Trump Desak CEO Intel Mundur karena Terkait China

- Tan diduga investasi di perusahaan China terkait militer.
- Trump gunakan tekanan untuk dorong produksi chip di AS.
- Intel alami krisis internal di tengah persaingan ketat.
Jakarta, IDN Times – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mendesak agar CEO Intel Corporation, Lip-Bu Tan, segera mundur dari jabatannya. Dalam unggahan di platform Truth Social pada Kamis (7/8/2025), Trump menyebut hubungan Tan dengan perusahaan China sebagai konflik kepentingan yang serius.
“CEO INTEL sangat TERKONFLIK dan harus mengundurkan diri, segera. Tidak ada solusi lain untuk masalah ini. Terima kasih atas perhatian Anda terhadap masalah ini,” tulisnya, dikutip dari CNN.
Desakan itu muncul setelah Senator Tom Cotton dari Partai Republik mengirim surat ke Ketua Dewan Intel, Frank Yeary. Cotton mengangkat kekhawatiran soal potensi risiko terhadap keamanan nasional AS, menyusul dugaan keterlibatan Tan dalam investasi di perusahaan China. Ia mempertanyakan integritas operasional Intel di tengah situasi tersebut.
1. Tan diduga investasi di perusahaan China terkait militer
April lalu, Tan diberitakan telah menanamkan lebih dari 200 juta dolar AS (setara Rp3,2 triliun) ke ratusan perusahaan manufaktur dan chip canggih di China secara pribadi maupun melalui dana ventura yang ia dirikan, antara Maret 2012 hingga Desember 2024. Setidaknya delapan di antaranya dilaporkan memiliki keterkaitan dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China.
Dalam suratnya ke Intel, Cotton bertanya apakah perusahaan telah meminta Tan melepas kepemilikan saham di perusahaan semikonduktor yang terhubung dengan Partai Komunis China atau PLA. Ia juga meminta klarifikasi apakah Intel mengetahui adanya surat panggilan hukum terhadap Cadence Design Systems, perusahaan lama Tan, serta apakah Tan pernah melaporkan keterkaitan lain dengan China.
Cotton menyampaikan pernyataan terbuka di platform X.
“CEO baru @intel dilaporkan memiliki hubungan mendalam dengan Komunis Tiongkok. Perusahaan AS yang menerima hibah pemerintah harus menjadi pengelola yang bertanggung jawab atas dana pembayar pajak dan mematuhi peraturan keamanan yang ketat. Dewan @Intel berutang penjelasan kepada Kongres,” tulisnya.
Hingga Kamis malam, Intel belum memberikan tanggapan terhadap permintaan komentar mengenai surat Cotton maupun unggahan Trump. Tan mulai menjabat sebagai CEO Intel sejak 18 Maret 2025, menggantikan Patrick Gelsinger yang mengundurkan diri pada akhir 2024. Sebelumnya, Tan menjabat CEO di Cadence Design Systems, perusahaan desain chip asal California, dari 2009-2021.
2. Trump gunakan tekanan untuk dorong produksi chip di AS

Dilansir dari NBC News, Kritik Trump terhadap Tan muncul seiring langkah besar untuk menekan industri semikonduktor global. Pada Rabu (6/8/2025), ia mengumumkan rencana mengenakan tarif 100 persen terhadap chip komputer impor, kecuali jika perusahaan pembuatnya memproduksi atau berniat memproduksi chip di wilayah AS.
Merespons ancaman tarif itu, sejumlah pesaing Intel seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), Samsung, GlobalFoundries, dan Nvidia langsung mengambil langkah strategis. Mereka berkomitmen menginvestasikan miliaran dolar dalam infrastruktur chip di AS, atau memperkuat kerja sama dengan perusahaan lokal seperti Apple agar terhindar dari beban tarif.
3. Intel alami krisis internal di tengah persaingan ketat
Dilansir dari CNA, Intel saat ini tengah berupaya keras memulihkan posisinya setelah tertinggal dari TSMC di sektor manufaktur dan dari Nvidia dalam pasar chip kecerdasan buatan (AI). Sebagai bagian dari strategi efisiensi, Tan menargetkan jumlah karyawan perusahaan akan ditekan hingga 75 ribu orang pada akhir 2025, atau sekitar 22 persen dari total sebelumnya.
Di sisi pasar, valuasi saham Intel anjlok hampir 5 persen pada perdagangan prapasar Kamis pagi. Nilai pasar perusahaan yang berada sedikit di bawah 90 miliar dolar AS (setara Rp1,46 kuadriliun) kini tertinggal jauh dibanding para pesaing, bahkan menghapus seluruh kenaikan harga saham tahunannya. Pada November 2024 lalu, Intel menerima hibah hampir 8 miliar dolar AS (setara Rp130 triliun) dari Undang-Undang CHIPS yang didorong pemerintahan Biden, namun angka itu disebut lebih rendah dari ekspektasi karena keraguan terhadap kapasitas eksekusi Intel.
Tantangan Intel kian berat akibat beban utang dan keterlambatan mengejar ketertinggalan dari para pesaing global. Situasi ini diperparah oleh krisis manajemen internal sejak keluarnya Gelsinger dari kursi CEO.