Negara-Negara yang Hancur Lebur akibat Intervensi Militer Asing

Ketika perang tidak mengenal batas

Jakarta, IDN Times - Intervensi militer asing yang dilakukan banyak negara, khususnya negara besar, menjadi bagian penting dalam sejarah konflik manusia. Intervensi bisa berlatar prinsip kemanusiaan atau atas permintaan bantuan dari salah satu pihak yang sedang berperang.

Bagi negara yang melakukan intervensi, kepentingan tertentu biasanya mewarnai tindakan mereka. Tapi intervensi dalam sebuah konflik seringkali menuai konsekuensi paling parah yang dapat ditanggung sebuah negara. 

Afghanistan misalnya, konflik panjang yang diinvasi Amerika Serikat atas dasar intervensi perang antiteror kini tak kunjung membaik. Sebaliknya, konflik bergerak dengan skala yang lebih besar yaitu perang saurata, seperti dilaporkan Reuters.

Intervensi AS dalam gejolak di Afghanistan telah membuat Washington harus menghabiskan waktu kurang lebih dua dekade sebelum akhirnya memutuskan untuk menarik diri dari negara tersebut. Bagi Afghanistan sendiri, kondisi semakin diperparah dengan pertempuran sengit antara pasukan pemerintah dan Taliban.

Tak hanya Afghanistan yang bernasib demikian. Berikut adalah negara-negara di dunia yang hancur lebur akibat intervensi militer asing dalam beberapa dekade terakhir.  

Baca Juga: Fakta Kota Daraa, Tempat Konflik Suriah Bermula yang Kini Membara Lagi

1. Suriah

Negara-Negara yang Hancur Lebur akibat Intervensi Militer AsingKendaraan Militer Amerika Serikat sedang berpatroli di dekat tambang minyak di Suriah. twitter.com/mfa_russia

Semakin parahnya perang saudara yang berkecamuk di Suriah adalah produk dari intervensi militer asing yang masih terjadi hingga hari ini. Perang yang diawali protes masyarakat Suriah terhadap Presiden Bashar al Assad, mengantarkan Suriah ke ambang jurang kehancuran sebagai akibat besarnya skala konflik.

Intervensi militer asing di Suriah dimulai ketika pemerintah Amerika Serikat memutuskan untuk mendukung pasukan pemberontak antipemerintah, Free Syrian Army (FSA). Dukungan secara diam-diam itu dilancarkan dengan memberikan pelatihan tempur dan senjata oleh Central Inteligence Agency (CIA) sejak tahun 2011 hingga 2017, seperti yang dilansir Reuters.

Washington kemudian memperluas jangkauan intervensinya dengan mendukung pasukan pemberontak Kurdi, Syrian Democratic Forces (SDF), secara terang-terangan sejak 2015. SDF sukses mendapat bantuan melalui Kementerian Pertahanan AS, mulai dari persenjataan, pelatihan tempur, hingga bantuan serangan udara yang secara khusus ditujukan ke posisi-posisi ISIS di Suriah.

Tidak berhenti di situ, berkat kesepakatannya dengan SDF, militer AS beserta sekutunya, seperti Inggris dan Prancis, juga mengerahkan pasukannya ke Suriah. Mereka datang dengan misi menjamin keamanan wilayah timur Suriah yang dikuasai oleh SDF. 

Selain AS, Federasi Rusia dan Iran juga ikut terlibat dalam konflik Suriah. Namun intervensi mereka di negara tersebut merupakan permintaan langsung dari pemerintah Suriah yang membutuhkan bantuan militer demi menghadapi amukan pasukan pemberontak dan ISIS. Bantuan serangan udara strategis dan pelatihan militer dari Rusia serta bantuan pejuang milisi Iran, terbukti berhasil dalam menghentikan gerak pasukan pemberontak dan membalikkan keadaan.

Aktor asing terakhir yang dengan terang-terangan melakukan intervensi militer di Suriah adalah Turki. Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Suriah, pemerintah Turki khawatir dengan keamanan negaranya. Mereka pun mulai melakukan intervensi dengan menginvasi wilayah utara Suriah sebanyak dua kali di 2018 dan 2019, yang saat itu sedang dikuasai pasukan Kurdi SDF.

Memboncengi pasukan Free Syrian Army (FSA) yang sudah tidak mendapatkan bantuan dari AS lagi, Turki berhasil menguasai sebagian wilayah utara itu. Namun, berkat keterlibatannya dengan FSA pulalah, upaya pemerintah Suriah menghancurkan FSA terhambat. Wilayah pertahanan terakhir FSA di Provinsi Idlib, yang berbatasan langsung dengan Turki, mendapat dukungan konstan dari militer Turki, baik persenjataan hingga kendaraan tempur berat. 

2. Libya

Negara-Negara yang Hancur Lebur akibat Intervensi Militer AsingPrajurit Tentara Nasional Libya dengan persenjataan beratnya di Perang Saudara Libya. twitter.com/BeaWilliamsxx

Sama seperti Suriah yang dulunya merupakan negara makmur dan kaya berkat minyak bumi yang mereka miliki, Libya termasuk salah satu negara yang menjadi korban kehancuran dahsyat akibat intervensi militer asing.

Kejatuhan Libya diawali dengan perang saudara antara loyalis Muammar Gaddafi dan pihak oposisi, yang mendapat bantuan langsung dari NATO. Sesuai dengan resolusi PBB Nomor 1973, intervensi kekuatan asing di Libya diizinkan untuk melindungi masyarakat sipil yang korban konflik. 

Dilaporkan Foreign Policy, keterlibatan NATO yang menggempur posisi pasukan loyalis Gaddafi menyebabkan perang sipil yang terjadi di Libya berubah menjadi perang besar. Ini langsung menghancurkan struktur pemerintahan dan masyarakat yang sudah lama melekat di Libya. Perang dahsyat sepanjang 2011, menyebabkan Libya terus gagal untuk bangkit dari kehancuran karena ketidaksepahaman yang terjadi. 

Gesekan kepentingan yang menyebabkan konflik internal akhirnya membawa Libya ke perang saudara yang baru pada 2014 hingga 2020. Dalam perang tersebut, pemerintahan Tripoli yang diakui PBB mendapat dukungan militer dari Turki, sedangkan pemerintahan Tobruk yang merupakan rival utama Tripoli, memperoleh dukungan persenjataan dari banyak negara seperti Rusia, Prancis, Mesir, Suriah, dan lainnya. 

Perang saudara kedua yang terjadi di Libya tersebut akhirnya berhasil diakhiri setelah kedua pemerintahan yang bersebarangan itu menyetujui rekonsiliasi. Itu disepakati setelah pasukan pemerintahan Tobruk gagal menaklukkan Kota Tripoli. Meskipun perang telah selesai, kestabilan di Libya masih belum terjamin dan pemulihan ekonomi masih jauh dari kata pulih. 

Baca Juga: Otoritas Libya Deklarasikan Gencatan Senjata Total

3. Yaman

Negara-Negara yang Hancur Lebur akibat Intervensi Militer AsingSeorang warga Yaman meminta perang di Yaman untuk segera diakhiri. (Twitter.com/DrAbdirahmanA)

Krisis kemanusiaan terparah masih terjadi di Yaman hingga kini. Ini merupakan akibat langsung dari perang saudara yang terjadi antara kelompok Houthi dan pemerintah Yaman.

Konflik berawal dari pengambilalihan pemerintahan secara paksa oleh kelompok Houthi pada 2014. Mereka menolak kepemimpinan Presiden Abdrabbuh Mansour Hadi yang dinilai tidak cakap dalam kepemimpinannya. Sejak itu, perang di Yaman terus berlanjut hingga hari ini tanpa adanya titik terang untuk berdamai.

Melansir BBC, intervensi militer asing dalam perang saudara Yaman terjadi ketika pemerintah Yaman mendapat bantuan militer dari Arab Saudi dan sekutunya, seperti Uni Emirat Arab. Mereka mendukung pasukan pemerintah Yaman dalam menghadapi Pasukan Houthi yang memberontak.

Melalui serangan udara dan serangan darat, pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi setidaknya berhasil menghentikan gerak laju pasukan Houthi yang awalnya dipercaya akan berhasil menaklukkan Yaman. 

Di sisi lain, kelompok Houthi secara tidak langsung mendapat bantuan persenjataan dari Iran, meski sampai hari ini disangkal oleh Teheran. Houthi terbukti banyak menggunakan pesawat nirawak hingga roket yang mirip dengan buatan Iran. Hal ini dipercaya menjadi alasan mengapa pasukan Houthi belum dapat dikalahkan oleh pasukan pemerintah Yaman yang sudah mendapatkan dibantu intervensi militer asing.

Perang yang bekerlanjutan di Yaman akhirnya juga membawa kesengsaraan bagi masyarakat Yaman yang harus menjadi korban utama dalam konflik ini. 

Baca Juga: Semakin Pudar karena Perang, Ini 5 Kota Bersejarah di Yaman 

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya