Militer RD Kongo Dituding Tewaskan 43 Demonstran, PBB: Selidiki!

Militer disebut lepaskan tembakan untuk bubarkan demonstran

Jakarta, IDN Times - Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuntut dilakukannya penyelidikan independen setelah puluhan orang tewas dalam tindakan keras saat protes anti-PBB di Kongo bagian timur.

"Perlu ada penyelidikan... dan para pelakunya harus diadili," kata juru bicara kantor hak asasi manusia PBB Ravina Shamdasani pada Jumat (1/9/2023), dikutip dari Associated Press.

“Masyarakat mempunyai hak untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas dan berkumpul secara damai, bahkan jika mereka melakukan protes terhadap PBB dan aktor-aktor lain."

Pada Kamis (31/8/2023), Pemerintah Republik Demokratik Kongo mengumumkan bahwa sedikitnya 43 orang tewas dan 56 lainnya terluka dalam protes anti-PBB yang diselenggarakan pada Rabu (30/8/2023) di kota Goma, ibu kota provinsi Kivu Utara.

Para korban dilaporkan tewas ditembak setelah tentara menggerebek kerumunan sekte agama bernama Natural Judaic and Messianic Faith Towards the Nations yang berkumpul untuk memprotes kehadiran pasukan penjaga perdamaian PBB di Kongo (MONUSCO).

Baca Juga: Sadis! Milisi Bacok dan Bakar Hidup-hidup Pengungsi di Kongo

1. Demonstran disebut merusak ketertiban umum

Wali Kota Goma Faustin Napenda Kapend telah melarang protes tersebut pada 23 Agustus, tak lama setelah diumumkan. Militer pun menuding demonstrasi itu sebagai penyebab kekacauan.

"Pertemuan tersebut melibatkan tindakan yang merusak ketertiban umum, termasuk melempari hingga tewas seorang anggota polisi, sehingga menyebabkan intervensi polisi untuk memulihkan ketenangan dan ketenangan di kota tersebut,” kata pemerintah dalam sebuah pernyataan pemerintah.

Sebanyak 158 orang, termasuk pemimpin sekte tersebut, Ephraim Bisimwa, telah ditangkap. Pemerintah juga mengatakan telah meluncurkan penyelidikan terkait insiden itu dan para tersangka akan segera diadili.

Baca Juga: Pemberontak M23 Kuasai Kota Strategis di RD Kongo

2. Human Rights Watch juga desak pertanggungjawaban dari pihak militer

Secara terpisah, Human Rights Watch dalam sebuah pernyataan meminta pertanggungjawaban dari pejabat senior militer yang memerintahkan penggunaan kekuatan bersenjata yang melanggar hukum.

“Pasukan militer Kongo tampaknya melepaskan tembakan ke arah kerumunan untuk mencegah demonstrasi, sebuah cara yang sangat tidak berperasaan dan juga melanggar hukum untuk menegakkan larangan,” kata Thomas Fessy, peneliti senior Kongo di Human Rights Watch, dikutip dari Anadolu Agency.

“Selama dua tahun, otoritas militer telah menggunakan ‘keadaan pengepungan’–darurat militer–di provinsi Kivu Utara untuk secara brutal menindak kebebasan mendasar.”

3. MONUSCO dianggap tidak berbuat banyak dalam menangani konflik di Kongo

MONUSCO pertama kali beroperasi di Kongo pada tahun 1999. Misi tersebut merupakan salah satu yang termahal di dunia, dengan anggaran tahunan sekitar 1 miliar dolar AS (sekitar Rp15 triliun), dikutip dari France24.

Meski demikian, masyarakat setempat menyebut bahwa pasukan misi itu tidak berbuat banyak untuk mencegah klonflik di Kongo.

Tahun lalu, protes anti-PBB juga pernah terjadi di Goma. Kejadian itu menewaskan puluhan orang, termasuk empat penjaga pasukan perdamaian PBB.

“MONUSCO tetap prihatin dengan ancaman kekerasan yang dilakukan sebelum demonstrasi dan menegaskan kembali pentingnya penyelesaian perselisihan dan kekhawatiran secara damai melalui dialog inklusif,” kata misi tersebut dalam sebuah pernyataan pada Kamis.

Baca Juga: Paus Fransiskus Kunjungi RD Kongo 

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya