Turki Kecam Pengadilan UE tentang Larangan Jilbab

Konsep kebebasan beragama di Uni Eropa dipertanyakan 

Ankara, IDN Times - Cour de justice de l'Union europeenne (CJUE) atau pengadilan Eropa yang berada di Luksemburg memutuskan bahwa perusahaan di kawasan UE dapat melarang pemakaian jilbab bagi karyawannya dalam kondisi tertentu. Keputusan itu dilakukan pada hari Kamis (15/7).

Pada hari Minggu (18/7), Kementrian Luar Negeri mengecam putusan tersebut dan mengatakan bahwa itu bagian dari pelanggaran nyata kebebasan beragama. Turki mengatakan bahwa perempuan muslim telah menjadi sasaran tindakan diskriminatif di Eropa.

1. Netralitas dan upaya mencegah perselisihan sosial

Secara tegas, CJEU pada hari Kamis telah memutuskan bahwa perusahaan di kawasan anggota Uni Eropa (UE) dapat melarang penggunaan jilbab bagi seorang muslimah. Hal itu menurut mereka dibenarkan oleh kebutuhan pemberi kerja "untuk menghadirkan citra netral terhadap pelanggan atau untuk mencegah perselisihan sosial," kata pengadilan seperti dikutip laman France24.

Larangan yang dikeluarkan oleh pengadilan sebenarnya tidak terbatas pada jilbab saja tetapi segala bentuk ekspresi keyakinan politik, filosofis atau agama.

Putusan CJEU tersebut dibuat setelah ada dua kasus larangan jilbab yang dilakukan di Jerman. Dua kasus itu melibatkan seorang penjaga di pusat penitipan anak berkebutuhan khusus di Hamburg dan satunya lagi adalah seorang kasir penjaga apotek.

Sebelumnya, dua pekerja itu bekerja bertahun-tahun tanpa mengenakan jilbab. Namun setelah cuti beberapa waktu dan kembali bekerja, mereka mulai mengenakannya.

Dua orang pekerja itu kemudian diberitahu oleh pemberi kerja bahwa apa yang mereka lakukan tidak diperbolehkan atau disuruh bekerja tanpa mengenakannya atau bisa ditempatkan pada pekerjaan yang berbeda.

Melansir laman The Guardian, pusat penitipan anak telah melarang para stafnya memakai simbol agama apapun, termasuk salib atau kippah Yahudi. Pada kasus pekerja apotek, para stafnya diberitahu untuk tidak memakai tanda-tanda politik, filosofis dan agama yang mencolok.

Dua muslimah itu tidak terima dan mengajukannya ke pengadilan Jerman. Pengadilan Jerman melakukan rujukan kasus itu ke CJEU untuk mencari panduan dalam arahan ketanagakerjaan.

Keputusan CJEU seperti yang dijelaskan sebelumnya, yakni perusahaan boleh melarang pegawai untuk tidak mengenakan simbol agama demi netralitas dan upaya mencegah perselisihan sosial.

2. Kebencian yang meningkat telah menyandera Eropa

Baca Juga: Turki Kecam Kapal Jerman yang Inspeksi Kapal Turki di Pesisir Libya

Berdasarkan putusan CJEU pada hari Kamis tersebut, maka Turki mengecamnya. Hari Sabtu (17/7), Fahrettin Altun, direktur komunikasi kepresidenan Turki mengutuk putusan pengadilan Eropa dan mengatakan bahwa "keputusan yang salah ini adalah upaya untuk memberikan legitimasi kepada rasisme," katanya seperti dikutip Reuters.

Esok harinya, yakni pada hari Minggu (18/7), Kementrian Luar Negeri menambahkan bahwa putusan pengadilan Eropa adalah tanda meningkatnya Islamofobia dan muslimah Eropa jadi sasaran diskriminasi yang terus meningkat terkait keyakinan agama yang mereka peluk.

Kementrian Luar Negeri Turki mengatakan bahwa “keputusan CJEU, pada saat Islamofobia, rasisme dan kebencian yang telah menyandera Eropa meningkat, mengabaikan kebebasan beragama dan menciptakan dasar dan perlindungan hukum untuk diskriminasi."

Negara-negara di Uni Eropa telah bertahun-tahun silang pendapat soal urusan jilbab. Ada yang menerima dan ada yang menolaknya. Itu telah menjadi perdebatan tajam dalam upaya mengintegrasikan muslim di Eropa.

Turki sendiri telah terlibat beberapa ketegangan dengan dan blok EU. Selain masalah regulasi tentang mengenakan pakaian muslim, Turki bersengketa dengan negara anggota UE, yakni Yunani, tentang persoalan batas maritim dan hak pengelolaan energi di Mediterania timur.

3. Konsep kebebasan beragama di Uni Eropa dipertanyakan

Isu tentang pelarangan pakaian agama di tempat umum di Uni Eropa (UE) sebenarnya telah lama muncul. Bahkan larangan menunjukkan simbol agama secara mencolok tidak hanya mengkhususkan pada muslim saja, tetapi juga pada agama lain misalnya seperti Sikh. Perdebatan tentang hal tersebut telah lahir pada tahun 2010 silam.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, ketika aksi terorisme meningkat di Eropa mengatasnamakan Islam, telah memperburuk citra Islam. Tekanan terhadap larangan mengenakan simbol agama, yang ini termasuk Islam, dipandang sebagai bagian dari Islamofobia.

Menurut Human Rights Watch, mereka tidak setuju tentang pelarangan simbol agama di tempat umum, termasuk penutup kepala laki-laki Sikh atau jilbab bagi perempuan Muslim. Larangan menggunakan simbol agama itu, menurut HRW akan memiliki dampak diskriminatif yang sebagian besar mempengaruhi perempuan dan anak perempuan muslim.

Melansir laman Associated Press, penasihat Presiden Turki yang bernama Ibrahim Kalin mempertanyakan konsep kebebasan beragama Eropa dalam sebuah unggahan media sosial. Katanya "Apakah konsep kebebasan beragama sekarang mengecualikan Muslim?!"

CJEU yang memiliki basis di Luksemburg pada tahun 2017 lalu telah memutuskan hal ini, yakni bahwa perusahaan boleh melarang muslim mengenakan jilbab dalam kondisi tertentu dan putusan itu menimbulkan perdebatan yang panjang. Kini CJEU kembali merujuk pada putusan tahun 2017 tersebut.

Keputusan CJEU dianggap bertentangan dengan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) yang pada tahun 2013 mengizinkan salib Kristen dipakai di tempat kerja. ECHR bukanlah pengadilan UE, tapi semua negara anggota UE telah menandatangani konvensi Eropa tentang hak asasi manusia.

Baca Juga: Turki Keluar dari Perjanjian Perlindungan Perempuan

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya