Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi tentara (unsplash.com/Pawel Janiak)
ilustrasi tentara (unsplash.com/Pawel Janiak)

Jakarta, IDN Times - Lebih dari 200 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, dilaporkan tewas akibat serangan paramiliter Sudan selama 3 hari di negara bagian Nil Putih.

Emergency Lawyers, kelompok yang melacak pelanggaran hak asasi manusia, pada Selasa (18/2/2025) mengatakan bahwa Pasukan Dukungan Cepat (RSF) menyerang warga sipil tak bersenjata di desa Al-Kadaris dan Al-Khelwat sejak Sabtu (15/2/2025).

"RSF melakukan eksekusi, penculikan, penghilangan paksa dan penjarahan properti," kata kelompok tersebut, dikutip dari The New Arab.

Pihaknya menambahkan bahwa beberapa korban tenggelam karena ditembak saat mencoba melarikan diri melintasi Sungai Nil.

1. RSF tembaki warga di jalanan dan rumah mereka

Kementerian Luar Negeri Sudan, yang berpihak pada militer, menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat serangan RSF sejauh ini telah mencapai 433 orang, termasuk bayi. Mereka menyebut serangan itu sebagai pembantaian yang mengerikan.

Menurut keterangan saksi, anggota RSF menembaki orang-orang di jalanan dan di dalam rumah mereka dengan mengendarai sepeda motor.

Serangan ini terjadi ketika pemerintah Sudan berhasil merebut wilayah di dan sekitar ibu kota, Khartoum, dari RSF. Pada Senin (17/2/2025), militer mengklaim telah menguasai kembali kawasan Abu Hamama di ibu kota dan membongkar pos pemeriksaan RSF di sana.

Beberapa pemimpin senior RSF saat ini berada di Kenya, di mana mereka diperkirakan akan mengumumkan rencana pembentukan pemerintahan sendiri di wilayah yang mereka dikuasai.

2. Impunitas yang mengakar picu pelanggaran hak asasi manusia serius

Pada Selasa (18/2/2025), Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa impunitas yang sudah mengakar menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius di Sudan. Mereka memperingatkan bahwa jumlah warga sipil yang tewas akan terus bertambah seiring meningkatnya permusuhan antara kedua pihak yang berseteru.

"Serangan yang terus menerus dan disengaja terhadap warga sipil dan objek sipil, serta eksekusi tanpa proses hukum, kekerasan seksual, dan pelanggaran serta penyalahgunaan lainnya, menyoroti kegagalan total kedua pihak untuk menghormati aturan dan prinsip hukum kemanusiaan internasional serta hak asasi manusia," kata Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk, dikutip dari Al Jazeera.

Ia menambahkan bahwa beberapa tindakan tersebut, yang dianggap sebagai kejahatan perang, harus segera diselidiki secara independen untuk menyeret pihak yang bertanggung jawab ke pengadilan.

3. Puluhan ribu orang tewas akibat konflik di Sudan

Perang sipil di Sudan pecah pada April 2023, ketika pasukan panglima militer Abdel Fattah al-Burhan berperang melawan pasukan yang berpihak pada mantan wakilnya, komandan RSF Mohamed Hamdan Dagalo, atau yang dikenal sebagai Hemedti. Kedua pihak sama-sama dituduh melakukan pelanggaran dan kejahatan perang.

Konflik ini telah menewaskan puluhan ribu orang, memaksa lebih dari 12 juta warga Sudan mengungsi, dan menciptakan apa yang disebut oleh Komite Penyelamatan Internasional (IRC) sebagai krisis kemanusiaan terbesar yang pernah terdokumentasi.

Pekan lalu, Kementerian Luar Negeri Sudan mengumumkan rencana pembentukan pemerintahan transisi untuk mengakhiri perang dan mempersiapkan pemilihan umum.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorFatimah