Israel Larang Kunjungan Menteri Negara Arab ke Tepi Barat

Jakarta, IDN Times- Israel mengambil langkah kontroversial dengan melarang sejumlah menteri luar negeri Arab mengunjungi Ramallah, Tepi Barat. Rombongan tersebut berencana bertemu Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, pada Minggu (1/6/2025).
Keputusan Israel ini memicu kemarahan dan kecaman dari negara-negara Arab yang terlibat. Delegasi itu dipimpin Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, bersama perwakilan Mesir, Yordania, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Turki.
Israel, sebagai kekuatan pendudukan, selama ini mengontrol akses perbatasan ke Tepi Barat.
1. Kunjungan sebagai bentuk dukungan terhadap negara Palestina
Kunjungan tersebut bertujuan menyampaikan dukungan bagi perjuangan Palestina. Namun, Israel melarangnya pada Jumat malam (30/5/2025), menjelang kedatangan delegasi.
Kehadiran Pangeran Faisal seharusnya menjadi kunjungan pejabat Saudi tertinggi ke Tepi Barat sejak 1967. Ini menunjukkan signifikansi diplomatik dari rencana lawatan tersebut.
Inisiatif pertemuan ini datang dari Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, dan tidak dikoordinasikan dengan pihak Israel. Kunjungan ini hanya dikoordinasikan secara rahasia dengan negara-negara terlibat.
"Kunjungan kementerian ini dianggap sebagai pesan yang jelas. Perjuangan Palestina adalah isu sentral bagi bangsa Arab dan Muslim," tutur Duta Besar Palestina untuk Arab Saudi, Mazen Ghoneim.
2. Larangan Israel dikecam negara-negara Arab
Para menteri Arab mengecam langkah Israel. Mereka menilai tindakan itu melanggar kewajiban Israel sebagai kekuatan pendudukan dan menunjukkan arogansi serta pengabaian terhadap hukum internasional.
Melansir Ynet, pejabat senior Arab Saudi mengaku terkejut atas keputusan Israel, menggambarkannya sebagai langkah tak terduga dan negatif.
Sementara, Hussein Al-Sheikh dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), menyebut larangan ini sebagai eskalasi berbahaya dan perilaku provokatif yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebaliknya, pejabat Israel balas melabeli rencana pertemuan itu sebagai tindakan provokatif yang bertujuan mempromosikan negara Palestina. Israel khawatir negara Palestina akan mengancam keamanannya.
"Negara seperti itu tidak diragukan lagi akan menjadi negara teroris di jantung tanah Israel. Israel tidak akan bekerja sama dengan upaya-upaya yang mengancam keamanannya," ujar seorang pejabat Israel, dilansir Middle East Eye.
3. Dukungan terhadap pengakuan negara Palestina meningkat

Insiden ini terjadi di tengah meningkatnya tekanan internasional terhadap Israel untuk mendukung solusi dua negara. PBB dan banyak negara Eropa mendukung gagasan tersebut sebagai jalan menuju perdamaian, dilansir Al Jazeera.
Kunjungan ini diniatkan sebagai pendahuluan simbolis untuk upaya diplomatik Palestina yang lebih luas. Upaya termasuk rencana konferensi internasional di New York pada Juni yang akan diketuai Arab Saudi dan Prancis untuk membahas negara Palestina.
Peristiwa ini juga berpotensi memengaruhi hubungan Arab Saudi dan Israel, yang prospek normalisasinya menipis akibat perang di Gaza. Sebelumnya, Arab Saudi menjadikan pembentukan negara Palestina sebagai salah satu syarat normalisasi.
Dukungan global untuk pengakuan negara Palestinameningkat, salah satunya dari Prancis.
"Pengakuan negara Palestina bukan hanya sebuah kewajiban moral, tetapi juga sebuah kebutuhan politik. Apa yang sedang kita bangun dalam beberapa minggu mendatang jelas merupakan respons politik terhadap krisis di Gaza," kata Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dilansir CNN.