Menlu Retno Buka Suara soal Langkah RI Atasi Isu Myanmar 

Indonesia membentuk Office of Special Envoy

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi akhirnya buka suara soal konflik Myanmar. Konflik negara tersebut menjadi salah satu tantangan yang cukup besar di masa keketuaan Indonesia di ASEAN tahun ini.

Untuk membantu Myanmar keluar dari krisis, Retno memutuskan untuk membentuk Office of Special Envoy. Langkah ini cukup berbeda dari dua keketuaan sebelumnya yaitu Brunei dan Kamboja, di mana mereka menentukan menteri luar negerinya menjadi Special Envoy untuk Myanmar.

Kepada IDN Times, Jumat (24/2/2023), Retno mengaku bahwa pembentukan Office of Special Envoy ini untuk memudahkan pergerakan, utamanya guna mendekati pihak Myanmar.

“Kenapa ada Office of Special Envoy? Ini untuk memudahkan pergerakan. Karena kalau Special Envoy-nya langsung hanya satu orang, menteri luar negeri misalnya, seperti yang dilakukan sebelum-sebelumnya, saya khawatir, pergerakan menjadi terbatas. Terbatas dari segi waktu, dan terbatas dari segi macam-macamnya,” kata Retno.

“Karena kan piring yang ada di depan menteri luar negeri ini banyak banget nih yang harus ditangani di saat yang sama. Tapi kalau ada dedicated office dari Special Envoy yang menangani masalah Myanmar, maka katakanlah jika saya sedang sibuk, ini akan jalan terus. Dan ini sudah berjalan cukup banyak,” lanjut dia.

Baca Juga: Bersahabat 40 Tahun Lebih, Sri Mulyani & Retno Marsudi Bestie dari SMA

1. Indonesia sudah melakukan pergerakan ke Myanmar

Menlu Retno Buka Suara soal Langkah RI Atasi Isu Myanmar Sebagian besar warga Myanmar menentang adanya kudeta militer di Myanmar. (Twitter.com/HninWood)

Retno juga menegaskan bahwa Indonesia kini sedang mendengarkan semua suara dari semua pihak. Hal ini selaras dengan salah satu poin di Five Point of Consensus, formula perdamaian untuk Myanmar yang saat ini belum diimplementasikan oleh pihak junta militer.

“Kan Five Point of Consensus mengatakan memfasilitasi. Fasilitasi ini kan berarti kita harus mendengarkan semua dulu, kemudian apa yang bisa kita fasilitasi,” ucap Retno lagi.

Retno membeberkan bahwa Office of Special Envoy ini sudah berjalan cukup banyak dan juga sudah melakukan dialog dengan sejumlah pihak.

“Jadi sekarang kita sudah melakukan engagement dengan most sebagian besar stakeholders, kita sudah berjalan sebenarnya cukup panjang, cukup banyak, kita sudah mendengarkan,” ungkapnya.

Baca Juga: Bertemu Menlu Negara Lain, Menlu Retno Selalu Angkat Isu Ukraina 

2. Tidak pakai megaphone diplomacy

Menlu Retno Buka Suara soal Langkah RI Atasi Isu Myanmar Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi. (IDN Times/Sonya Michaella)

Retno juga mengatakan, untuk kasus konflik Myanmar ini, Indonesia memutuskan untuk tidak memakai megaphone diplomacy.

“Memang dari awal saya mengatakan bahwa pendekatan yang kita lakukan paling tidak di awal proses adalah tidak menggunakan megafon diplomacy. Kita ingin pelan-pelan dan tidak dengan menggunakan megafon diplomacy meng-engage semua pihak,” tuturnya.

At least, sebagian besar pihak. Karena tanpa engagement semua pihak, kita tidak bisa mendengarkan posisi mereka masing-masing,” tegas Retno lagi.

Baca Juga: Lagi! Uni Eropa Jatuhkan Sanksi ke Myanmar terkait Pelanggaran HAM

3. ASEAN kecewa junta Myanmar abaikan Five Point of Consensus

Menlu Retno Buka Suara soal Langkah RI Atasi Isu Myanmar Panglima Militer Myanmar Jendral Min Aung Hlaing tiba di Indonesia (IDN Times/Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden)

Sementara itu, Retno sendiri mengungkapkan bahwa para menteri luar negeri ASEAN kecewa karena tidak ada implementasi dari Five Point of Consensus untuk memulihkan situasi di Myanmar.

Hal ini disampaikan Retno pada Oktober 2022 saat Indonesia menggelar pertemuan khusus Menteri Luar Negeri ASEAN di Sekretariat ASEAN, Jakarta.

“Sangat jelas kekhawatiran ini dan bahkan beberapa negara menyampaikan rasa frustrasinya terhadap tidak adanya kemajuan ini,” ucap Retno, kala itu.

Retno juga menambahkan, situasi seperti ini tentunya sangat disayangkan. Lima Poin Konsesus adalah keputusan para pemimpin ASEAN, merupakan hasil dari pertemuan khusus di mana Jenderal Min Aung Hlaing juga hadir dan ditujukan membantu Myanmar mengatasi krisis politiknya.

Baca Juga: Eks Menlu RI: Lima Poin Konsensus Bisa 'Ikat Tangan' Junta Myanmar

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya