Inggris Larang Pelaku Kejahatan Seksual Asing Dapat Status Pengungsi

- Kebijakan baru Inggris melarang pelaku kejahatan seksual asing mendapatkan status pengungsi.
- Pemerintah menetapkan batas waktu 24 minggu bagi pengadilan untuk memutuskan banding dari pencari suaka yang tinggal di fasilitas pemerintah atau merupakan pelaku kejahatan.
- Home Office memperkenalkan teknologi AI untuk membantu memproses klaim suaka, meskipun menuai kritik akan risiko dan efektivitasnya.
Jakarta, IDN Times - Pemerintah Inggris mengumumkan kebijakan baru untuk memperketat keamanan perbatasan, pada Senin (28/4/2025). Kebijakan ini melarang pelaku kejahatan seksual asing mendapatkan status pengungsi, sebagai bagian dari upaya menekan migrasi ilegal menjelang pemilu lokal.
Langkah ini masuk dalam amandemen RUU Keamanan Perbatasan, Asrama, dan Imigrasi yang sedang dibahas di parlemen. Menteri Dalam Negeri Yvette Cooper menegaskan bahwa pelaku kejahatan seksual tidak layak mendapat perlindungan pengungsi. Kebijakan ini juga merespons meningkatnya tekanan publik atas lonjakan pencari suaka.
Pemerintah menetapkan batas waktu 24 minggu bagi pengadilan tingkat pertama untuk memutuskan banding dari pencari suaka yang tinggal di fasilitas pemerintah atau merupakan pelaku kejahatan. Selain itu, kecerdasan buatan (AI) akan digunakan untuk mempercepat proses klaim suaka, meskipun menuai kritik.
1. Aturan baru dalam konvensi pengungsi
Berdasarkan Konvensi Pengungsi, negara bisa menolak suaka bagi pelaku kejahatan berat seperti penjahat perang atau mereka yang dihukum lebih dari satu tahun. Inggris kini memperluas konvensi tersebut dengan melarang siapa pun yang masuk daftar pelaku kejahatan seksual, tanpa memandang lamanya hukuman.
Menteri Perlindungan Jess Phillips menyatakan kebijakan ini menunjukkan komitmen untuk melindungi perempuan dan anak. Kebijakan ini juga mencakup pelaku kejahatan seksual yang dihukum di luar negeri.
“Kami akan gunakan semua cara untuk mengusir predator dari jalanan kami,” ujar Phillips, dikutip dari Metro News.
Meski begitu, pelaku yang dideportasi tetap dapat mengajukan perlindungan berdasarkan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR). Hal ini memunculkan kritik, termasuk dari Steve Valdez-Symonds, selaku Amnesty International UK yang menyebut kebijakan ini sebagai bentuk undang-undang yang tidak bertanggung jawab.
2. Proses banding dipercepat dan pemanfaatan AI
Pemerintah menetapkan target 24 minggu bagi pengadilan tingkat pertama untuk menyelesaikan banding dari pencari suaka yang tinggal di akomodasi negara atau yang memiliki catatan kriminal. Langkah ini bertujuan mempercepat deportasi dan menekan biaya penampungan.
Home Office juga memperkenalkan teknologi AI untuk membantu memproses klaim, termasuk merangkum wawancara dan mencari data negara asal. Teknologi ini diklaim dapat menghemat satu jam per kasus, meskipun keputusan akhir tetap dibuat oleh petugas.
CEO Refugee Council, Enver Solomon, menyambut percepatan proses banding tetapi mengingatkan risiko penggunaan AI. Ia juga menekankan pentingnya dana tambahan demi efektivitas kebijakan.
“Jika teknologi ini menghasilkan keputusan keliru, bisa memicu gugatan hukum,”kata Solomon, dikutip dari South China Morning Post.
3. Respons publik dan implikasi politik
Kebijakan ini muncul di tengah kemarahan publik atas meningkatnya jumlah migran dan mahalnya biaya penampungan. Pemerintah Perdana Menteri Keir Starmer berusaha mempercepat deportasi dan mengurangi migrasi ilegal.
Ini juga dinilai sebagai upaya meredam pengaruh Partai Reform UK menjelang pemilu lokal. Namun, organisasi HAM menyebut kebijakan ini tergesa-gesa dan berisiko merusak keadilan proses suaka.
“Langkah ini lebih bernuansa politik ketimbang kepentingan hukum,” ujar Symonds.
Meski dikritik, Home Office menegaskan komitmennya menjaga keamanan. Pemerintah berharap kebijakan ini dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem imigrasi.
“Pelaku kejahatan seksual tidak pantas mendapat perlindungan pengungsi,” kata Yvette Cooper, dikutip dari Sky News.