Pejabat Partai Demokrat Thailand Ditahan atas Kasus Kekerasan Seksual

Prinn digugat atas kekerasan seksual oleh 14 perempuan

Jakarta, IDN Times - Seorang politikus Thailand, Prinn Panitchpakdi pada Sabtu (16/4/2022) ditangkap oleh aparat kepolisian. Penangkapan ini berkaitan dengan gugatan yang dilakukan oleh belasan perempuan muda yang mengaku pernah menjadi korban kekerasan seksual oleh Prinn. 

Dilansir Bangkok Post, wakil ketua Partai Demokrat itu sudah mengumumkan pengunduran dirinya dari salah satu partai terbesar di Thailand itu. Panitchpakdi menyebut jalan ini dilakukan untuk memfokuskan dalam melawan tudingan kekerasan seksual.

Politisi berusia 44 tahun itu diketahui tidak sedang menjabat sebagai anggota parlemen dan memutuskan untuk menanggalkan semua jabatannya, termasuk keanggotaan dalam partai. Meski begitu, ia menampik keras apabila pernah terlibat dalam kasus kekerasan seksual. 

Baca Juga: Semakin Dekat! Thailand Laporkan Kasus Pertama Omicron XE

1. Mayoritas korban takut untuk mengungkapkan kejahatan Prinn

Menurut keterangan dari polisi, secara total sudah ada 14 perempuan yang mengaku menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan Prinn. Bahkan, ada tambahan tujuh orang yang melaporkan kejahatan yang dilakukan politikus tersebut pada Senin (18/4/2022). 

Mayoritas korban mengaku mendapat kekerasan seksual dalam beberapa tahun belakangan ini. Namun, ada seorang korban berusia 43 tahun yang mengaku mendapat kekerasan 15 tahun lalu, ketika keduanya bekerja di gedung yang sama di Bangkok. 

Terdapat pula seorang perempuan yang mengaku dilecehkan ketika berada di Inggris lima tahun lalu, ketika ia kuliah di sana. Sedangkan korban paling muda dilaporkan berusia 18 tahun dan mendapatkan kekerasan dari Prinn ketika ia masih berusia 17 tahun, dikutip dari Thai PBS World

Mayoritas perempuan korban kejahatan Prinn berada di bawah dukungan pengacara Sittra Biabungkerd yang bekerja untuk People’s Lawyers Foundation. Belasan korban diketahui sempat takut untuk mengutarakan gugatannya lantaran Prinn dikenal sebagai anak politikus kuat di Thailand.

"Banyak di antara korban Prinn sebelumnya takut untuk mengungkapkan kejahatan yang dilakukan politisi itu. Pasalnya, ayah Prinn dikenal sebagai sosok politikus kuat di Thailand. Kemungkinan masih banyak korban lain yang takut untuk mengaku" ungkap Biabungkerd. 

Baca Juga: Viral karena Kasus Pelecehan Seksual, Seniman Tato di India Ditangkap

2. Pemimpin Partai Demokrat mengaku salah dan meminta maaf

Pemimpin Partai Demokrat, Jurin Laksanawisit mengungkapkan permintaan maaf pada Selasa, terkait kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Prinn. Jurin juga mengaku bahwa ia yang telah memilih Prinn sebagai salah satu petinggi partai. Jurin juga mengatakan Partai Demokrat harus segera menyelenggarakan investigasi internal di lingkup partai. 

"Saya meminta maaf secara sungguh-sungguh dan harus meminta maaf atas semua yang terjadi terutama terkait dengan anggota Partai Demokrat. Sebagai ketua partai, saya mengakui bahwa saya menjadi sosok penting dalam membawa Prinn ke dalam jabatan tinggi di partai" tutur Jurin, dilansir Reuters

Di sisi lain, Jurin yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Wakil Perdana Menteri di koalisi pemerintahan mengaku berpegang teguh untuk melawan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak. Atas hal itu, ia memutuskan untuk mundur dari dua jabatan komite dalam kesetaraan gender dan kebijakan perempuan.

Hal ini mendorong gerakan protes melalui hashtag #MeToo juga menjadi tren di sosial media Thailand dalam beberapa minggu terakhir. Para netizen mengekspresikan kemarahannya terkait tudingan ketidakjujuran dan persepsi impunitas yang dimiliki oleh kalangan polisi elite. 

Baca Juga: Thailand Mulai Larang Plastik Sekali Pakai, Melanggar Denda Rp42 juta

3. Kasus Prinn termasuk salah satu bentuk korupsi sistem hukum di Thailand

Menurut aktivis HAM di Thailand dikutip Vice News, kasus ini merupakan tipikal dari suatu negara, di mana seseorang kaya raya dan kuat akan dengan mudah melarikan diri dengan membungkan para korban. Tindak kriminal yang dilakukan Prinn sudah tertunda selama bertahun-tahun, meski skandal itu sudah terkuak lama.

"Ini adalah bentuk korupsi dalam sistem hukum Thailand. Mungkin dia memiliki seseorang yang dapat berbicara dengan polisi. Banyak orang marah atas kasus ini, termasuk saya" ungkap Angkhana Neelaphaijit, selaku pakar dari Komisi HAM Thailand. 

"Ketika #MeToo terjadi di berbagai negara, semua kolega menanyakan kepadaku kenapa #MeToo sangat hening di Thailand. Dari sudut pandang korban, ketika memerangi orang yang kuat, ini sangat sulit bagi mereka. Maka, perempuan Thailand tidak ingin mengajukan komplain ke polisi karena terkendala masalah bukti" sambung Angkhana. 

Meskipun Prinn masih memiliki akuntabilitas yang bisa dilihat. Namun, dengan partai dan dirinya yang terus mendapatkan hujatan, maka momentum ini harus terus dipertahankan untuk dapat melawannya. 

"Kami butuh pergerakan #MeToo di Thailand. Walau saat ini, kamu dapat melihat jika banyak orang di sosial media justru menyalahkan korban. Di Thailand, kami membutuhkan ini untuk melakukan konfrontasi kepada tradisi lama dan sikap masyarakat" tambahnya. 

Brahm Photo Verified Writer Brahm

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya