Negara Barat Kompak Dukung Hak LGBT di Pride Day, AS Absen

- Pernyataan bersama negara-negara Barat tekan aksi nyata
- Tantangan global bagi komunitas LGBTQI masih berat
- Dampak kebijakan Trump terhadap hak LGBT terasa secara global
Jakarta, IDN Times - Menteri luar negeri dari Kanada, Australia, Brasil, dan sejumlah negara Eropa merilis pernyataan bersama pada Sabtu (28/6/2025) dalam rangka Hari Pride Internasional.
Mereka menegaskan komitmen untuk melawan diskriminasi dan kekerasan terhadap komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, dan interseks (LGBT) di tengah meningkatnya ujaran kebencian dan kekerasan homofobik secara global.
Namun, Amerika Serikat (AS) tidak tercantum sebagai penandatangan. Sejak terpilihnya kembali Presiden Donald Trump, AS telah mencabut sejumlah kebijakan yang sebelumnya melindungi hak-hak LGBT. Ketidakhadiran AS menimbulkan tanda tanya mengenai arah kebijakan hak asasi manusia di negara itu.
1. Pernyataan bersama tekankan aksi nyata
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa negara-negara penandatangan berbicara dan bertindak sebagai satu kesatuan untuk memperjuangkan hak-hak LGBTQI.
Mereka menyoroti pentingnya kerja sama global untuk menghentikan kriminalisasi, stigma, dan kekerasan terhadap komunitas LGBTQI. Spanyol, Belgia, Kolombia, dan Irlandia turut mendukung pernyataan itu.
“Dalam situasi di mana ujaran kebencian dan kejahatan bermotif homofobia meningkat, kami menolak segala bentuk kekerasan, kriminalisasi, stigmatisasi, atau diskriminasi,” demikian isi pernyataannya.
Dilansir The Straits Times, dokumen tersebut juga mendorong pelatihan aparat penegak hukum dan program anti-perundungan di sekolah. Absennya AS dikritik para aktivis.
“Kami kecewa dengan ketidakhadiran AS, yang dulu pelopor hak LGBT di tingkat global,” ujar seorang aktivis dari Human Rights Watch, dikutip dari Bluewater Healthy Living.
Ia memperingatkan bahwa langkah mundur AS dapat menghambat upaya global, khususnya di Afrika yang memiliki iklim represif terhadap LGBTQI.
2. Tantangan global yang masih berat
Komunitas LGBTQI masih menghadapi diskriminasi sistemik di banyak negara. Laporan Human Rights Watch pada Rabu (11/6/2025) mencatat 64 negara masih mengkriminalisasi hubungan sesama jenis, sebagian bahkan memberlakukan hukuman mati. Di Timur Tengah dan Afrika, aktivis LGBTQI kerap menjadi target penahanan sewenang-wenang dan pengawasan digital.
“Saya ditahan di Arab Saudi karena mendukung hak LGBT di media sosial,” kata seorang aktivis asal Yaman yang kini mencari suaka. Ia mengaku masih terus menerima ancaman pembunuhan.
Kanada menegaskan komitmennya untuk mempromosikan hak LGBTQI melalui forum internasional seperti PBB. “Hak asasi manusia adalah universal dan tidak boleh dibatasi oleh orientasi seksual atau identitas gender,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Kanada, seperti dikutip dari situs resmi Global Affairs Canada. Kanada juga mendukung bantuan internasional bagi akses pendidikan dan kesehatan komunitas LGBTQI.
Brasil, meskipun telah melegalkan pernikahan sesama jenis sejak 2013, masih menghadapi kekerasan terhadap komunitas LGBTQI. 445 pembunuhan terkait orientasi seksual dilaporkan pada 2017.
“Kami bergabung dalam pernyataan ini untuk menunjukkan bahwa Brasil tetap berkomitmen pada inklusivitas,” kata seorang diplomat Brasil. Ia menekankan pentingnya solidaritas global dalam menghadapi kemunduran hak LGBTQI.
3. Dampak kebijakan Trump terhadap hak LGBT
Sejak Trump kembali menjabat, sejumlah kebijakan yang melindungi komunitas LGBTQI dibatalkan. Pemerintahannya melarang individu transgender bergabung di militer. Perlindungan kesehatan untuk pasien transgender juga dihapus, mempersempit akses layanan medis mereka.
“Dampaknya tak hanya di AS, tapi juga meluas secara global,” kata Sarah McBride, anggota Kongres AS dan aktivis transgender.
“Saat AS mundur, itu memberi sinyal kepada rezim otoriter bahwa represi terhadap komunitas LGBT bisa terjadi tanpa konsekuensi.” lanjutnya.
Bluewater Healthy Living melaporkan, para aktivis khawatir absennya AS melemahkan tekanan terhadap negara seperti Hongaria, yang baru saja mengesahkan undang-undang yang bisa melarang pawai Pride.