Oposisi Togo Tolak Perubahan ke Sistem Parlementer

Disebut akan menguntungkan Gnassingbe

Jakarta, IDN Times - Pemimpin oposisi dan aktivis di Togo menyerukan penolakan terhadap perubahan sistem negara dari presidensial ke parlementer. Mereka bahkan mengajak warga untuk mengadakan demonstrasi menolak keputusan ini. 

Dalam sistem baru ini, anggota parlemen yang akan menetapkan presiden dan tidak ada lagi pemilihan langsung presiden di negara Afrika Barat itu. Undang-Undang (UU) ini akan resmi menjadi dasar hukum jika Presiden Togo Faure Gnassingbé menandatanganinya.  

Baca Juga: Togo Hukum Kelompok Bajak Laut untuk Pertama Kali

1. Dituding sebagai cara Gnassingbe terus berkuasa

Sejumlah partai oposisi di Togo menyebut bahwa UU tersebut adalah upaya dari Gnassingbe untuk memperpanjang masa jabatannya. Beberapa pihak berjanji akan melakukan protes besar-besaran agar UU tersebut tidak disahkan. 

"Kami tahu perjuangan ini akan panjang dan sulit, tapi bersama dengan rakyat Togo, kami akan melakukan apapun yang kami bisa untuk mencegah kudeta konstitusional ini," ungkap juru bicara Partai Aliansi Nasional untuk Perubahan Eric Dupuy pada Rabu (27/3/2024), dikutip Associated Press.

"Kami menyerukan kepada seluruh warga bersama-sama untuk menolak UU ini dan menolaknya secara masif," tambahnya. 

Pada hari yang sama, aparat kepolisian Togo sudah membubarkan sebuah acara konferensi pers yang diadakan oleh partai oposisi. Bahkan, polisi menyuruh pemimpin partai dan jurnalis untuk keluar dari acara tersebut.

2. Pemuka agama menyebut anggota parlemen tak punya hak merevisi UU

Sementara representasi pemuka agama Katolik Togo menyatakan bahwa mandat parlemen sudah kedaluarsa sejak Desember lalu. Mereka menyebut anggota parlemen tidak memiliki hak untuk mengadopsi konstitusi baru di negaranya. 

Menanggapi hal ini, dosen dari University of Lome Zeus Ajavon juga mengaku setuju dengan ucapan pemuka agama. Ia menyebut anggota parlemen sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk merevisi sebuah konstitusi di Togo. 

"Parlemen sudah tidak lagi memiliki kuasa untuk merevisi sebuah konstitusi. Kekuatan untuk mengubah sebuah konstitusi hanya dapat dilakukan ketika masa jabatannya masih berlaku," terangnya, dikutip Africa News.

Ajavon juga menkankan agar pemerintah mengadakan referendum yang langsung dipilih rakyat untuk menentukan konstitusi baru ini. 

Baca Juga: Togo Resmikan PLTS Terbesar di Afrika Barat

3. Politik dinasti sudah terjadi di Togo sejak 1967

Konstitusi baru ini dipandang kontroversial karena akan menambah masa jabatan presiden dari sebelumnya 5 tahun menjadi 6 tahun. Namun, dalam UU tersebut masa jabatan presiden diubah menjadi satu kali periode. 

Dilansir Reuters, perubahan konstitusi ini tetap memperbolehkan Presiden Faure Gnassingbe dapat melanjutkan kembali jabatannya yang sudah berlangsung 19 tahun lamanya. Ia berpotensi melanjutkan kepemimpinannya hingga 2031 jika terpilih pada 2025. 

Politik dinasti sudah mengakar di Togo sejak kudeta militer 1967. Saat itu, Togo dipimpin oleh mantan Presiden Gnassingbe Eyadema yang berkuasa hingga meninggal dunia pada 2005. Setelah itu, kursi kepresidenan digantikan oleh anaknya sendiri Faure Gnassingbe hingga kini. 

Praktik semacam ini sudah diterapkan secara luas di Afrika, seperti di Republik Afrika Tengah, Rwanda, Republik Kongo, Pantai Gading, dan Guinea. Pemimpin yang sudah berkuasa puluhan tahun mengubah konstitusi untuk memperpanjang masa jabatannya. 

Baca Juga: Eksplor Afrika, 7 Destinasi Wisata yang Wajib Dikunjungi di Togo 

Brahm Photo Verified Writer Brahm

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya