Kisah Iskandar Terjebak di Zona Perang: Gak Terpikir Bisa Selamat!

Jakarta, IDN Times – Iskandar pertama kali menginjakkan kaki di Ukraina pada 2017. Pria asal Binjai, Sumatera Utara ini hijrah ke Eropa timur demi mendulang pundi-pundi rupiah. Sehari-harinya, Iskandar bekerja sebagai quality control untuk pabrik plastik yang berlokasi di Chernihiv.
“Saya ke Ukraina itu sebagai TKI (tenaga kerja Indonesia) di pabrik Caravan Group,” kata dia, dengan aksen Sumatera Utara yang sangat kental, kepada IDN Times.
Ukraina bukan negara pertamanya untuk mengadu nasib. Pengalaman bekerja di luar negeri dimulai dari Malaysia pada tahun 2000, ketika dia bekerja sebagai operator mesin di pabrik pembuatan plastik.
Iskandar memang akrab dengan anatomi mesin, karena di Binjai ia sempat bekerja sebagai penyedia jasa servis untuk barang-barang elektronik.
Setelah 10 tahun bekerja di Malaysia, pria berusia 46 tahun ini kemudian memutuskan pindah ke Yordania. Iskandar mendapat tawaran lebih menggiurkan dari klien yang sering membeli produk dari pabrik tempatnya bekerja.
Tahun 2010 Iskandar memulai babak barunya di Timur Tengah. Dia bekerja di Yordania selama 7 tahun, sampai sang bos memutuskan untuk memindahkan pabriknya ke Ukraina. Alasan utamanya karena pangsa pasar terbesar berada di negara tersebut.
“Akhir 2017 saya pindah ke Ukraina, tepatnya di Chernihiv yang berbatasan langsung dengan Belarus,” katanya.
Hidup di akar rumput Ukraina
Setelah melalang buana ke berbagai negara dan bersentuhan dengan banyak budaya, tak ayal Iskandar menjadi sosok yang mudah bergaul dengan lingkungan baru. Di Ukraina, Iskandar memiliki teman dari berbagai kalangan, mulai dari buruh, pebisnis, polisi, bahkan tentara.
Bergaul dengan militer asing mungkin terdengar aneh. Namun, bagi Iskandar, itu adalah hal yang lumrah karena dia tinggal di perbatasan. Dia sering ngopi bareng dengan pria berseragam yang mengantongi pistol, atau bahkan mereka yang menggendong senjata laras panjang.
“Ya biasa kalau saya sama mereka (tentara Ukraina) tegur-teguran, minta rokok, ngobrol,” katanya.
Bergaul di akar rumput membuat Iskandar memahami makna nasionalisme bagi warga Ukraina. Iskandar merasa hidup di tengah masyarakat yang mencintai negara dan pemerintahannya. Sebagai orang asing, Iskandar juga tidak pernah mendapat perlakukan diskriminatif.
“Sehari-hari kehidupan normal, warganya sangat welcome dengan saya. Gak pernah saya lihat ada keributan. Semuanya sopan dan gak rusuh,” demikian kesan Iskandar setelah hidup bertahun-tahun di Ukraina.
Keseharian Iskandar dengan warga Ukraina tak luput dari obrolan seputar Rusia. Dia paham bahwa orang-orang di sekitarnya tidak membenci Rusia. Mereka juga sadar dilahirkan dari rumpun yang sama, bak orang Indonesia dan Malaysia dengan ras Melayu.
Banyak dari mereka bahkan memiliki ikatan emosional dengan Rusia. Sebab kakek, nenek, atau koleganya masih ada yang tinggal di sana. Tentu bukan hal aneh, mengingat dulunya dua negara itu bagian dari Uni Soviet. Pun bukan hal tabu jika warga Ukraina berbicara dengan bahasa Rusia.
“Jadi bohong kalau dibilang yang berbahasa Rusia itu disiksa atau didiskriminasi di sini. Saya juga kadang-kadang berbahasa Rusia,” ujar Iskandar.
Iskandar berani menegaskan bahwa yang dimusuhi oleh warga Ukraina adalah pemerintahan Rusia. Bukan saja Rusia dalam definisi modern. Melainkan ‘Rusia’ ketika menjadi pusat Uni Soviet.
“Kalau kata teman-teman, Ukraina merasa seperti sapi perahnya Soviet. Tanahnya kan subur, tapi para petani gak pernah menikmati hasilnya. Yang dibenci oleh mereka itu bukan warga Rusia, tapi pemerintahannya,” ungkap Iskandar.
“Dan mereka sudah capek sejak zaman Soviet. Nah mereka semakin marah sejak Rusia mencaplok Krimea. Akhirnya setiap hari, kalau ngomog soal Rusia, mereka pasti mencaci maki, marah. Itu bahkan jauh sebelum perang ya,” sambungnya.
Berang menggunung inilah yang mendasari Ukraina untuk ‘berpisah’ dengan Rusia di persimpangan jalan, dengan memilih Uni Eropa sebagai masa depannya. Sehingga, bukan hal aneh jika isu global menjadi bahasan di warung kopi.
Iskandar sering mendapati warga Ukraina yang mengeluh karena pendapatannya kecil. Jika mereka digaji sekitar 400 dolar AS per bulan, maka buruh di Polandia dengan pekerjaan yang sama bisa diupahi hingga seribu dolar AS per bulan.
Atas dasar itu pula reformasi besar-besaran terjadi pada 2014, ketika Presiden Viktor Yanukovych yang pro-Rusia dikudeta dari pemerintahan. Pemicunya adalah Yanukovych menangguhkan pembicaraan ihwal pakta perdagangan dengan Uni Eropa pada 2013. Alasannya tidak lain menjaga kemesraan dengan Moskow.
Mirisnya, penggulingan Yanukovych harus ditukar dengan lebih dari 120 nyawa, akibat bentrokan antara demonstran dengan aparat.
Kebencian makin tak terbendung ketika Rusia, di bawah rezim Vladimir Putin, mengirim pasukan untuk mencaplok Krimea pada 2014. Peristiwa Krimea juga menjadi noktah hitam dalam sejarah Eropa modern, karena ribuan nyawa melayang imbas rudal dan peluru yang saling berbalas.
“Orang Krimea itu awalnya dijanjikan, setelah dicaplok nanti gajinya dinaikkan 2-3 kali lipat. Tapi setelah 1-2 bulan, mereka malah ditekan, gajinya gak naik, malah ada yang gak diberikan gajinya. Makin bencilah Ukraina dengan pemerintah Rusia,” ungkap Iskandar, yang mendengar pengakuan dari temannya.