Jokowi: AS Saja dengan Jutaan Kasus COVID-19, Tak Menunda Pemilu

Usai pemilu, AS cetak rekor angka harian COVID 100 ribu

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo memastikan Pilkada Serentak tetap diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Menurut Jokowi, pelaksanaan pilkada sudah ditunda dari yang semula digelar pada September 2020 lalu. 

Berbicara di program eksklusif Rosi dengan tajuk "Jokowi Dikepung Kritik" yang tayang di Kompas TV pada Senin malam, 16 November 2020, mantan Gubernur DKI Jakarta itu bahkan menyebut tiga negara lainnya tetap memilih menyelenggarakan pemilu meski pandemik COVID-19 masih melanda. Tiga negara itu yakni Korea Selatan, Myanmar, dan Amerika Serikat. 

"Di Amerika, itu pandemik berapa juta yang terkena kasus COVID-19, juga (pemilunya) tidak ditunda," kata Jokowi. 

Berdasarkan data dari Universitas John Hopkins pada 5 November 2020, kasus COVID-19 di AS mencapai 9,5 juta dan tingkat kematian menembus 234.400 jiwa. Sementara kantor berita Reuters pada 5 November 2020 mengungkapkan, kasus harian COVID-19 di AS mencapai 102.591. Prediksi lainnya menyebut, akan ada 70 ribu orang yang meninggal di AS ketika Joe Biden dilantik sebagai presiden pada Januari 2021. 

Terkait sikap pemerintah Indonesia tetap menyelenggarakan pilkada 9 Desember 2020, epidemiolog dari Universitas Griffith, Brisbane, Australia, Dicky Budiman mempertanyakan apakah pemerintah siap dengan konsekuensi tambahan kasus COVID-19 usai pilkada. Sebab, kemampuan rumah sakit dan tenaga medis di Indonesia tidak sebanding. 

1. Epidemiolog peringatkan tsunami kasus COVID-19 di AS bisa terjadi di RI bila pilkada tetap digelar

Jokowi: AS Saja dengan Jutaan Kasus COVID-19, Tak Menunda PemiluIlustrasi orang tertular virus corona (IDN Times/Sukma Shakti)

Kepada IDN Times, epidemiolog Dicky Budiman mengaku Indonesia juga harus siap dengan konsekuensi bila pilkada yang memicu kerumunan orang, tetap digelar pada awal Desember mendatang. Konsekuensi yang dimaksud yaitu terjadi peningkatan kasus COVID-19 usai pilkada. 

Jika dibandingkan dengan AS, menurut Dicky, meski Negeri Paman Sam menjadi episentrum COVID-19 dunia, namun AS memiliki sistem testing dan pelacakan yang mumpuni. Sehingga bisa dengan cepat mengisolasi orang-orang yang dinyatakan positif COVID-19. 

"Sementara, di Indonesia, kemampuan testingnya selain rendah juga tidak sesuai dengan eskalasi pandemiknya. Sebab, jika sesuai dengan eskalasi pandemik, maka kemampuan tes sudah mencapai 100 ribu per hari atau kalau tidak memungkinkan angka tes itu bisa dikejar-lah dalam kurun waktu 2 hingga 3 minggu," ungkap Dicky melalui sambungan telepon. 

Selain belum memenuhi standar yang diisyaratkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), hasil tes COVID-19 di Tanah Air, kata Dicky, juga tergolong lama.

"Itu sebabnya saya merujuk ke pemodelan epidemiologi. Di mana dalam pemodelan tersebut, kita bisa melihat bahwa kasus harian di Indonesia estimasi terendah adalah 10 ribu," tutur dia. 

Sedangkan estimasi tertinggi kasus harian COVID-19 menggunakan pemodelan tersebut mencapai 50 ribu. Dicky menambahkan, pemodelan tersebut terbukti akurat di negara-negara yang memiliki tingkat testing yang baik. 

Baca Juga: Pakar Ingatkan Kasus COVID-19 Akan Melonjak Usai Selebrasi Pilpres AS

2. Sistem voting pakai surat di AS tak berpengaruh, karena Trump tetap kampanye tatap muka

Jokowi: AS Saja dengan Jutaan Kasus COVID-19, Tak Menunda PemiluIlustrasi ketika Presiden Donald Trump menggelar kampanye di Ohio, Amerika Serikat pada 24 Oktober 2020 (ANTARA FOTO/REUTERS/Tom Brenner)

Dalam pandangan Dicky, penggunaan hak suara yang dikirim melalui surat tak terlalu efektif mencegah penyebaran COVID-19 di AS. Sebab, capres petahana Presiden Donald Trump tetap menggelar kampanye secara tatap muka. 

"Dari sisi regulasi memang di atas kertas iya tim kampanye Trump seolah mematuhi. Tapi, pada praktiknya mereka tetap tak mematuhi 3M. Mereka (pendukung Trump) boro-boro pakai masker, jaga jarak. Itu adalah satu bukti bahwa bila ada sebagian saja apalagi banyak masyarakat tidak patuh, tetap kasus pandemik akan semakin memburuk," tutur Dicky. 

Bahkan, ia menambahkan, negara bagian Utah baru saja menyatakan kondisi pandemik sudah darurat. Padahal, ini sudah memasuki bulan ke-11 pandemik COVID-19. Karena itu di negara bagian Utah, situasi kini kacau balau. 

Dicky juga mewanti-wanti bila peristiwa pandemik yang menimpa AS juga terjadi di Indonesia, maka rumah sakit dipastikan akan kolaps. "Apalagi kemampuan Indonesia soal ketersediaan kamar ICU dan ventilator, sangat jauh bila dibandingkan di AS," katanya. 

Berdasarkan data yang pernah dicuit pada 14 September 2020, Dicky menyampaikan kemampuan satu dokter di Indonesia untuk melayani 2.500 penduduk. Satu tempat tidur rumah sakit diperuntukkan bagi 1.000 penduduk. Situasi itu semakin diperburuk lantaran jumlah dokter yang meninggal akibat COVID-19 per 8 Oktober 2020 telah mencapai 132 orang.

3. Jokowi bantah tidak peduli terhadap kesehatan publik dengan tetap gelar pilkada 9 Desember 2020

Jokowi: AS Saja dengan Jutaan Kasus COVID-19, Tak Menunda PemiluANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Dalam program wawancara itu, Jokowi membantah dirinya tak peduli terhadap kesehatan publik dengan tetap menggelar pilkada pada 9 Desember 2020. Dia menilai, bila protokol kesehatan dipatuhi, maka kasus COVID-19 baru tidak akan ada. 

"Saya juga sudah minta kepada Mendagri untuk sampaikan ke para calon untuk menyosialisasikan, mengampanyekan protokol kesehatan. Seperti bagaimana mengenakan masker, cuci tangan, jaga jarak, tidak berkerumun. Kampanye itu yang kini dikerjakan oleh para kandidat," kata Jokowi. 

Dalam pilkada Desember mendatang, putra sulung dan menantu Jokowi ikut serta. Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon Wali Kota di Solo, sedangkan Bobby Nasution mengikuti pertarungan sebagai calon Wali Kota Medan. 

Bahkan, di hari pertama kampanye pada 26 September 2020, pasangan Bobby dan Aulia Rachman sudah melanggar protokol kesehatan (prokes). Acara deklarasi penerimaan dukungan yang digelar di sebuah kafe di Medan melebihi batas maksimal pertemuan tatap muka yang ditentukan oleh KPU yakni 50 orang. 

Sedangkan, pasangan Gibran dan Teguh Prakosa juga melanggar prokes ketika melakukan pendaftaran sebagai cawalkot dengan iring-iringan pada 4 September 2020 lalu. Rival Gibran-Teguh yakni Bagyo Wahyono dan FX Supardjo dinilai juga abai terhadap situasi pandemik.

Komisioner Badan Pengawas Pemilu Muh Muttaqin menjelaskan kedua pasangan tak bisa menjaga jarak saat ada iring-iringan. Bahkan, pada saat pendaftaran kedua bapaslon juga terjadi desak-desakan.

Namun, calon kepala daerah yang melanggar prokes bukan hanya Bobby dan Gibran saja.  Data dari Bawaslu menunjukkan selama 50 hari tahapan kampanye, pihaknya sudah menertibkan 1.448 kegiatan kampanye tatap muka atau pertemuan terbatas yang melanggar prokes. Dalam keterangan tertulis yang disampaikan oleh anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, pada Selasa, 17 November 2020 lalu, pelanggaran prokes yang dilakukan oleh cakada terdiri dari kerumunan orang tanpa jaga jarak, tidak mengenakan masker dan tidak tersedia alat sanitasi tangan. 

"Pengawas pemilu yang terdiri dari satuan pamong praja atau polisi kemudian membubarkan kerumunan bila peringatan atas pelanggaran prokes tidak dihiraukan," ungkap Afifuddin kemarin. 

Sejak awal, kata dia, Bawaslu sudah mendorong agar pasangan calon kepala daerah atau tim pemenangan mengurangi kegiatan kampanye yang memungkinkan tatap muka apalagi yang menyebabkan kerumunan orang. "Bawaslu mendorong kegiatan kampanye dimaksimalkan dengan kegiatan daring," kata dia lagi. 

Baca Juga: Belum Resmi Menang, Joe Biden Sudah Mulai Bahas Isu Terkini AS

Topik:

  • Sunariyah
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya