ilustrasi perempuan Iran (unsplash.com/Hadi Yazdi Aznaveh)
Selama proses pemakzulan, Mohammad Qasim Osmani, seorang anggota parlemen yang mendukung Hemmati, berpendapat meningkatnya inflasi dan nilai tukar bukanlah kesalahan pemerintah saat ini.
Ia menunjuk pada defisit anggaran yang ditinggalkan pemerintahan Presiden garis keras, Ebrahim Raisi, yang menurutnya berkontribusi pada ketidakstabilan ekonomi.
Namun, menurut anggota parlemen garis keras, Hosseinali Hajidaligani berpendapat Hemmati berperan penting dalam ketidakstabilan ekonomi Iran, dan dapat menjadi "berbahaya" bagi negara tersebut jika dibiarkan tetap menjabat.
Hajidaligani menuduh menteri tersebut sengaja mendevaluasi mata uang nasional untuk mengisi kas pemerintah dengan keuntungan jangka pendek, yang akan menutupi defisit anggaran dengan mengorbankan ekonomi dan rakyat Iran pada umumnya.
Hemmati menolak tuduhan tersebut dan menunjuk pada penurunan inflasi sebesar 10 persen. Ia mengakui inflasi masih tetap tinggi, yaitu 35 persen.
Ia memberi tahu anggota parlemen timnya bekerja keras untuk mengatasi masalah tersebut, tetapi memperingatkan bahwa prosesnya akan memakan waktu.
Hemmati menekankan kesepakatan nuklir Iran 2015 dengan negara-negara besar dunia, yang ditinggalkan secara sepihak oleh Presiden AS Donald Trump pada 2018, kini berada di titik kritis. Negara-negara Barat yang terlibat dalam kesepakatan tersebut hanya memiliki waktu hingga Oktober untuk mengaktifkan mekanisme "snapback"-nya, yang dapat mengembalikan semua sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Iran.