Setelah mendengar kondisi sembilan WNI yang terjebak, KBRI Kiev segera memastikan bahwa pemerintah akan melakukan segala cara untuk mengevakuasi mereka. Menurut Iskandar, salah satu tantangan evakuasi adalah otoritas Chernihiv yang sudah meninggalkan dari kota.
“KBRI meminta bantuan Wakil Gubernur Chernihiv, tapi ternyata dia sudah tidak di Chernihiv,” tutur Iskandar.
Doa Iskandar akhirnya terjawab saat perang memasuki hari ke-18. Kala itu, mereka didatangi oleh tiga orang bersenjata. Perawakannya mirip relawan alih-alih pasukan Ukraina. Mereka menanyakan paspor dan KTP.
Relawan itu datang entah dari mana. KBRI sendiri mengaku tidak mengirim mereka. Sampai hari ini, belum diketahui siapa yang mengutus para relawan. Kendati begitu, mereka berjanji untuk membawa Iskandar dan kawan-kawan keluar dari Chernihiv.
“Karena saya bingung, gak tahu apa-apa. Akhirnya mereka (KBRI dengan relawan Ukraina) koordinasi. Nah, saya dibilangin sama KBRI, ‘jangan pergi tanpa sepengetahuan kami. Kalau mau pergi dengan relawan harus kabari kami.’ Katanya begitu ada kesempatan, nanti langsung dievakuasi,” jelas Iskandar.
Keesokan harinya, para karyawan pabrik dipindahkan ke tempat perlindungan sementara. Semula, Iskandar menduga bahwa mereka langsung dievakuasi ke Kiev. Namun, mereka ternyata dipindahkan ke tempat lain.
Selama tiga hari, Iskandar dan kawan-kawan tinggal di rubanah restoran yang telah dialihfungsikan menjadi dapur umum, sesuai instruksi pemerinah Ukraina. Ironisnya, justru di tempat itulah Iskandar malah kekurangan makanan.
“Yang jemput kami relawan Ukraina, yang bekerja sama dengan tentara penjaga jalur yang mau kami lewati. Relawan ini bosnya punya restoran. Setiap hari tentara datang ke situ untuk makan atau kopi,” tutur dia.
Suasana pabrik setelah diserang Rusia (Dok. IDN Times/Istimewa)
Sehari setelah tinggal di penampungan, Iskandar memperoleh kabar bahwa pabrik dijatuhi empat bom. Alhasil, setengah infrastruktur pabrik hancur.
Meski bersembunyi di rubanah dan kekurangan makanan, Iskandar secara psikologis merasa lebih nyaman. Selain karena telah keluar dari pabrik, kebetulan salah satu relawan yang bertugas di restoran adalah koleganya, yang kerap memperbaiki listrik pabrik.
Dengan demikian, Iskandar semakin yakin bahwa para relawan tidak memiliki niat jahat.
“Karena saya kenal, akhirnya saya gak ada ragu lagi. Selain itu, saya juga nyaman bergaul dengan orang yang baru dikenal, karena orang lokal memang tidak ada yang resek. Jadi walaupun perang, saya percaya dengan orang Ukraina,” ungkapnya.
Menurut Iskandar, para WNI dijanjikan dievakuasi ke Kiev oleh petugas Mer-C. Hal itu memungkinkan karena pada awal Maret, Rusia-Ukraina telah menyepakati koridor kemanusiaan di sejumlah kota untuk mengevakuasi penduduk sipil. Tapi, mobil berlogo palang merah ternyata tak kunjung tiba.
Akhirnya, kata Iskandar, pada hari ke-22, relawan yang memindahkan mereka dari pabrik ke restoran bersedia untuk mengantarkan ke Kiev. “Waktu itu kebetulan ramai, bukan kami saja yang keluar Chernihiv, banyak juga warga Ukraina.”
Para WNI yang dievakuasi dari Chernihiv dengan mobil bak bersama relawan Ukraina (Dok. IDN Times/Istimewa)
Bermodalkan mobil bak tertutup, seperti mobil paket DHL, mereka bersebelas akhirnya menerobos jalanan Chernihiv menuju ibu kota. Mereka yang menaiki mobil itu terdiri dari sopir dan dua perempuan di kursi depan. Bagian bak diisi oleh sembilan orang.
Iskandar duduk di ruang yang gelap, sumpek, dan pengap. Namun, dia rela empet-empetan demi menyelamatkan nyawa. Hanya satu kali mereka beristirahat di tengah perjalanan. Demi mengurangi rasa lelah, mereka menaruh kasur di dalam bak yang sempit itu.
Jarak antara Chernihiv dengan Kiev sekitar 140-160 kilometer. Normalnya jarak itu bisa ditempuh dalam waktu dua jam. Namun, hari itu, Iskandar dan kawan-kawan harus berdiam diri di dalam bak selama lebih dari lima jam. Mereka juga harus melewati 10 cek poin. Menerabas hutan. Menjauh dari area perumahan.
“Saya duduk pas di depan pintu bak. Di setiap cek poin, nanti sopirnya kasih kode dengan mengetok. Terus pintu bak dibuka, saya tinggal tunjukin KTP,” kata Iskandar, yang hanya bisa berdoa karena tidak tahu apa yang mereka lewati.
“Di mobil itu gak ada orang KBRI. Tapi sepertinya mereka (penjaga pos pemeriksaan) sudah dapat kabar kalau kami mau lewat. Jadi cepat pemeriksaannya,” sambungnya.
Dalam perjalanan, Iskandar sudah mengetahui bahwa mereka adalah adalah kloter evakuasi terakhir. WNI yang tinggal di berbagai kota, termasuk di Kiev atau Lviv, sudah terlebih dahulu dievakuasi ke Polandia dan Rumania.
Setibanya di Kiev pukul 14.00, Iskandar bisa bernapas lega karena tidak lagi mendengar derung jet, gemuruh tank, dan tak lagi melihat asap membubung. Dia senang karena tidak ada tanda kontak senjata di Kiev. Tanpa berlama-lama, mereka segera melanjutkan perjalanan ke Lviv dengan mobil yang sudah disiapkan oleh KBRI.
“Ke Lviv kami juga gak sama orang KBRI. Karena memang udah gak ada orang Indonesia lagi,” kata Iskandar.
Jarak antara Kiev dengan Lviv sekitar 500-600 kilometer. Pada kondisi normal, mengendarai mobil hanya membutuhkan waktu 6-7 jam. Namun, karena banyak pos pemeriksaan dan kepadatan lalu lintas, Iskandar akhirnya membutuhkan waktu sekitar 12 jam.
Suasana di dalam bak mobil evakuasi WNI dari Chernihiv (Dok. IDN Times/Istimewa)
Meski tidak lagi melihat tank dan pasukan Rusia, Iskandar merasakan betapa siaga dan mencekamnya pos pemeriksaan.
“Seremlah setiap cek poin. Mereka pasang barikade, senjata lengkap, mukanya tegang-tegang. Tapi karena Rusia belum masuk di jalur (evakuasi) kami, jadi ya tenang dikitlah,” ungkap Iskandar.
“Yang jaga cek poin dari Kiev ke Lviv sudah dikasih tahu oleh KBRI. Sopirnya tinggal ngasih tahu kalau ini 9 WNI yang terjebak di Chernihiv. Akhirnya kami langsung lewat,” sambungnya.
Singkat cerita, rombongan Chernihiv tiba di rumah aman Lviv sekitar pukul 02.00 dini hari. Mereka istirahat sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan ke Polandia sekitar pukul 09.00. Perjalanan kali ini mereka sudah ditemani oleh petugas KBRI.
Iskandar tiba di Polandia pada sore hari. Sebelum bertolak ke Indonesia, mereka menjalani sejumlah protokol pencegahan COVID-19, termasuk tes PCR dan pengurusan administrasi lainnya. Mereka menghabiskan waktu satu hari satu malam di Polandia.
Akhirnya, Iskandar bersama 11 WNI lainnya yang dievakuasi paling terakhir di Ukraina tiba di Jakarta, Indonesia pada 21 Maret 2022.