Imbas Pemotongan Bantuan, 8 Negara Akan Segera Kehabisan Obat HIV

Jakarta, IDN Times - Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) memperingatkan bahwa delapan negara, enam di antaranya di Afrika, akan segera kehabisan obat HIV dalam beberapa bulan mendatang. Hal ini merupakan imbas dari keputusan Amerika Serikat (AS) untuk menghentikan bantuan luar negerinya.
Dalam konferensi pers pada Senin (17/3/2025), Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebutkan bahwa negara-negara yang akan kehabisan obat anti-retroviral (ARV) adalah Nigeria, Kenya, Lesotho, Sudan Selatan, Burkina Faso, Mali, Haiti dan Ukraina.
“Gangguan terhadap program HIV dapat membatalkan kemajuan yang telah dicapai selama 20 tahun. Hal ini juga dapat menyebabkan lebih dari 10 juta kasus HIV tambahan dan tiga juta kematian terkait HIV," kata Tedros, seraya mencatat bahwa jumlah ini lebih dari tiga kali lipat dibandingkan jumlah kematian tahun lalu.
1. Penghentian bantuan luar negeri AS berdampak pada program kesehatan di seluruh dunia
Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan pembekuan bantuan luar negeri pada hari pertamanya menjabat pada Januari 2025. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari tinjauan terhadap pengeluaran pemerintah.
Tindakan tersebut berdampak pada program kesehatan di seluruh dunia, menyebabkan pengiriman pasokan medis yang penting, termasuk obat HIV, terhambat. Sebagian besar program Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) juga telah dihentikan.
Rencana Darurat Bantuan AIDS Presiden AS (Pepfar) merupakan salah satu program yang bergantung pada dukungan logistik dari USAID dan organisasi lainnya yang terdampak kekacauan tersebut.
Sejak diluncurkan pada 2003, Pepfar telah memberikan akses pengobatan HIV bagi masyarakat termiskin di dunia dan berhasil menyelamatkan lebih dari 26 juta jiwa di seluruh dunia.
"Hal ini menyebabkan penghentian segera layanan pengobatan, tes dan pencegahan HIV di lebih dari 50 negara," ujar Tedros, dikutip dari BBC.
2. AS diminta tarik bantuan dengan cara yang etis
Pada hari-hari pertamanya menjabat sebagai presiden, Trump juga mengumumkan bahwa AS akan keluar dari WHO, sehingga mempengaruhi pendanaan untuk badan kesehatan global tersebut.
“Pemerintah AS telah sangat bermurah hati selama bertahun-tahun. Dan tentu saja, mereka mempunyai hak untuk memutuskan apa yang mereka dukung dan sejauh mana,” kata Tedros.
“Tetapi AS juga mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa jika mereka menarik pendanaan langsung untuk suatu negara, hal itu dilakukan dengan cara yang tertib dan manusiawi sehingga memungkinkan mereka menemukan sumber pendanaan alternatif," tambahnya
Ia meminta AS untuk meninjau kembali dukungannya terhadap kesehatan global. Selain membantu menyelamatkan nyawa di seluruh dunia, langkah ini juga berkontribusi pada keamanan AS dengan mencegah penyebaran wabah secara internasional.
3. Sebanyak 25 juta orang hidup dengan HIV di sub-Sahara
Dilansir dari The Guardian, Beatriz Grinsztejn, presiden International AIDS Society, menilai gangguan ini sangat krusial dan mengancam banyak kelompok rentan. Namun, di sisi lain, ia melihatnya sebagai peluang untuk meningkatkan kemandirian. Nigeria bahkan telah berencana memproduksi obat dan alat tes HIV secara mandiri.
Christine Stegling, wakil direktur UNAids, menyatakan bahwa pihaknya telah memulai upaya terkoordinasi sejak tahun lalu untuk bekerja sama dengan beberapa negara dalam mengembangkan program HIV yang lebih berkelanjutan di dalam negeri.
"Pemerintah sudah bertekad, namun hal ini memerlukan perubahan fiskal baik dalam perpajakan atau melalui restrukturisasi utang," ujarnya.
Saat ini, diperkirakan 25 juta orang hidup dengan HIV di Afrika sub-Sahara. Jumlah ini mencakup lebih dari dua pertiga dari total 38 juta penderita HIV di seluruh dunia.
Di Nigeria, hampir 2 juta orang hidup dengan HIV dan sebagian besar dari mereka bergantung pada obat-obatan yang didanai oleh bantuan. Sementara itu, Kenya menempati peringkat ke-7 dalam jumlah penderita HIV terbesar di dunia, yakni sekitar 1,4 juta kasus.