Hanya 7 Negara yang Penuhi Standar Kualitas Udara WHO pada 2024

Jakarta, IDN Times - Laporan pemantauan kualitas udara yang berbasis di Swiss, IQAir, pada Selasa (11/3/2025) mengungkapkan bahwa sebagian besar penduduk dunia menghirup udara yang tercemar. Temuan ini diambil dari data 40 ribu stasiun pemantauan kualitas udara di 138 negara.
Hanya 7 negara yang memenuhi standar kualitas udara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk partikel beracun kecil yang dikenal sebagai PM2,5, pada tahun lalu. Sementara itu, Chad, Bangladesh, Pakistan, Republik Demokratik (RD) Kongo, dan India memiliki udara paling tercemar di dunia.
"Chad dan Bangladesh memiliki tingkat kabut asap rata-rata lebih dari 15 kali lebih tinggi, daripada pedoman WHO tahun lalu," kata laporan tersebut, dikutip dari Al Jazeera.
Pada 2022, Chad menduduki peringkat negara paling tercemar akibat debu Sahara, serta pembakaran tanaman yang tidak terkendali.
1. Perubahan iklim berdampak besar dalam meningkatkan polusi
Menurut data tersebut, hanya Australia, Selandia Baru, Bahama, Barbados, Grenada, Estonia, dan Islandia yang memenuhi standar kualitas udara internasional WHO.
Christi Chester-Schroeder, manajer sains kualitas udara IQAir, memperingatkan bahwa perubahan iklim memainkan peran signifikan dalam meningkatkan polusi, dengan suhu yang lebih tinggi menyebabkan kebakaran hutan yang lebih ganas dan lebih lama yang telah melanda sebagian Asia Tenggara dan Amerika Selatan.
Skala masalah perubahan iklim juga diperkirakan jauh lebih besar, daripada yang dilaporkan. Hal ini mengingat banyak bagian dunia tidak memiliki pemantauan yang diperlukan, guna mendapatkan data yang lebih akurat. Sebagai contoh, di seluruh Afrika hanya ada stasiun pemantauan untuk setiap 3,7 juta orang.
"Sebagian besar negara memiliki beberapa sumber data lain, namun hal ini akan berdampak signifikan terhadap Afrika. Sebab, sering kali sumber-sumber ini merupakan satu-satunya sumber data pemantauan kualitas udara real-time yang tersedia untuk publik," kata Chester-Schroeder.
2. Udara kotor menyumbang kematian
Dilansir The Guardian, laporan tahunan yang memasuki tahun ketujuh ini menyoroti beberapa bidang kemajuan. Salah satunya persentase kota yang memenuhi standar PM2,5 meningkat dari 9 persen pada 2023 menjadi 17 persen pada 2024.
Polusi udara di India yang merupakan rumah bagi 6 dari 10 kota terkotor di dunia, turun hingga 7 persen pada 2023-2024. Kualitas udara di China juga membaik, bagian dari tren jangka panjang yang menyebabkan polusi ekstrem PM2,5 di negara tersebut turun hampir setengahnya antara 2013-2020.
Dokter mengatakan tidak ada kadar PM2,5 yang aman, yang cukup kecil untuk masuk ke aliran darah dan merusak organ di seluruh tubuh. Namun, diperkirakan jutaan nyawa dapat diselamatkan setiap tahun dengan mengikuti pedoman mereka. Udara kotor merupakan faktor risiko kematian terbesar kedua setelah tekanan darah tinggi.
Pemerintah dapat membersihkan udara mereka dengan kebijakan, seperti mendanai proyek energi terbarukan dan transportasi umum, membangun infrastruktur untuk mendorong berjalan kaki dan bersepeda, dan melarang orang membakar limbah pertanian.
3. AS hentikan skema pelacakan tingkat kabut asap di seluruh kedutaan dan konsulatnya

Kesenjangan data dapat bertambah lebar, menyusul pengumuman dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) baru-baru ini yang menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi mempublikasikan data yang dikumpulkannya dari kedutaan besar dan konsulatnya di seluruh dunia.
Alasannya adalah karena keterbatasan anggaran, di mana lebih dari 17 tahun data dihapus pekan lalu dari situs pemantauan kualitas udara resmi pemerintah AS, airnow.gov. Ini termasuk pembacaan yang dikumpulkan di Chad.
Sementara itu, banyak negara berkembang mengandalkan sensor kualitas udara yang dipasang di gedung perwakilan diplomatik AS tersebut untuk melacak tingkat kabut asap mereka.
"Setidaknya 34 negara akan kehilangan akses ke data polusi yang dapat diandalkan setelah program AS ditutup," kata Christa Hasenkopf, direktur Program Udara Bersih di Institut Kebijakan Energi Universitas Chicago (EPIC).
"Skema Departemen Luar Negeri AS telah meningkatkan kualitas udara di kota-kota, di mana alat pemantau ditempatkan. Juga, meningkatkan harapan hidup dan bahkan mengurangi tunjangan bahaya bagi para diplomat AS, yang berarti program ini terbayar dengan sendirinya," sambungnya.