menyerang perusahaan makanan, JBS yang mengancam suplai daging di AS. 

Dilaporkan The Guardian, Kemendagri AS menyebut Conti bertanggung jawab atas ribuan kasus insiden ransomware dalam dua tahun terakhir. FBI memperkirakan sudah ada lebih dari seribu korban serangan Conti dan para korban diharuskan membayar lebih dari 150 juta dolar AS.

Baca Juga: Sepanjang 2021, Peretas Korut Berhasil Curi 400 Juta Dolar AS

Brahm Photo Verified Writer Brahm

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya