Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi sidang umum PBB (twitter/@UNWatch)
Ilustrasi sidang umum PBB (twitter/@UNWatch)

Intinya sih...

  • Disetujuinya New York Declaration sebagai tonggak penting menuju solusi dua negara dan pengakuan Palestina sebagai negara merdeka.

  • PBB menyatakan Israel melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza, dengan niat untuk menghancurkan mereka sebagai kelompok.

  • Sekretaris Jenderal PBB menilai solusi dua negara semakin sulit diwujudkan, sementara Indonesia konsisten mendukung solusi dua negara sebagai jalan keluar yang adil bagi Palestina.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Palestina dijadikan salah satu agenda penting dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun ini. Dunia semakin terbuka dengan situasi di Palestina. Sejumlah negara yang awalnya mendukung Israel, kini mulai berbalik mendukung Palestina. Kekejian Israel yang dipertontonkan secara gamblang juga membuka mata dunia.

Tercatat lebih dari 65.000 nyawa melayang di Gaza, dengan jumlah kematian terbanyak adalah perempuan dan anak-anak. Bukan hanya karena serangan senjata, mereka yang tewas juga karena kelaparan hingga penyakit yang ada akibat perang berkepanjangan.

Sudah hampir 2 tahun perang berkecamuk di Gaza, namun dunia internasional tidak bisa berbuat apapun. Seakan semua negara takut pada Israel. Bahkan Amerika Serikat, mendukung Israel walaupun juga Two-State Solution.

Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah negara sekutu Israel menyuarakan keinginan mereka untuk mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Keputusan yang ditentang oleh Israel dan tentunya sekutu lainnya. Yang paling lantang adalah Prancis. Negeri Menara Eiffel tersebut juga menggerakkan Majelis Umum PBB untuk bersikap dan mengambil keputusan akan pengakuan Palestina sebagai negara juga mendukung Two-State Solution (solusi dua negara).

1. Disetujuinya New York Declaration

Pemungutan suara New York Declaration yang sepakati solusi dua negara Palestina di PBB. (UN Photo/Loey Filipe)

Pada 12 September lalu, sebanyak 142 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa memberikan suara mendukung resolusi yang dikenal sebagai New York Declaration dalam Sidang Umum PBB. Resolusi ini dinilai sebagai tonggak penting karena mendorong langkah konkret menuju solusi dua negara, sekaligus membuka jalan bagi pengakuan Palestina sebagai negara merdeka di forum internasional.

Meski demikian, tidak semua negara sepakat dengan keputusan tersebut. Tercatat 10 negara memilih menolak resolusi itu, sementara 12 negara lainnya memilih abstain. Perbedaan sikap ini menunjukkan masih adanya dinamika politik global terkait isu Palestina.

New York Declaration, dokumen yang digagas bersama oleh Prancis dan Arab Saudi, resmi dibahas di Sidang Umum PBB setelah melalui pertemuan tingkat tinggi pada Juli lalu. Deklarasi ini dipandang sebagai peta jalan konkret, terukur, dan tidak dapat diubah untuk mencapai penyelesaian damai konflik Palestina.

Isi deklarasi menekankan sejumlah poin penting, termasuk seruan penghentian perang di Gaza, pembebasan seluruh sandera, serta pelucutan dan pembubaran Hamas sebagai kekuatan pengendali di wilayah tersebut. Selain itu, deklarasi mendorong peralihan otoritas pemerintahan Palestina kepada Otoritas Palestina dengan dukungan internasional. Untuk menjamin transisi tersebut, dokumen juga mengusulkan pembentukan misi stabilisasi sementara yang dipimpin komunitas internasional. Misi ini diharapkan dapat melindungi warga sipil dan mendukung pembentukan struktur pemerintahan yang lebih stabil.

Namun, penolakan terhadap deklarasi ini muncul dari sejumlah negara, termasuk Israel dan Amerika Serikat. Keduanya menilai langkah Sidang Umum PBB tersebut kontraproduktif dan justru berisiko melemahkan upaya diplomasi yang sedang berlangsung. Menurut Washington, deklarasi itu berpotensi memberi keuntungan politik kepada Hamas, kelompok yang oleh AS dan Israel dikategorikan sebagai organisasi teroris. Perwakilan Amerika Serikat dalam pernyataannya menyebut keputusan Sidang Umum ini sebagai langkah keliru dan tidak tepat waktu dalam konteks proses perdamaian.

Selain AS dan Israel, penolakan juga datang dari 10 negara lainnya. Beberapa di antaranya merupakan negara kepulauan Pasifik yang secara historis memiliki hubungan diplomatik erat dengan Israel. Alasan penolakan beragam, mulai dari keberatan terhadap substansi teks yang dianggap memihak hingga kekhawatiran resolusi ini dapat mengganggu proses negosiasi yang lebih luas.

Dengan New York Declaration, maka PBB memantapkan dorongan internasional untuk solusi dua negara dan menawarkan kerangka transisi bagi pemerintahan Palestina. Namun, penolakan dari 10 negara menunjukkan adanya perbedaan strategis dan politik yang signifikan, sehingga perjalanan menuju pengakuan penuh dan implementasi konkret tetap menghadapi hambatan diplomatik yang besar.

2. PBB nyatakan Israel lakukan genosida di Gaza

serangan Israel di Jalur Gaza (Tasnim News Agency, CC BY 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/4.0>, via Wikimedia Commons)

Komisi Penyelidikan Independen PBB (Commission of Inquiry/CoI) menyatakan, Israel bertanggung jawab atas kejahatan genosida terhadap warga Palestina di Jalur Gaza. Laporan terbaru yang dirilis badan ini menegaskan adanya niat untuk menghancurkan warga Palestina sebagai kelompok, sesuai dengan definisi dalam Konvensi Genosida.

“Komisi menemukan bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza. Jelas ada niat untuk menghancurkan warga Palestina melalui tindakan yang memenuhi kriteria genosida,” kata Ketua Komisi, Navi Pillay. Ia menambahkan, tanggung jawab atas kejahatan ini berada di tingkat tertinggi otoritas sipil dan militer Israel, yang menjalankan kampanye genosida hampir dua tahun terakhir.

Usai keputusan tersebut, PBB juga menyatakan Israel melakukan genosida terhadap warga Palestina di Jalur Gaza. Hal itu disampaikan oleh Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB untuk Wilayah Palestina yang Diduduki, termasuk Yerusalem Timur, dan Israel dalam laporan baru pekan ini. Komisi mendesak Israel serta semua negara untuk memenuhi kewajiban hukum internasional mereka guna mengakhiri genosida dan menghukum pihak-pihak yang bertanggung jawab.

Komisi telah menyelidiki peristiwa sejak 7 Oktober 2023 selama dua tahun terakhir. Hasilnya, otoritas Israel dan pasukan keamanannya dinyatakan melakukan empat dari lima tindakan genosida yang didefinisikan dalam Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Tindakan itu mencakup pembunuhan, menyebabkan luka fisik atau mental serius, dengan sengaja menciptakan kondisi kehidupan untuk menghancurkan warga Palestina secara keseluruhan atau sebagian, serta penerapan langkah yang bertujuan mencegah kelahiran.

Temuan ini didasarkan pada penyelidikan menyeluruh terhadap operasi militer Israel di Gaza, pernyataan pejabat resmi, serta pola tindakan pasukan keamanan. Komisi menilai bukti yang terkumpul menunjukkan adanya niat khusus (dolus specialis) untuk menghancurkan warga Palestina.

Dalam laporannya, Komisi menyoroti sejumlah tindakan yang dikategorikan sebagai genosida, mulai dari pembunuhan massal, pengepungan total yang menyebabkan kelaparan, penghancuran sistem kesehatan dan pendidikan, hingga serangan sistematis terhadap anak-anak, perempuan, serta situs budaya dan keagamaan. Kekerasan seksual berbasis gender juga ditemukan terjadi secara terorganisir. Israel disebut mengabaikan perintah Mahkamah Internasional (ICJ) yang memerintahkan langkah sementara untuk mencegah genosida.

Komisi menegaskan bahwa pernyataan publik para pemimpin Israel, termasuk Presiden Isaac Herzog, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, dapat dikategorikan sebagai hasutan genosida. Tindakan mereka dinilai memperkuat pola operasi militer yang bertujuan menciptakan kondisi kehidupan tidak manusiawi bagi warga Gaza.

“Israel dengan sengaja menciptakan kelaparan dan kondisi tidak layak hidup. Dari sifat operasi militer yang dijalankan, niat genosida adalah satu-satunya kesimpulan yang masuk akal,” tegas Pillay.

Komisi mendesak Israel segera mengakhiri kampanye genosida, mematuhi perintah Mahkamah Internasional, membuka akses penuh bagi bantuan kemanusiaan, serta menghentikan kebijakan pengepungan dan kelaparan. Israel juga diminta memberikan akses tanpa hambatan bagi staf PBB, termasuk UNRWA dan lembaga kemanusiaan lain yang menyalurkan bantuan.

Selain itu, Komisi merekomendasikan negara anggota PBB untuk menghentikan transfer senjata ke Israel dan memastikan individu maupun korporasi di yurisdiksi mereka tidak terlibat dalam kejahatan genosida, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Komunitas internasional tidak boleh diam terhadap kampanye genosida Israel terhadap rakyat Palestina di Gaza. Setiap hari tanpa tindakan berarti turut berkomplot dalam kejahatan ini,” ujar Pillay.

3. Lanjutan High Level Week Two State Solution di UNGA

Ruang Sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat. twitter.com/unitednations

Sekretaris Jenderal PBB menilai, solusi dua negara bagi konflik Israel–Palestina semakin sulit diwujudkan. Dalam pernyataannya pada Juli 2025 lalu, ia menegaskan upaya mewujudkan dua negara bagi dua bangsa kini terasa “lebih jauh dari sebelumnya.”

Gagasan solusi dua negara telah lama menjadi kerangka penyelesaian konflik, bahkan sebelum pecahnya perang di Gaza pada Oktober 2023. Konflik terbaru itu berawal dari serangan mematikan Hamas di Israel selatan, yang kemudian memicu operasi militer besar-besaran.

Sejak saat itu, lebih dari 65 ribu orang dilaporkan tewas di Gaza, sementara sejumlah sandera yang ditahan Hamas masih berada dalam penyanderaan hingga kini. Kondisi ini memperburuk kebuntuan diplomasi di tingkat internasional.

Negara-negara anggota PBB dijadwalkan melanjutkan pembahasan soal solusi dua negara dalam konferensi internasional di Markas Besar PBB pada Senin, 22 September 2025. Pertemuan tersebut merupakan lanjutan dari sidang Majelis Umum PBB pada Juli 2025 lalu, yang tidak dihadiri oleh Israel maupun Amerika Serikat.

Indonesia sendiri konsisten mendukung solusi dua negara sebagai jalan keluar yang adil dan permanen bagi Palestina. Pemerintah RI menegaskan bahwa Palestina harus diakui sebagai negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Posisi ini berakar pada politik luar negeri bebas-aktif sekaligus solidaritas historis Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina sejak masa Presiden Soekarno.

Dalam berbagai forum internasional, termasuk sidang PBB, Indonesia kerap menekankan bahwa tanpa solusi dua negara, perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah akan sulit dicapai. Dukungan ini juga disuarakan Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan pentingnya kesatuan sikap global untuk mengakhiri pendudukan Israel dan memastikan Palestina memperoleh hak-haknya sebagai negara berdaulat.

Editorial Team