Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Bendera Myanmar (unsplash.com/aboodi vesakaran)
Bendera Myanmar (unsplash.com/aboodi vesakaran)

Jakarta, IDN Times - Pemimpin junta militer Myanmar, pada Selasa (15/10/2024), mengundang pemberontak etnis untuk menggelar dialog damai, dengan tujuan mengakhiri konflik yang melanda negara tersebut.

Ini merupakan ajakan yang kedua oleh Min Aung Hlaing dalam waktu kurang dari sebulan, memperlihatkan upaya para jenderal yang berkuasa untuk mendorong negosiasi secara terbuka.

 Dari 21 kelompok bersenjata etnis yang diakui, hanya sekitar setengah yang menandatangani kesepakatan tersebut, dan beberapa di antaranya tidak lagi mematuhinya.

1. Langkah negosiasi di tengah ketegangan

Sejak kudeta militer pada Februari 2021 yang menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, Myanmar mengalami peningkatan ketegangan.

Bulan lalu, militer mengumumkan undangan langsung untuk negosiasi perdamaian, yang ditujukan tidak hanya kepada kelompok etnis, tetapi juga kepada kekuatan pro-demokrasi yang mengangkat senjata. Namun, upaya ini dengan cepat ditolak oleh pihak oposisi.

Min Aung Hlaing menyatakan bahwa Dewan Militer akan tetap mengikuti kerangka perjanjian gencatan senjata yang ada.

"Keinginan tidak dapat dipaksakan melalui kekerasan bersenjata, melainkan melalui dialog di meja politik dengan cara-cara damai untuk menyelesaikan konflik," katanya, dikutip dari ABC News.

Sejarah konflik bersenjata di Myanmar telah berulang selama beberapa dekade, dengan gencatan senjata yang hanya memberikan perdamaian sementara. Belum ada penyelesaian politik yang menyeluruh yang memberikan kelompok etnis tingkat otonomi yang diinginkan.

2. Tantangan bagi kelompok etnis dan militer

Saat ini, militer menghadapi tekanan dari milisi etnis di berbagai wilayah negara, serta ratusan kelompok gerilyawan yang dikenal sebagai Pasukan Pertahanan Rakyat. Mereka dibentuk untuk memperjuangkan pemulihan demokrasi pasca-kudeta.

Selama setahun terakhir, militer mengalami kekalahan di medan pertempuran, memberikan inisiatif kepada kelompok perlawanan.

Delapan kelompok bersenjata etnis menandatangani perjanjian gencatan senjata pada Oktober 2015, dan dua kelompok lainnya bergabung pada Februari 2018, di bawah pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi.

Namun, beberapa kelompok besar seperti Tentara Pembebasan Kachin dan Tentara Negara Bagian Wa menolak untuk mendukung perjanjian tersebut karena dianggap tidak inklusif.

"Apa yang dilakukan militer hanya menciptakan kondisi yang akan memperpanjang kediktatoran militer," kata Aye Lwin , juru bicara Front Demokratik Mahasiswa Seluruh Burma, dikutip dari Associated Press.

Aye Lwin menambahkan bahwa tidak ada alasan saat ini untuk menerima dialog yang dipimpin oleh militer.

3. Myanmar mencari solusi damai di tengah konflik

Bendera Myanmar (unsplash.com/aboodi vesakaran)

Bagi junta, mempertahankan gencatan senjata dengan sebanyak mungkin kelompok sangat penting untuk mencegah terbentuknya oposisi yang kuat dan bersatu. Konflik yang berkepanjangan dapat melemahkan posisi militer dalam menghadapi tantangan baik dari kelompok etnis maupun dari kekuatan pro-demokrasi.

Setelah kudeta 2021, beberapa kelompok yang sebelumnya menandatangani perjanjian gencatan senjata memilih untuk berpihak pada Pemerintahan Persatuan Nasional, kelompok utama oposisi. Milisi yang mewakili minoritas Karen, Chin, dan Pa-O, serta Front Demokratik Mahasiswa Seluruh Burma, menolak untuk berpartisipasi dalam pembicaraan damai.

Min Aung Hlaing mengingatkan bahwa solusi jangka panjang hanya bisa dicapai melalui negosiasi.

"Kita harus berani mengambil langkah untuk mengakhiri pertikaian dan membangun masa depan yang lebih stabil dan damai," ujarnya dalam pidato yang disiarkan secara luas.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team