Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Mantan Menteri Pertahanan Korea Selatan, Kim Yong-hyun. (x.com/ROK_MND)

Jakarta, IDN Times - Jaksa Korea Selatan (Korsel) menangkap mantan Menteri Pertahanan, Kim Yong-hyun, sebagai bagian dari penyelidikan atas dugaan pengkhianatan terkait deklarasi darurat Presiden Yoon Suk Yeol. 

Kim ditahan sementara dan penangkapan dilakukan setelah Kim secara sukarela hadir untuk diinterogasi di Kantor Kejaksaan Distrik Pusat Seoul pada Minggu (8/12/2024) pukul 01:30 dini hari waktu setempat. Ia juga telah dipindahkan ke Pusat Penahanan Seoul Timur, Korea JoongAng Daily melaporkan.

1. Penggerebekan di kediaman dan kantor Kim

Pada hari penangkapan, polisi menggerebek kediaman resmi dan kantornya di Kementerian Pertahanan. Hingga Minggu sore, sekitar 150 petugas polisi dikirim ke tim khusus untuk menyelidiki tuduhan pemberontakan oleh pejabat Korsel di bawah Kantor Investigasi Nasional Kepolisian.

Ketika darurat militer diberlakukan pada Selasa (3/12/2024) malam, Kim menjabat sebagai menteri pertahanan. Ia bersama dengan anggota kabinet lainnya mengajukan pengunduran diri pada 4 Desember, saat Yoon mencabut deklarasi darurat militernya pada pagi hari.

Pengunduran diri secara resmi diproses pada keesokan harinya dan telah diterima oleh Presiden Yoon, yang menghadapi pemungutan suara pemakzulan dan sidang di Majelis Nasional.

Kim mengakui telah menjalankan wewenang sebagai komandan darurat militer, kendati tidak memiliki komando langsung atas pasukan darurat militer. Ia juga mengakui bahwa tindakannya mungkin telah melanggar undang-undang yang relevan.

Tidak hanya itu, Kim yang sedang menjalani larangan bepergian juga dituduh berusaha menghancurkan barang bukti. Ia diketahui bergabung dengan grup Telegram pakai akun baru, setelah menghapus akun sebelumnya.

2. Jaksa ambil alih penyelidikan

Ilustrasi bendera Korea Selatan. (unsplash.com/Daniel Bernard)

Kejaksaan menempatkan Kim dalam penangkapan darurat tanpa surat perintah dan menyita telepon genggamnya. Sebab, pria berusia 65 tahun itu dicurigai melakukan kekerasan untuk menumbangkan kekuasaan nasional, menyalahgunakan wewenangnya, dan menghalangi orang lain dalam menjalankan hak mereka.

Jaksa harus mengajukan surat perintah untuk melanjutkan penahanannya dalam waktu dua hari setelah tersangka dikenakan penahanan darurat, yang berlangsung hingga 48 jam.

Kejaksaan yang menjalankan tim khusus terdiri dari lebih dari 60 penyelidik. Kaksa penuntut dan jaksa militer mengungkapkan rencana untuk menginterogasi Kim pada Minggu sore dan mengatakan pihaknya telah memulai penyelidikan terhadap Presiden Yoon.

Penangkapan terjadi setelah administrasi publik dan Dinas Keamanan Majelis Nasional, yang berafiliasi dengan tiga partai oposisi, merilis pernyataan bersama pada Minggu dan menyerukan penyelidikan cepat. Pihaknya menuturkan, penundaan oleh polisi menyebabkan jaksa mengambil alih penyelidikan terhadap pemberontakan Kim.

"Sangat penting bagi (pihak berwenang investigasi) untuk menghentikan tersangka dari menghancurkan bukti," bunyi pernyataan bersama tersebut.

Dikatakan juga bahwa polisi lambat dalam memulai penyelidikan terhadap tersangka utama pemberontakan lainnya termasuk Yoon, dikutip dari Korea Herald.

3. Deklarasi darurat militer Presiden Yoon dan permintaan maafnya

Dilansir The Straits Times, pada 7 Desember, Yoon menyampaikan pidato di televisi kepada rakyatnya untuk meminta maaf atas keputusan darurat militer yang ditetapkannya.

Ia mengatakan bahwa ia tidak akan menghindari tanggung jawab hukum dan politik atas tindakannya, meski ia tidak menawarkan pengunduran diri. Ia juga mengatakan akan menyerahkan nasibnya di tangan partai yang berkuasa.

Sebagai informasi, Yoon mengejutkan Negeri Ginseng pada 3 Desember 2024, ketika ia memberi militer kewenangan darurat yang luas untuk membasmi apa yang disebutnya sebagai pasukan anti-negara dan lawan politik yang suka menghalangi. Namun, ia mencabut perintah tersebut enam jam kemudian, setelah Parlemen menentang dekrit tersebut.

Darurat militer menjerumuskan Korea Selatan, negara ekonomi terbesar keempat di Asia dan sekutu militer utama Amerika Serikat, ke dalam krisis politik terbesarnya dalam beberapa dekade terakhir. Insiden tersebut juga mengancam akan menghancurkan reputasi negara tersebut sebagai kisah sukses demokrasi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorRahmah N