[UPDATE] WHO Wanti-wanti Eropa Kini Kembali Jadi Episentrum COVID-19

Diprediksi bakal ada 500 ribu lebih kematian baru di Eropa

Jakarta, IDN Times - Badan Kesehatan Dunia (WHO) mewanti-wanti bahwa Benua Eropa kini kembali menjadi episentrum COVID-19. Penyebab utamanya diduga karena mandeknya pemberian vaksin COVID-19 di sejumlah negara di Eropa. Maka, tak heran angka kasus COVID-19 di sejumlah negara kembali naik. 

Dikutip dari stasiun berita BBC, Senin (8/11/2021), Direktur WHO wilayah Eropa Hans Klunge bahkan memprediksi akan ada 500 ribu kematian baru di Eropa pada Februari 2022. Ia pun geram melihat kelakuan para pemimpin di Eropa. Sebab, mereka kembali bersikap reaktif dan bukan mencegah agar tidak ada lonjakan kasus COVID-19. 

"Kita harus mengganti taktik dan strategi, mulai dari reaktif ketika kasus COVID-19 terjadi menjadi mencegah agar kasus tidak kembali naik," ungkap Klunge. 

Berdasarkan data worldometers pada Senin pagi pukul 07.57 WIB, kasus COVID-19 secara global sudah mencapai 250.597.519. Dari jumlah itu, 5.064.450 orang dinyatakan meninggal dan 226.830.764 pasien sembuh dari COVID-19. Sementara kasus aktif berjumlah 18.702.305, dan kasus yang sudah dianggap selesai 231.895.214.

Soal mandeknya vaksinasi di sejumlah negara di Benua Eropa, ia mencatat hal tersebut terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Di Spanyol, sudah 80 persen warganya yang sudah divaksinasi penuh dua dosis. Tetapi, di Jerman, justru warga yang baru divaksinasi penuh hanya 66 persen. Bahkan, sejumlah negara di kawasan Eropa Timur, cakupan vaksinasi terhadap warganya jauh lebih rendah. 

Sementara, baru 32 persen warga di Rusia per Oktober 2021 yang telah menerima vaksin COVID-19 dua dosis. Padahal, Negeri Tirai Besi itu, merupakan salah satu produsen vaksin. 

Klunge juga menyebut, kenaikan kasus COVID-19 juga terjadi karena mayoritas di negara Eropa, warganya sudah kembali dibebaskan beraktivitas dan tak dibatasi lagi. Bahkan, sejumlah negara tak lagi memberlakukan kewajiban karantina bagi pendatang dari luar Eropa. 

Lalu, apa strategi pemimpin di negara Eropa untuk mencegah agar prediksi WHO mengenai jumlah kematian baru per Februari 2022 tidak benar-benar terjadi?

1. Kenaikan kasus COVID-19 di Eropa mencapai 55 persen

[UPDATE] WHO Wanti-wanti Eropa Kini Kembali Jadi Episentrum COVID-19Situasi di Jerman saat memberlakukan kebijakan lockdown untuk cegah penyebaran COVID-19 (ANTARA FOTO/REUTERS/Michele Tantussi)

Sementara, berdasarkan data dari ketua tim teknis COVID-19, Maria Van Kerkhove, apa yang disampaikan oleh koleganya bukan sekedar isapan jempol. Berdasarkan data yang ia miliki selama empat pekan terakhir kasus COVID-19 di seluruh negara di Eropa melonjak 55 persen. Padahal, Eropa memiliki stok vaksin COVID-19 yang cukup. 

Di Jerman, kasus harian dicatat mencapai 37 ribu pada 5 November 2021 lalu. Ini merupakan rekor kasus harian tertinggi selama dua hari berturut-turut. Angka kejadian COVID-19 per 100 ribu penduduk di Jerman kini lebih tinggi bila dibandingkan pada April 2021 lalu yakni 169,9. Angka itu memang masih jauh dari Inggris. 

Pejabat kesehatan publik di Jerman khawatir gelombang keempat di Jerman dapat kembali menyebabkan angka kematian yang tinggi hingga tekanan terhadap sistem kesehatan mereka. Dalam 24 jam terakhir saja, Jerman melaporkan telah terdapat kematian akibat COVID-19 mencapai 154. Angka kematian harian itu naik dibandingkan pekan lalu yang mencapai 121. 

Sementara di Rusia, angka kematian dalam satu pekan terakhir tercatat lebih dari 8.100 jiwa. Sedangkan di Ukraina, jumlah kematian dalam sepekan terakhir mencapai 3.800 jiwa. Tingkat vaksinasi di kedua negara tersebut tercatat memang masih rendah. 

Ahli dari WHO lainnya, Dr. Mike Ryan mengatakan, dunia bisa menjadikan peristiwa di Eropa sebagai contoh supaya tidak terulang kembali di negaranya. 

Baca Juga: COVID-19 di Dunia Masih Menggila, Sehari Naik 413.876 Kasus

2. Inggris akan mengedarkan obat antivirus Molnupiravir pada November ini

[UPDATE] WHO Wanti-wanti Eropa Kini Kembali Jadi Episentrum COVID-19ilustrasi obat molnupiravir (japantimes.co.jp/AFP-JIJI)

Sementara, pemangku kebijakan di Inggris memilih strategi dengan rencana akan mengedarkan obat antivirus produksi Merck and Ridgeback Biotherapeutics yakni Molnupiravir. Padahal, WHO sendiri belum mengakui secara resmi Molnupiravir. Bahkan, WHO masih menunggu dikirimkan hasil uji klinis lengkap dari perusahaan farmasi tersebut. 

Tetapi, Inggris memilih tak menunggu. Mereka memilih mengedarkan Molnupiravir sebagai obat uji coba bagi pasien COVID-19 gejala ringan dan sedang.

Kepala Penasihat Medis di Badan Kesehatan Inggris, Susan Hopkins, tak menampik pihaknya bakal segera mengedarkan Molnupiravir sebagai obat uji coba. "Ini berita baik. Obat ini akan diedarkan pada akhir November atau awal Desember," ujar Hopkins ketika dikonfirmasi oleh BBC

Ia mengatakan, sejauh ini proses uji klinis telah dilakukan terhadap pasien yang belum divaksinasi. Dengan begitu, mereka bakal memiliki pemahaman lebih menyeluruh cara kerja obat tersebut di populasi yang lebih besar yang telah divaksinasi. 

Sejauh ini, Inggris mengklaim telah berhasil mengamankan 480 ribu obat produksi Merck tersebut. Selain itu, Inggris juga telah membeli 250 ribu obat antivirus yang diproduksi oleh Pfizer. 

3. Cakupan vaksinasi penuh COVID-19 di Indonesia masih di bawah 30 persen

[UPDATE] WHO Wanti-wanti Eropa Kini Kembali Jadi Episentrum COVID-19Cakupan vaksinasi penuh COVID-19 di Indonesia berdasarkan Our World in Data per 6 November 2021 (Tangkapan layar Our World in Data)

Sementara itu, meski pemerintah terus berusaha menggenjot pemberian vaksin bagi warga. Per Minggu, 7 November 2021, sudah ada 1.829.887 dosis vaksin yang diberikan. Namun, jumlah warga yang telah menerima vaksin dosis lengkap 78.994.163. Angka tersebut masih jauh dari target agar tercapai kekebalan kelompok di masyarakat yakni 208.265.720. 

Sementara, berdasarkan informasi dari Our World in Data, jumlah warga yang telah menerima vaksinasi lengkap baru 28 persen. Sebanyak 17 persen dari jumlah penduduk lainnya hanya menerima vaksinasi dosis pertama. Pemerintah didesak segera menghabiskan stok vaksin lantaran vaksin tersebut memiliki masa kedaluwarsa.

Baca Juga: Molnupiravir Disebut sebagai Kandidat Obat COVID-19, Ini Kata Ahli

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya