Bertemu Pemimpin Junta Militer Myanmar, PM Kamboja Tuai Kritikan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, mengunjungi Myanmar pada Jumat (7/1/2022) waktu setempat. Kunjungannya menemui pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, itu menuai kritikan keras.
Saat ini, Kamboja merupakan ketua dari 10 negara ASEAN, yang mengadopsi rencana lima poin konsensus perdamaian pada April 2021 lalu. Konsensus perdamaian ini sebagai solusi yang ditawarkan ASEAN dalam menyikapi konflik yang terjadi di Myanmar pascakudeta awal tahun lalu, yang telah memicu aksi protes berkepanjangan dan tindakan kekerasan pihak militer.
Baca Juga: Myanmar: Pemerintah Bayangan Pakai Crypto Jadi Mata Uang Resmi
1. Hun Sen disambut oleh pengawal kehormatan dan karpet merah saat baru tiba
Dilansir The Guardian, Hun Sen disambut oleh pengawal kehormatan dan karpet merah ketika dia tiba di Myanmar pada Jumat waktu setempat, tepat ketika aksi protes pecah di bagian lain negara itu. Sebuah televisi pemerintah Myanmar kemudian menayangkan gambar dua pemimpin yang saling berbenturan siku dan duduk untuk berunding di kursi berlapis emas.
Para pendemo menggelar unjuk rasa karena khawatir kunjungan Hun Sen akan memberikan lebih banyak legitimasi kepada junta yang berkuasa. Kunjungan dua hari itu adalah kunjungan kepala pemerintahan pertama kali sejak militer Myanmar menggulingkan pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi pada (1/2/2021) lalu.
Hun Sen mengatakan dia melakukan kunjungan untuk menekan rencana perdamaian Myanmar yang disponsori oleh ASEAN, di tengah kritikan atas tindakan keras terhadap lawan politiknya di dalam negeri. Beberapa negara ASEAN lainnya, termasuk Indonesia, telah menyatakan frustrasi atas kegagalan junta untuk mengimplementasikan rencana tersebut, termasuk mengizinkan seorang utusan ASEAN untuk bertemu dengan Suu Kyi, yang telah ditahan sejak kudeta lalu.
Baca Juga: Tentara Myanmar Tabraki Massa Aksi Protes di Yangon
2. Sebelum berangkat ke Myanmar, Hun Sen menyerukan untuk menahan diri dari semua pihak di Myanmar
Editor’s picks
Dalam pidatonya sebelum berangkat ke Myanmar pada Rabu (5/1/2022) lalu, Hun Sen
menyerukan untuk menahan diri dari semua pihak di Myanmar dan agar rencana perdamaian diikuti, dilansir VOA News.
Pada pertemuan mereka, Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan kepada Hun Sen bahwa
Myanmar telah memperpanjang gencatan senjata dengan semua organisasi etnis bersenjata (EAO) di negara yang semula akan berakhir pada akhir Februari 2022 hingga akhir tahun 2022 ini.
Pemimpin junta militer Myanmar mengatakan dia menyambut partisipasi utusan khusus
Ketua ASEAN untuk Myanmar. Partisipasi itu berupa ajakan untuk bergabung dalam pembicaraan gencatan senjata di antara EAO serta langkah penting ini diwujudkan dalam konsensus lima poin ASEAN.
Baca Juga: Indonesia Kecewa Myanmar Tak Sambut Uluran Tangan ASEAN
3. Ratusan demonstran di Myanmar membakar potret Perdana Menteri Kamboja
Kedatangan Perdana Menteri Kamboja di Myanmar memicu gerakan protes besar-besaran di beberapa wilayah negara itu. Ratusan demonstran membakar potret Perdana Menteri Kamboja. Di wilayah Depayin, sekitar 300 km dari Naypyitaw, para demonstran membakar poster Perdana Menteri Kamboja dan meneriakkan "Hun Sen jangan datang ke Myanmar. Kami tidak ingin diktator Hun Sen".
Mereka juga meneriakkan seruan bahwa orang-orang yang terlibat dengan Min Aung Hlaing harus mati dengan mengerikan, serta menuding Hun Sen tidak manusiawi. Kedatangan Hun Sen ke Myanmar membuat para penentang junta militer menilai Hun Sen telah mendukung junta dengan melakukan perjalanan itu.
Min Aung Hlaing sebelumnya dilarang menghadiri pertemuan ASEAN pada Oktober 2021 lalu, setelah utusan khusus kelompok itu dilarang bertemu dengan Suu Kyi dan tahanan politik lainnya, yang merupakan salah satu ketentuan perjanjian ASEAN.
Perebutan kekuasaan oleh militer telah memprovokasi aksi protes nonkekerasan secara nasional, meski aksi dipatahkan pasukan keamanan dengan kekuatan mematikan, dilansir ABC News. Pasukan militer Myanmar baru-baru ini terlibat dalam penindasan kekerasan terhadap semua perbedaan pendapat, penghilangan, penyiksaan, dan pembunuhan di luar proses
hukum.
Pasukan militer setidaknya telah membunuh sebanyak 1.443 warga sipil. Mereka melancarkan serangan udara dan serangan darat terhadap kelompok pemberontak etnis bersenjata. Dengan semakin parahnya tindakan keras militer, perlawanan bersenjata telah tumbuh di sekitar Myanmar. Militer Myanmar juga memiliki sejarah pertumpahan darah, termasuk kampanye brutal terhadap minoritas muslim Rohingya beberapa tahun lalu.
Waki Direktur Regional Amnesty International untuk penelitian, Emerlynne Gil, mengatakan perjalanan Hun Sen itu berisiko dan bisa mengirimkan pesan multitafsir kepada pemimpin militer Myanmar. Menurutnya, Hun Sen seharusnya mengarahkan ASEAN ke tindakan keras untuk mengatasi situasi HAM yang mengerikan di negara itu.
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.