Di Mahkamah Internasional, Myanmar Minta Hakim Hapus Tuduhan Genosida

Aung San Suu Kyi dituding diam dan gagal bantu

The Hague, IDN Times - Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, meminta 17 juri Mahkamah Internasional (ICJ) di Belanda untuk menghapus tudingan bahwa negaranya telah melakukan genosida pada Kamis (12/12).

Suu Kyi juga meminta agar para hakim mengizinkan pemerintahnya menggunakan sistem pengadilan militer untuk menyelesaikan segala kasus pelanggaran HAM setelah mendapatkan laporan dari tim investigasi internal.

"Saya bisa mengonfirmasi akan ada persidangan militer berikutnya setelah masuknya laporan itu...dalam beberapa minggu," kata Suu Kyi, seperti dilansir The Guardian.

"Ini vital bagi sistem peradilan sipil dan militer kami untuk berfungsi sesuai dengan konstitusi kami."

1. Gambia memaksa Myanmar untuk menjalani persidangan internasional

Di Mahkamah Internasional, Myanmar Minta Hakim Hapus Tuduhan GenosidaPemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menghadiri sidang pleno KTT ASEAN ke-35 di Bangkok, Thailand, pada 2 November 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Athit Perawongmetha

Persidangan digelar sejak tiga hari mulai Selasa (10/12). Mahkamah Internasional mengabulkan gugatan Gambia, sebuah negara di Afrika, yang menuntut Myanmar atas dugaan pembunuhan massal, pemerkosaan, perusakan tempat tinggal serta komunitas Rohingya di Rakhine.

Dalam Statuta ICJ disebutkan bahwa negara anggota bisa menuntut sesama anggota dengan tudingan telah melanggar peraturan internasional. Gambia menggunakan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida yang disahkan pada 1948.

Dilansir AFP, pengacara Gambia, Philippe Sands, menilai Suu Kyi telah gagal dalam melindungi Rohingya.

"Nyonya Agen, diamnya Anda berbicara lebih banyak dibandingkan kata-kata," ujar Sands, merujuk kepada posisi Suu Kyi sebagai agen Myanmar dalam kasus ini.

2. Suu Kyi sama sekali tak menyebut nama Rohingya

Di Mahkamah Internasional, Myanmar Minta Hakim Hapus Tuduhan GenosidaPemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi meninggalkan Pengadilan Internasional (ICJ) setelah sidang kedua tentang kasus yang dilaporkan oleh Gambia terhadap Myanmar atas dugaan genosida terhadap populasi minoritas Muslim Rohingya di Den Haag, Belanda, pada 11 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herman

Sands juga mencermati bahwa Suu Kyi berdalih dari tudingan itu. "Kata 'pemerkosaan' tak sekali pun keluar dari mulut agen," ucapnya.

Pengacara Gambia lainnya, Paul Reichler, menggarisbawahi bahwa "yang paling mencolok adalah apa yang tak dibantah oleh Myanmar", yaitu Rohingya mengalami intimidasi dan persekusi.

Sementara itu, Simon Adams selaku Direktur Eksekutif Global Center for Responsibility to Protect, memperhatikan bahwa Suu Kyi sama kali tak mengucapkan kata Rohingya untuk merujuk kepada kelompok Muslim di Rakhine yang jadi korban keganasan Myanmar.

Padahal, menurut perhitungan Al Jazeera, ada 3.379 kata dalam pidato Suu Kyi di depan para hakim dan delegasi-delegasi lainnya.

"Penolakan terhadap identitas Rohingya sangat berkaitan dengan penolakan terhadap hak asasi mereka dan tentu saja, terhadap genosida," tulis Adams melalui Twitter pribadinya.

Baca Juga: Bantah Genosida Rohingya, Aung San Suu Kyi Hadiri Sidang Internasional

3. Laporan PBB cenderung mendukung tudingan bahwa Myanmar melakukan genosida

Di Mahkamah Internasional, Myanmar Minta Hakim Hapus Tuduhan GenosidaWarga berkumpul dalam reli mendukung Aung San Suu Kyi sebelum ia menghadiri sebuah sidang di Pengadilan Internasional (ICJ) di Bago, Myanmar, pada 9 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Myat Thu Kyaw

Kasus yang memaksa Myanmar menghadap ICJ adalah eksodus sekitar satu juta warga Rohingya ke Bangladesh pada 2017. Mayoritas tinggal di Rakhine selama bertahun-tahun, tapi pemerintah Myanmar melabeli mereka sebagai imigran ilegal dan menolak mengakui sebagai warga negara.

Di tahun tersebut, militer Myanmar melakukan operasi militer berskala masif yang menarget kelompok Rohingya. Mereka adalah minoritas di negara yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Buddha.

Dokumen yang diunggah di situs resmi ICJ pun menyebut militer telah melakukan operasi pembersihan sistematis dan tersebar luas terhadap Rohingya sejak Oktober 2016 sampai Agustus 2017. Ini memaksa mereka untuk menyelamatkan diri ke negara tetangga.

Investigasi PBB pun cenderung memverifikasi tudingan Gambia. Laporan Kantor Komisioner HAM PBB menemukan bahwa militer secara rutin dan sistematis menggunakan pemerkosaan, pemerkosaan massal, serta aksi kekerasan lain dan pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual terhadap perempuan dewasa, gadis, anak laki-laki, pria dewasa, serta transgender.

Baca Juga: Pengungsi Rohingya akan Dipindahkan ke Pulau Rawan Bencana

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya