Korban Gempa Turki Krisis Air di Tengah Gelombang Panas

Berbagai penyakit mengintai warga akibat minim sanitasi

Jakarta, IDN Times - Gempa bumi yang melanda Turki dan Suriah pada Februari lalu telah menghancurkan infrastruktur pasokan air bersih di banyak daerah yang terdampak bencana. Akibatnya, orang-orang di provinsi Hatay, selatan Turki, harus rela mengantre berjam-jam demi mendapatkan air. 

Sementara itu, kondisi di Antakya, ibu kota provinsi Hatay, makin diperburuk oleh gelombang panas yang membuat suhu melonjak di atas 40 derajat Celcius. Mereka yang tinggal di tenda dan kontainer harus berjuang melawan sengatan panas sekaligus debu-debu yang ditimbulkan dari pekerjaan pembongkaran di seluruh kota.

“Kami mengalami masalah air, makanan, dan kebersihan. Kami tidak bisa keluar dari debu dan asap,” kata Ayhan Tekin (43), setelah mengumpulkan belasan botol air dari titik distribusi, dikutip dari Al Jazeera.

“Kami tidak bisa mandi. Ketika kami pulang pada malam hari, kami menyadari betapa berharganya mandi. Kami tidak dapat membersihkan apa pun. Lalat dan hama menyerang di mana-mana.”

Baca Juga: Krisis Demi Krisis Sedang Menguji ASEAN 

1. Krisis air timbulkan banyak penyakit

Krisis air bersih yang dialami warga pasca-gempa bumi 6 Februari, yang menewaskan lebih dari 50 ribu orang di Turki dan sedikitnya 8 ribu di Suriah, berisiko membawa penyakit.

“Masalah terbesar yang kami hadapi di sini adalah tidak menggunakan air saat memindahkan puing-puing dan menghancurkan bangunan,” kata Sevdar Yilmaz, kepala Hatay Medical Chamber, mengacu pada kurangnya air yang biasa digunakan untuk meredam debu selama proses pembongkaran.

“Ini akan menimbulkan banyak penyakit di kemudian hari. Keluhan mata, keluhan tenggorokan dan keluhan seperti batuk dan sesak nafas sudah biasa terjadi.”

Dia memperkirakan bahwa gangguan seperti asma akan meningkat, begitu juga dengan penyakit jangka panjang seperti kanker paru-paru dan tenggorakan. Sementara itu, penyakit seperti diare menjadi masalah langsung saat ini yang diakibatkan oleh kurangnya sanitasi.

Yilmaz juga menambahkan bahwa bantuan telah perlahan menghilang. Awalnya, ada ekitar 110 kotamadya dari luar zona gempa yang mengirimkan tenaga dan bantuan, namun kini hanya tinggal 10 yang tersisa.

“Tidak mungkin Kota Metropolitan Hatay melakukan pekerjaan ini sendirian. Dukungan luar yang serius diperlukan agar infrastruktur dapat berfungsi kembali.”

Baca Juga: China Rencanakan Mega Proyek untuk Atasi Krisis Air

2. Distribusi air tidak merata

Selver Buyukkeleş, seorang korban gempa yang tinggal di desa Serinyol, mengaku khawatir menggunakan air ledeng untuk keperluan apapun, selain mandi dan bersih-bersih, karena wabah yang meluas di wilayah tersebut.

“Kami bahkan tidak bisa menggunakan air ledeng untuk memasak karena khawatir. Meskipun kami tidak mengkonsumsinya secara langsung, penyakit yang berhubungan dengan air seperti diare terjadi. Kami mengandalkan air yang disaring atau air kemasan," katanya, dikutip dari Bianet.

"Solidaritas Ungu dan Platform Kebebasan Sosial mendirikan fasilitas pengolahan air di Serinyol. Namun, itu hanya melayani lingkungan Serinyol, dan sebagian besar penduduk masih kekurangan."

Buyukkeles juga mengeluhkan soal distribusi air tidak merata di berbagai tempat dan sikap pemerintah yang tidak responsif.

“Setiap kali masalah muncul di media sosial, truk air segera diberangkatkan. Namun, distribusi bantuan tampaknya tidak adil, menciptakan rasa ketidakpercayaan di antara masyarakat dan menyebabkan antrean panjang. Kami tidak dapat menjangkau pemerintah kota atau otoritas lain, dan bahkan jika kami menyampaikan keluhan kami, kami tidak menerima tanggapan."

3. Badan pengelola air mengaku beban kerja melonjak setelah gempa

Akibat krisis yang terjadi, badan air dan pembuangan limbah Kota Hatay (HATSU) menuai kecaman, termasuk dari penduduk setempat yang mengeluh bahwa mereka masih harus menempuh jarak jauh untuk mengambil air kemasan.

Namun Direktur Umum HATSU Ikbal Polat menjelaskan bahwa sejak gempa, beban kerja mereka telah meningkat secara signifikan. Banyaknya proyek infrastruktur, kerusakan yang meluas, dan minimnya dana serta bantuan dari luar merupakan beberapa faktor yang menghalangi mereka untuk mengoptimalkan suplai air.

“Sementara kami menyediakan air ke pusat kota, puing-puing gempa menyebabkan masalah perluasan jaringan pipa. Beban kerja kami sangat berat, dengan permintaan yang datang dua belas kali lebih banyak daripada sebelum gempa.

“Misalnya, saat ini kami memiliki permintaan sambungan saluran pembuangan untuk 2.000 rumah kontainer di berbagai daerah. Beban kerja kami melebihi kapasitas HATSU, dan tim kami sedang berjuang untuk mengatasinya.

Walikota Hatay Lutfu Savas juga mengatakan bahwa HATSU tidak menerima pendapatan apa pun selama empat bulan setelah gempa, dan jumlah pelanggannya turun hingga 40 persen.

“Kami terus bekerja dalam kondisi seperti ini, tetapi kami tidak memiliki kesempatan untuk melawan masalah dan biaya yang meningkat secara sendirian. Sumber air menghilang, sumur mengering. Ada jeda di jalur utama," katanya.

Baca Juga: Arab Saudi Borong Drone Tempur Akinci Buatan Turki

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya