Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pertemuan bilateral Presiden AS, Donald Trump, dan Presiden China, Xi Jinping. (The White House from Washington, DC, Public domain, via Wikimedia Commons)
Pertemuan bilateral Presiden AS, Donald Trump, dan Presiden China, Xi Jinping. (The White House from Washington, DC, Public domain, via Wikimedia Commons)

Intinya sih...

  • China akan pertahankan tarif 10 persen atas barang-barang AS

  • Defisit perdagangan China dengan AS menjadi yang terbesar

  • Tarif akan berdampak ke konsumen dan perusahaan AS

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, pada Senin (11/8/2025) menandatangani perintah eksekutif untuk menunda pemberlakuan tarif tinggi kepada China selama 90 hari. Perintah itu diumumkan beberapa jam sebelum batas waktu negosiasi tarif berakhir pada Selasa (12/8/2025).

Mengutip CNBC, AS dan China sepakat untuk menangguhkan perang tarif selama 90 hari pada Mei lalu, setelah proses negosiasi di Jenewa. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bagi Washington untuk memangkas tarifnya menjadi 30 persen, sementara Beijing menjadi 10 persen.

Perang tarif AS-China mencapai puncaknya pada April. Saat itu, Trump mengancam akan mengenakan tarif terhadap China hingga 245 persen, sementara China mengancam tarif balasan sebesar 125 persen. Hal itu telah memicu perang dagang antara dua negara dengan ekonomi terbesar dunia.

1. China akan pertahankan tarif 10 persen atas barang-barang AS

Merespons Trump, Kementerian Perdagangan China mengatakan akan menangguhkan tarif balasan kepada AS selama 90 hari, setelah Trump menandatangani perintah eksekutifnya.

Beijing akan mempertahankan tarif sebesar 10 persen, dan mengambil tindakan untuk mengatasi hambatan nontarif yang dihadapi produk-produk AS. China juga akan menunda penambahan perusahaan-perusahaan AS yang menjadi target pembatasan perdagangan dan investasi.

"Kami berharap AS akan bekerja sama dengan China untuk menindaklanjuti konsensus penting yang dicapai selama panggilan telepon antara kedua kepala negara, dan mengupayakan hasil-hasil positif atas dasar kesetaraan, rasa hormat, dan saling menguntungkan," ungkap Kementerian Luar Negeri China.

China juga meminta AS untuk mencabut pembatasan perdagangan yang tidak masuk akal, serta bekerja sama untuk menguntungkan perusahaan di kedua negara dan menjaga stabilitas produksi semikonduktor global.

2. Defisit perdagangan China dengan AS menjadi yang terbesar

Presiden AS, Donald Trump. (Gage Skidmore, CC BY-SA 3.0, via Wikimedia Commons)

Pada Minggu, Trump mengatakan dirinya ingin China segera melipatgandakan pesanan kedelai dari AS. Trump menyebut hal tersebut sebagai cara untuk mengurangi defisit perdagangan Beijing kepada AS secara substansial.

Dilaporkan BBC, Gedung Putih menyebut defisit perdagangan dengan China menyentuh hampir 300 miliar dollar AS (setara Rp4.892 triliun) pada 2024. Jumlah itu menjadi yang terbesar di antara semua mitra dagang Washington.

Gedung Putih mengatakan, perpanjangan gencatan tarif dagang akan memberi lebih banyak waktu untuk negosiasi lebih lanjut guna memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan dan praktik perdagangan yang tidak adil.

3. Tarif akan berdampak ke konsumen dan perusahaan AS

Trump menunjukkan rincian tarif timbal balik AS. (The White House, Public domain, via Wikimedia Commons)

The Federal Reserve dan banyak ekonom berpendapat bahwa tarif akan mendorong kenaikan harga di AS. Goldman Sachs menghitung bahwa konsumen AS telah menyerap 22 persen biaya tarif hingga Juni 2025. Angka itu diperkirakan akan meningkat menjadi 67 persen jika tarif terbaru mengikuti pola yang sama seperti tarif sebelumnya.

Trump baru-baru ini juga melonggarkan beberapa pembatasan ekspor, yang memungkinkan perusahaan seperti AMD dan Nvidia untuk melanjutkan penjualan chip tertentu ke perusahaan-perusahaan di China, dengan imbalan pembagian 15 persen pendapatannya ke pemerintah AS, dikutip The Guardian.

"Apa yang kita saksikan pada dasarnya adalah monetisasi kebijakan perdagangan AS di mana perusahaan-perusahaan AS harus membayar pemerintah AS untuk izin ekspor. Jika demikian, kita telah memasuki dunia yang baru dan berbahaya," kata mantan negosiator perdagangan AS, Stephen Olson.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team